SINAR HARAPAN,
31 Juli 2013
|
Jokowi
hanya akan jadi alat kekuatan elite-oligarkis maupun populis untuk populerkan
diri sendiri.
Peluang
untuk munculnya calon presiden altenatif sepertinya kian tertutup dengan telah
sepakatnya DPR membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Presiden Nomor 42
Tahun 2008. Hal yang menjadi penyebab RUU tersebut dibatalkan adalah tidak
adanya kesepakatan antarfraksi di DPR. Poin krusialnya terletak pada Pasal 9
mengenai presidential threshold (PT) atau ambang batas suara partai untuk
mengusung calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2014, yaitu
20 persen kursi di parlemen dan 25 persen suara nasional.
Kelompok partai menengah seperti Gerindra, Hanura, maupun PPP yang selama ini getol menyuarakan penyesuaian angka PT yang kini 25 persen agar disesuaikan dengan angka parliamentary threshold sebesar 3,5 persen, kandas dalam perjuangannya. Untuk mengusung kandidasi presiden pada Pemilu 2014 mendatang, parpol diharuskan berkoalisi satu sama lainnya untuk mengusung calon presiden. Di antara sembilan parpol yang lolos parliamentary threshold pada 2009 lalu, hanya Demokrat yang bisa dimungkinkan untuk mengusung calon potensial dari internal kader dan hanya membutuhkan 5 persen dukungan partai lainnya. Baik PDIP, Golkar, PKS, maupun partai parlemen lainnya diwajibkan untuk berkongsi dan melakukan politik transaksional guna mencalonkan presiden.
Maka, di tengah keterbatasan PT, parpol mulai tebar pesona untuk mencari kandidat presiden guna memenangkan logika politik transaksional antarpartai tersebut. Menguatnya politik transaksional sebagai dampak dari besarnya threshold yang harus dipenuhi, membuat pencalonan presiden tidak lebih dari sekadar komoditas politik. Komoditisasi akan calon presiden dalam logika transaksional tersebut sangatlah merugikan iklim demokrasi elektoral. Terlebih kini presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam konteks ini, pemilu presiden 2014 nanti hanya akan diisi rivalitas logika transaksional serba elitis dengan logika populisme publik yang menginginkan figur alternatif. Maka manakala calon presiden yang dilahirkan dari sebuah proses elitis tersebut tentu hanya akan menguatkan apatisme publik.
Survei LSI 3-5 Juli 2013 sebenarnya sudah menjadi peringatan merah bagi politikus untuk berkontemplasi atas perangai politiknya sekarang ini. Hasil survei menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap elite politik makin memuncak menjadi 51,5 persen pada 2013. Mayoritas public, yakni 52,10 persen menyatakan lebih banyak elite yang tidak bisa dijadikan teladan, dan 65,30 persen publik menyatakan yang biasanya diucapkan elite berbeda dengan perbuatan. Hal ini dikarenakan publik sudah cerdas dan paham akan permainan politik elitis, sehingga publik lebih cenderung mengangkat calon presiden.
Benturan proses audisional mencari presiden 2014 yang menghasilkan rivalitas kekuatan oligarkis-elitis dan kekuatan populis berkulminasi negosiasional pada sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Sosok Jokowi adalah sosok pendamai dan penjembatan dalam menyudahi rivalitas kedua kubu tersebut.
Namun demikian, Jokowi pun sadar dirinya sudah terkomoditisasi secara politik maupun personal oleh kedua kubu tersebut, sehingga dengan tegas menyatakan akan berkonsentrasi pada pembenahan Jakarta selama periode kepemimpinananya. Jokowi juga mengerti bahwa dirinya sudah menjadi populist darling bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang merindukan sosok pemimpin bersahaja dan membela rakyatnya, dengan menyatakan dirinya sudah menjadi presiden mini di Jakarta yang notabene pusatnya Indonesia.
Kelompok partai menengah seperti Gerindra, Hanura, maupun PPP yang selama ini getol menyuarakan penyesuaian angka PT yang kini 25 persen agar disesuaikan dengan angka parliamentary threshold sebesar 3,5 persen, kandas dalam perjuangannya. Untuk mengusung kandidasi presiden pada Pemilu 2014 mendatang, parpol diharuskan berkoalisi satu sama lainnya untuk mengusung calon presiden. Di antara sembilan parpol yang lolos parliamentary threshold pada 2009 lalu, hanya Demokrat yang bisa dimungkinkan untuk mengusung calon potensial dari internal kader dan hanya membutuhkan 5 persen dukungan partai lainnya. Baik PDIP, Golkar, PKS, maupun partai parlemen lainnya diwajibkan untuk berkongsi dan melakukan politik transaksional guna mencalonkan presiden.
Maka, di tengah keterbatasan PT, parpol mulai tebar pesona untuk mencari kandidat presiden guna memenangkan logika politik transaksional antarpartai tersebut. Menguatnya politik transaksional sebagai dampak dari besarnya threshold yang harus dipenuhi, membuat pencalonan presiden tidak lebih dari sekadar komoditas politik. Komoditisasi akan calon presiden dalam logika transaksional tersebut sangatlah merugikan iklim demokrasi elektoral. Terlebih kini presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam konteks ini, pemilu presiden 2014 nanti hanya akan diisi rivalitas logika transaksional serba elitis dengan logika populisme publik yang menginginkan figur alternatif. Maka manakala calon presiden yang dilahirkan dari sebuah proses elitis tersebut tentu hanya akan menguatkan apatisme publik.
Survei LSI 3-5 Juli 2013 sebenarnya sudah menjadi peringatan merah bagi politikus untuk berkontemplasi atas perangai politiknya sekarang ini. Hasil survei menunjukkan ketidakpercayaan publik terhadap elite politik makin memuncak menjadi 51,5 persen pada 2013. Mayoritas public, yakni 52,10 persen menyatakan lebih banyak elite yang tidak bisa dijadikan teladan, dan 65,30 persen publik menyatakan yang biasanya diucapkan elite berbeda dengan perbuatan. Hal ini dikarenakan publik sudah cerdas dan paham akan permainan politik elitis, sehingga publik lebih cenderung mengangkat calon presiden.
Benturan proses audisional mencari presiden 2014 yang menghasilkan rivalitas kekuatan oligarkis-elitis dan kekuatan populis berkulminasi negosiasional pada sosok Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Sosok Jokowi adalah sosok pendamai dan penjembatan dalam menyudahi rivalitas kedua kubu tersebut.
Namun demikian, Jokowi pun sadar dirinya sudah terkomoditisasi secara politik maupun personal oleh kedua kubu tersebut, sehingga dengan tegas menyatakan akan berkonsentrasi pada pembenahan Jakarta selama periode kepemimpinananya. Jokowi juga mengerti bahwa dirinya sudah menjadi populist darling bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang merindukan sosok pemimpin bersahaja dan membela rakyatnya, dengan menyatakan dirinya sudah menjadi presiden mini di Jakarta yang notabene pusatnya Indonesia.
Meskipun Jokowi sudah tegas tidak mau dipolitisasi dan dikomoditasi sebagai calon presiden 2014, baik partai maupun publik terus saja merayunya agar mau dicalonkan sebagai Presiden 2014. Politisasi sosok Jokowi yang dilakukan dua kekuatan tersebut mungkin menguntungkan Jokowi karena sosoknya akan semakin terkenal di seantero Indonesia. Namun, Jokowi juga terbebani dengan status satria piningit yang sudah melekat dan dikonstruksikan oleh publik Indonesia sehingga membuat kinerjanya sebagai gubernur juga tidak berkembang maksimal.
Pada akhirnya Jokowi hanya akan menjadi alat kampanye baik dari kekuatan elite-oligarkis maupun populis untuk mempopulerkan dirinya sendiri. Jika sudah demikian, politisasi atas tubuh Jokowi hanya dimanfaatkan untuk mendongkrak citra baik individual dan institusional yang setelahnya Jokowi hanya akan diempaskan begitu saja manakala dukungan kian mengalir deras. Dalam konteks ini, perlulah sekiranya politisasi akan Jokowi diselesaikan secara damai.
Politisasi Jokowi
Pangkal dari politisasi Jokowi pada dasarnya berasal dari sekian puluh survei politik yang menempatkan Jokowi sebagai pilihan teratas dalam bursa capres 2014. Hal itulah yang menjadikan Jokowi kemudian banyak menjadi incaran dagang politik para politikus maupun publik. Dalam hal ini, politikus maupun partai menggunakan Jokowi sebagai siasat politik untuk kembali mendapatkan simpati publik dengan ramai memberitakan akan mengusung Jokowi sebagai capres dan cawapres 2014 nanti.
Penggunaan Jokowi sebagai katrol politik tersebut bisa dikatakan karikatif dan nisbi, karena tren politik sudah melekat di tubuh parpol dan politikus tidak bisa dihapus begitu saja dengan Jokowi sebagai penghapusnya. Malahan justru baik politikus maupun parpol malah dicap aktor politik karbitan dan instan demi mengerek popularitasnya. Publik menggunakan Jokowi sebagai simbol perlawanan terhadap tertutupnya peluang presiden alternatif yang sebenarnya hanya berlaku pasif di ruang publik.
Politisasi Jokowi oleh publik hanya berujung pada kegagalan, karena konstitusi sistem pemilu sepenuhnya tidak mengakomodasi calon independen yang tidak memenuhi jumlah suara cukup. Dalam konteks ini, sebaiknya politisasi Jokowi, baik oleh politikus maupun publik perlu diredam jika hanya berorientasi menaikkan citra masing-masing kelompok. Kalau citra dan popularitas yang dituju, bukankah bisa menggunakan cara lainnya, seperti tegas dalam pemberantasan korupsi maupun partisipasi aktif publik dalam mengawal pemerintahan?
Tanpa Jokowi, populisme dan citra sebagai RI-1 bisa dicapai asalkan kandidat yang diusung kelas benar-benar bisa memenuhi keinginan dan harapan semua pihak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar