KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Tanggal 19 Juli 2013, portal
”E-Keadilan untuk Rakyat” diresmikan Menteri Riset dan Teknologi Prof Dr Gusti
M Hatta bersama Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Prof Dr
Mahfud MD.
Peristiwa di
auditorium Kementerian Riset dan Teknologi itu menjadi halaman awal sejarah
dukungan resmi teknologi informasi untuk penegakan hukum dan keadilan di
persada Nusantara.
Saya kagum dan
berterima kasih atas kesigapan segenap laskar Kemenristek/ BPPT, yang atas
provokasi Dr Ir Idwan Suhardi bukan cuma secara verbal menanggapi idaman saya
tentang kehadiran e-keadilan di Indonesia, melainkan secara nyata dan bijak─
sesuai peribahasa perjalanan sejuta kilometer diawali sebuah langkah─
mengayunkan langkah perdana perjalanan panjang e-keadilan.
Situs jejaring
”E-Keadilan untuk Rakyat” adalah ayunan langkah perdana menuju perjalanan
panjang e-keadilan.
Saya pribadi
memang merindukan kehadiran e-keadilan sebagai upaya teknologis mendukung
penegakan pilar-pilar hukum dan keadilan setelah menyaksikan betapa karut-marut
bahkan porak-poranda suasana hukum di Tanah Air tercinta.
Tentu saya
tidak perlu nyinyir berkisah tentang begitu berlimpahnya ratapan amanat
penderitaan rakyat tertindas ketidakadilan hukum dan peradilan yang benar-benar
mengingkari dua asas Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alasanologis
Secara
alasanologis bisa dikatakan ada aneka ketidakadilan hukum dan keadilan bukan
hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia.
Ketidakadilan
memang sebenarnya mustahil dihadirkan oleh manusia yang berdaya pikir tidak
sempurna. Makna keadilan memang menjadi nisbi akibat melekat pada dimensi
siapa, bagaimana, kapan, dan di mana yang memustahilkan upaya mengonsepkan
apalagi menyeragamkan makna obyektif keadilan.
Maka keputusan
hakim yang paling adil pun sering ditafsirkan sebagai adil atau tidak adil oleh
pihak penerima vonis ataupun pendakwanya. Mutu keadilan atau ketidakadilan
vonis hakim memang nisbi terkait pada selera pihak penafsir. Misalnya hukuman
penjara seumur hidup yang dijatuhkan oleh seorang hakim yang merasa adil bisa
saja dianggap tidak adil oleh terdakwa yang menganggap terlalu berat ataupun
oleh pendakwa yang menganggap terlalu ringan.
Seorang
wartawan pasca-peresmian bertanya, apakah e-keadilan tidak mengganggu hakim.
Pertanyaan tersebut tangkas dijawab oleh Mahfud MD, bahwa kita tidak perlu
mengkhawatirkan e-keadilan karena apabila ditata-laksana secara tepat oleh
manusia sebagai pengguna teknologi.
E-keadilan
yang an sich sekadar
merupakan teknologi alias alat belaka tentu potensial berdaya guna positif dan
konstruktif. Sama halnya sebilah pisau apabila digunakan secara tepat dan benar
potensial berdaya guna positif dan konstruktif.
Sehebat-hebatnya
e-keadilan tetap ciptaan manusia, sementara seburuk-buruknya manusia tetap
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sendirinya ciptaan manusia wajib diabdikan
bagi kepentingan ciptaan Yang Maha Esa, bukan sebaliknya.
Maka
e-keadilan sebenarnya hanya sekadar mendukung para hakim menunaikan tugas-bakti
menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat.
Pertanyaan
apakah e-keadilan akan mempersulit hakim sebenarnya cukup relevan dalam konteks
bahwa e-keadilan memang potensial mempersulit hakim yang nakal.
Dengan
kehadiran rambu-rambu data yang diawasi, dijaga, bahkan sampai batas tertentu
dikendalikan oleh sistem e-keadilan dengan materi program mendukung penegakan
hukum dan keadilan sekomprehensif mungkin, memang hakim nakal akan lebih sulit
mengumbar kenakalannya.
Di sisi lain,
sebenarnya e-keadilan potensial berperan sebagai bukan saja mendukung, tetapi
juga menjadi pelindung hakim (yang tidak nakal) dalam mengambil keputusan.
Tanpa pandang bulu
Secara
alegoris e-keadilan ideal berfungsi sebagai penutup mata dewi keadilan agar
tidak pandang bulu dalam upaya menegakkan pilar-pilar keadilan. Suatu sistem
e-keadilan yang sudah susah payah disiapkan karena memang tidak mudah membuat
program yang lengkap dengan segenap parameter hukum sekaligus keadilan. Suatu
sistem yang mempersempit peluang para penegak hukum berperan nakal ”pandang
bulu”.
Seorang hakim
(yang tidak nakal) bisa memperoleh perlindungan dari e-keadilan (yang tidak
pandang bulu) dari tudingan dan tuduhan mengambil keputusan hukum secara tidak
adil. Kehadiran e-keadilan yang bebas perangai pandang bulu membuat tidak mudah
untuk menuduh suatu keputusan lembaga peradilan sebagai tidak adil.
Perjalanan
menuju penghadiran e-keadilan bebas perangai pandang bulu tentu saja masih
panjang dan sarat kemelut. Namun, bukan berarti kita tidak bisa. Selamat
berjuang, para pejuang hukum dan keadilan Indonesia!
Merdeka! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar