Jumat, 23 Agustus 2013

Menghindari Gubernur “Kesepian”

Menghindari Gubernur “Kesepian”
Saratri Wilonoyudho ;   Warga Semarang
SUARA MERDEKA, 22 Agustus 2013


ADA satu hal yang membuat saya terbayang wajahnya, yakni kala dalam satu kesempatan, saya mendengar secara langsung Ganjar Pranowo berucap, langkah pertama membangun provinsi ini adalah dengan mereformasi birokrasi. Kata mengesankan darinya, ’’Saya akan memilih para pejabat dengan dua kriteria: bersih dan profesional. Saya tidak peduli apakah dalam pilgub dia memilih saya atau tidak.’’

Dengan kata lain, dia lebih mementingkan outcome kinerja pejabat tersebut untuk rakyat, dan bukan atas dasar loyal atau simpati terhadap dirinya. Sebuah cita-cita yang mulia. Lebih lanjut Ganjar juga rasan-rasan, apakah mungkin metode lelang jabatan ala Jokowi di DKI Jakarta diterapkan di provinsi ini?
Terlihat ia ingin membalikkan kultur kekuasaan yang otoriter birokratis ke arah birokrasi kerakyatan. Banyak kepala daerah atau pemimpin punya sifat ”menyelingkuhi” rakyat. Ketika berkampanye bilang cinta rakyat namun setelah terpilih ia mendua kepada parpol pengusung. Bahkan dengan pengusaha secara membabi-buta, yang semuanya demi menguntungkan diri dan kelompoknya.

Ganjar memiliki beberapa modal penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pertama; ia didukung banyak bupati/wali kota dari PDIP. Di Jateng ada 17 kepala daerah dan 24 ketua lembaga legislatif dari partai banteng moncong putih. Dukungan itu memudahkan ia berkoordinasi dan berkomunikasi. Artinya setelah dilantik peran gubernur yang hanya îkoordinatorî para bupati/wali kota, akan lebih mendapatkan nilai plus.

Kedua; sosok intelek. Indikatornya sederhana, dalam berbagai kampanye ataupun dalam debat pilgub beberapa waktu lalu, ia sangat akrab dengan data dan angka pembangunan di Jateng. Modal ini penting supaya dalam membangun provinsi ini dia mendasarkan pada hasil riset, bukan hanya meraba-raba atau mengira-ira.

Hasil penelitian Michael Keren (1983) dan Moshe Bzuonowski (1986) juga menyatakan bahwa bekal utama politikus untuk ìmenguasaiî publik adalah popularitas dan intelektualitas prima. Dalam kamus politik, tebaran janji hanya akan menyeret ke arah popularitas. Padahal banyak studi menunjukkan bahwa popularitas atau demokrasi yang populis butu efektivitas kerja.

Karenanya, jika pemimpin ingin ìtahan lamaî maka ia harus mengedepankan intelektualitas, bukan hanya popularitas. Demikian pula Jean Laponce (1983) yang mengatakan, pemimpin yang populer berkat ide-idenya yang cemerlang dan cerdas akan lebih tahan lama dibanding mereka yang hanya pandai beretorika belaka.

Dua modal penting Ganjar tersebut bisa lebih mantap jika dilengkapi dengan birokrasi yang profesional sebagaimana diidambakan. Kemungkinan Ganjar ingat cita-cita Weber bahwa birokrasi itu idealnya rasional, apolitis, netral, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Weber berpendapat birokrasi harus mengikuti aturan tertulis; tidak ada peranan individu  dalam birokrasi mengingat yang penting adalah aturan dan penjabat yang melaksanakan aturan tersebut; dan birokrasi tidak mengandung interes apapun, termasuk dengan kekuatan politik.

Kekayaan Alam

Atas dasar itu, secara ideal orang yang duduk dalam birokrasi harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memangku jabatan bukan karena pribadinya melainkan karena kontrak dan ketentuan yang ada; menggunakan otoritas sesuai peraturan yang impersonal tadi; loyal terhadap peraturan bagi kepentingan umum; memegang jabatan karena me­mang benar-benar ahli; melaksanakan jabatan secara penuh fulltimer; dan siap hidup dari gaji yang diterima.

Cita-cita mencari sosok birokrat profesional dan jujur sangat tepat karena penyebab kemiskinan rakyat adalah korupsi. Negeri ini, juga Provinsi Jateng, adalah negeri yang kaya raya, dan ini dapat dicapai tanpa harus misalnya menguasai teknologi. Syaratnya adalah asal sumber daya alam dikelola dengan baik.

Lihat saja mana ada negeri di dunia yang memiliki kekayaan alam sebanyak negeri ini? Hitung saja di bumi pertiwi ini bertebaran aneka tambang, ada tambang emas, perak, tembaga, nikel, timah, uranium, minyak, dan seterusnya. Kekayaan hutan kita luar biasa, karena luas hutan kita terbesar kedua di dunia. Di hutan bukan hanya ada kayu tapi juga ada plasma nutfah, tanaman obat, binatang langka yang bermanfaat.

Di lautan, kekayaan kita juga luar biasa, karena konon ikan-ikan yang dicuri dari perairan negeri ini saja senilai Rp 12 triliun rupiah setahun. Pantai kita terpanjang di dunia, dan selain ikan ada aneka kekayaan laut yang luar biasa. Seandainya kekayaan alam itu dikelola dengan baik, saya yakin negeri ini akan menjadi negeri terkaya di dunia, murah sandang pangan, rakyat sejahtera, sekolah dan berobat tidak mahal.

Namun kekayaan alam tersebut dijarah oleh orang serakah dan ini sudah terjadi sejak kedatangan kolonial Belanda dan berlanjut hingga kini dengan îVOC-VOCî jenis baru, baik dari bangsa sendiri maupun bangsa lain. Korupsi, kata Migdal dalam Strong, Societies, and Weak States (1988) terjadi karena pucuk birokrat senantiasa berusaha memperkecil kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mungkin timbul dari luar atau dari dalam birokrasi yang ia pimpin, yang mungkin akan mengancam posisinya.
Caranya, ia akan menyingkirkan orang-orang yang diperkirakan membahayakan kedudukannya, dan membiarkannya sampai tingkat tertentu berbagai korupsi yang ada di bawahnya, sambil ia minta ”setoran”, baik berupa uang atau dukungan politis. Cara lain adalah mengangkat birokrat di bawahnya dari ”kalangan sendiri”.


Dari titik ini, pertanyaannya, akan mu­dahkah Ganjar membalikkan kultur birokrasi yang sudah memiliki îperadabanî santai dan sebagainya ke arah sebaliknya? Dengan kata lain, akankah nanti dia bakal kesepian, menjadi The Lonely Governor, karena tidak mendapatkan dukungan serius dari jajarannya? Wallahualam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar