Kamis, 01 Agustus 2013

Perang Melawan Suap

Perang Melawan Suap
Achmad Fauzi  ;   Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kotabaru Kalimantan Selatan
          MEDIA INDONESIA, 31 Juli 2013


NOKTAH kejahatan peradilan kembali mencemari kesucian hukum kita. Seorang staf diklat Mahkamah Agung (MA) berinisial DS ditangkap penyidik KPK bersama seorang pengacara berinisial MCB karena terlibat kasus penyuapan, Kamis (25/7). Belum diperoleh informasi yang utuh mengenai motif dugaan suap tersebut karena KPK belum memberikan penjelasan memadai. Ditengarai, suap itu dilakukan karena dua kemungkinan: sebagai deposit sebelum pemberi suap beperkara di pengadilan atau untuk mengamankan perkara yang sedang diadili.

MCB diduga melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia diduga memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Sementara itu, DS diduga melanggar Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, DS menerima pemberian atau janji.

Publik meyakini pemberi dan penerima suap tersebut hanya sebagai kurir, mengingat dari segi kewenangan yang dimiliki ataupun jabatan yang disandang, tidak termasuk kategori pengambil keputusan. Perlu diungkap aktor intelektual yang paling bertanggung jawab di balik itu dengan cara mengurai motif pemberian uang tersebut. Semakin diketahui pejabat yang mendalangi praktik jual beli perkara ini, semakin telanjang pula masyarakat menyaksikan betapa bobroknya integritas penegak hukum di Indonesia.

Inilah tantangan besar bagi KPK untuk menelusuri gurita rasywah di lingkungan sesama penegak hukum. KPK ialah lembaga yang hingga kini memiliki elektabilitas tinggi di mata masyarakat sehingga sepatutnya tidak gentar menindak para pengkhianat hukum.

Apalagi KPK baru saja menerima Ramon Magsaysay Awards 2013 atas keberhasilannya mengampanyekan antikorupsi. KPK sukses menyeret pejabat-pejabat tinggi yang bersalah ke hadapan hukum, menerjemahkan visi jangka panjang terhadap reformasi sistem pemerintahan, dan mendorong pendidikan akan nilai kejujuran pada rakyat.

Penulis ketika menulis artikel ini sesungguhnya seperti menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Tapi, inilah tabir kejahatan peradilan paling menakutkan yang harus disingkap sehingga visi menuju peradilan yang agung tak sekadar slogan semata. Sedih melihat oknum aparat peradilan yang masih belum siap lahir dan batin untuk beranjak dari naluri tamak. Padahal, negara telah memberikan penghargaan memadai melalui remunerasi pada pegawai MA. Sebagai PNS golongan III C, DS mendapatkan gaji per bulan Rp3 juta hingga Rp4 juta. Hal itu belum termasuk tunjangan lainnya.

Karena itu, pascakejadian memalukan itu diharapkan jaringan praktik suap yang melibatkan aparat peradilan bisa terkuak seluruhnya sehingga harapan membangun peradilan bersih dari unsur KKN bisa segera terwujud.

Pemerintah terus mengumandangkan perang melawan kejahatan korupsi. Lembaga ad hoc seperti KPK dibentuk untuk memaksimalkan kerja pemberantasan korupsi. Jika aparat peradilan tidak memiliki komitmen penuh terhadap agenda reformasi itu, negara ini akan runtuh secara perlahan. Celaka besar jika sendi negara yang seharusnya menopang tegaknya negara hukum justru terlibat langsung dalam kejahatan korupsi. Padahal, korupsi telah menjadi epidemi birokrasi dengan cara mengisap uang rakyat yang penularannya begitu cepat membidik oknum pemerintahan berintegritas rendah.

Peristiwa tertangkapnya oknum pengadilan yang terlibat penyuapan menjadi tantangan MA untuk meningkatkan pengawasan internal. Pasalnya, langgengnya gurita rasywah di lingkungan peradilan sedikit banyak bergantung pada sistem pengawasan. Proses menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku aparat peradilan harus berjalan efektif, transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi berbagai elemen. KY juga telah membentuk tim penghubung di beberapa kota untuk memudahkan kontrol aparat peradilan dari penyimpangan. Dengan demikian, perlu desain dan penyempurnaan sistem pengawasan yang selama ini diberlakukan mengingat jumlah pegawai pengadilan di seluruh Indonesia sangat banyak.

Model pengawasan yang ideal itu bersifat preventif, bukan reaktif dan terpaku pada persoalan yang menjadi perhatian publik. Pengawasan preventif harus melibatkan secara langsung peran aparat peradilan sebagai subjek yang diawasi. Di setiap satuan kerja perlu didelegasikan pegawai teladan sebagai lokomotif perubahan yang tak jemu mengajak pada keluhuran. Jika gerakan tersebut bersifat masif, tidak menutup kemungkinan jumlah pegawai nakal berkurang dan tersisih oleh kekuatan moral pegawai berintegritas. Memberantas makelar-makelar kasus tidak akan menyentuh akar persoalan tanpa keteladanan dari figur serta menempatkan orang-orang bersih dan berani pada jabatan strategis.

Di samping itu, perlu dikembangkan budaya rasa malu di lingkungan peradilan. Caranya, pembinaan rutin harus memberikan porsi yang besar pada aspek pembentukan akhlak. Perlu dipahami bahwa jejaring mafi a peradilan kini semakin mengakar dan terdiri dari segerombolan orang berkualitas sampah yang tamak dan memberhalakan uang. Hal demikian dapat disimak dari frekuensi pelanggaran yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Jika pada 2012 laporan yang masuk ke KY sebanyak 1.520 orang dan 27 di antaranya mendapatkan rekomendasi sanksi, hingga Juni 2013 KY menerima 1.017 berkas laporan dan memberikan rekomendasi sanksi sebanyak 22 kepada Mahkamah Agung.


Aparat yang memiliki reputasi buruk tersebut harus disingkirkan dari sistem agar tidak menular menjadi penyakit bersama. Demikian pula di masa mendatang, proses penyaringan calon aparat harus berjalan ketat dan terbuka sehingga dapat membendung masuknya bibit baru yang sejak awal memiliki cacat moral bawaan. Pola rekrutmen SDM aparatur hukum wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan koneksitas atau nepotisme.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar