MEDIA
INDONESIA, 31 Juli 2013
|
NOKTAH
kejahatan peradilan kembali mencemari kesucian hukum kita. Seorang staf diklat
Mahkamah Agung (MA) berinisial DS ditangkap penyidik KPK bersama seorang
pengacara berinisial MCB karena terlibat kasus penyuapan, Kamis (25/7). Belum
diperoleh informasi yang utuh mengenai motif dugaan suap tersebut karena KPK
belum memberikan penjelasan memadai. Ditengarai, suap itu dilakukan karena dua
kemungkinan: sebagai deposit sebelum pemberi suap beperkara di pengadilan atau
untuk mengamankan perkara yang sedang diadili.
MCB diduga melanggar Pasal 5 ayat
1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia diduga memberi sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya. Sementara itu, DS diduga melanggar Pasal 5 ayat 2 atau
Pasal 11 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara, DS menerima pemberian atau janji.
Publik meyakini pemberi dan
penerima suap tersebut hanya sebagai kurir, mengingat dari segi kewenangan yang
dimiliki ataupun jabatan yang disandang, tidak termasuk kategori pengambil
keputusan. Perlu diungkap aktor intelektual yang paling bertanggung jawab di
balik itu dengan cara mengurai motif pemberian uang tersebut. Semakin diketahui
pejabat yang mendalangi praktik jual beli perkara ini, semakin telanjang pula
masyarakat menyaksikan betapa bobroknya integritas penegak hukum di Indonesia.
Inilah tantangan besar bagi KPK
untuk menelusuri gurita rasywah di lingkungan sesama penegak hukum. KPK ialah
lembaga yang hingga kini memiliki elektabilitas tinggi di mata masyarakat
sehingga sepatutnya tidak gentar menindak para pengkhianat hukum.
Apalagi KPK baru saja menerima Ramon Magsaysay Awards 2013 atas
keberhasilannya mengampanyekan antikorupsi. KPK sukses menyeret pejabat-pejabat
tinggi yang bersalah ke hadapan hukum, menerjemahkan visi jangka panjang
terhadap reformasi sistem pemerintahan, dan mendorong pendidikan akan nilai
kejujuran pada rakyat.
Penulis ketika menulis artikel ini
sesungguhnya seperti menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Tapi, inilah
tabir kejahatan peradilan paling menakutkan yang harus disingkap sehingga visi
menuju peradilan yang agung tak sekadar slogan semata. Sedih melihat oknum
aparat peradilan yang masih belum siap lahir dan batin untuk beranjak dari
naluri tamak. Padahal, negara telah memberikan penghargaan memadai melalui
remunerasi pada pegawai MA. Sebagai PNS golongan III C, DS mendapatkan gaji per
bulan Rp3 juta hingga Rp4 juta. Hal itu belum termasuk tunjangan lainnya.
Karena itu, pascakejadian
memalukan itu diharapkan jaringan praktik suap yang melibatkan aparat peradilan
bisa terkuak seluruhnya sehingga harapan membangun peradilan bersih dari unsur
KKN bisa segera terwujud.
Pemerintah terus mengumandangkan
perang melawan kejahatan korupsi. Lembaga ad
hoc seperti KPK dibentuk untuk memaksimalkan kerja pemberantasan korupsi.
Jika aparat peradilan tidak memiliki komitmen penuh terhadap agenda reformasi
itu, negara ini akan runtuh secara perlahan. Celaka besar jika sendi negara
yang seharusnya menopang tegaknya negara hukum justru terlibat langsung dalam
kejahatan korupsi. Padahal, korupsi telah menjadi epidemi birokrasi dengan cara
mengisap uang rakyat yang penularannya begitu cepat membidik oknum pemerintahan
berintegritas rendah.
Peristiwa tertangkapnya oknum
pengadilan yang terlibat penyuapan menjadi tantangan MA untuk meningkatkan
pengawasan internal. Pasalnya, langgengnya gurita rasywah di lingkungan
peradilan sedikit banyak bergantung pada sistem pengawasan. Proses menjaga
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku aparat peradilan harus berjalan
efektif, transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi berbagai elemen. KY
juga telah membentuk tim penghubung di beberapa kota untuk memudahkan kontrol
aparat peradilan dari penyimpangan. Dengan demikian, perlu desain dan
penyempurnaan sistem pengawasan yang selama ini diberlakukan mengingat jumlah
pegawai pengadilan di seluruh Indonesia sangat banyak.
Model pengawasan yang ideal itu
bersifat preventif, bukan reaktif dan terpaku pada persoalan yang menjadi
perhatian publik. Pengawasan preventif harus melibatkan secara langsung peran
aparat peradilan sebagai subjek yang diawasi. Di setiap satuan kerja perlu
didelegasikan pegawai teladan sebagai lokomotif perubahan yang tak jemu
mengajak pada keluhuran. Jika gerakan tersebut bersifat masif, tidak menutup
kemungkinan jumlah pegawai nakal berkurang dan tersisih oleh kekuatan moral
pegawai berintegritas. Memberantas makelar-makelar kasus tidak akan menyentuh akar
persoalan tanpa keteladanan dari figur serta menempatkan orang-orang bersih dan
berani pada jabatan strategis.
Di samping itu, perlu dikembangkan
budaya rasa malu di lingkungan peradilan. Caranya, pembinaan rutin harus
memberikan porsi yang besar pada aspek pembentukan akhlak. Perlu dipahami bahwa
jejaring mafi a peradilan kini semakin mengakar dan terdiri dari segerombolan
orang berkualitas sampah yang tamak dan memberhalakan uang. Hal demikian dapat
disimak dari frekuensi pelanggaran yang mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya. Jika pada 2012 laporan yang masuk ke KY sebanyak 1.520 orang dan 27
di antaranya mendapatkan rekomendasi sanksi, hingga Juni 2013 KY menerima 1.017
berkas laporan dan memberikan rekomendasi sanksi sebanyak 22 kepada Mahkamah
Agung.
Aparat
yang memiliki reputasi buruk tersebut harus disingkirkan dari sistem agar tidak
menular menjadi penyakit bersama. Demikian pula di masa mendatang, proses
penyaringan calon aparat harus berjalan ketat dan terbuka sehingga dapat
membendung masuknya bibit baru yang sejak awal memiliki cacat moral bawaan.
Pola rekrutmen SDM aparatur hukum wajib berasaskan profesionalitas dan
integritas, bukan berdasarkan koneksitas atau nepotisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar