Jumat, 21 Juni 2013

Pemicu Konflik Pimpinan Daerah

Pemicu Konflik Pimpinan Daerah
Sulardi ;   Doktor Hukum Tata Negara,
Pengajar Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
SUARA KARYA, 20 Juni 2013

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah terus dibahas antara DPR dan pemerintah. Mudah-mudahan ada titik temu untuk memperbaiki sistem pemilihan kepala daerah, tanpa harus mereduksi hakikat demokrasi yang telah memberi kedaulatan rakyat untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpinnya. Termasuk di dalamnya mengenai relasi antara kepala daerah dan wakilnya.

Harus diingat, berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa "kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil", walau tidak disebutkan dalam UUD 1945 bagaimana wakil kepala daerah dipilih sebab Pasal 18 poin 4 berbunyi, "Gubernur, bupati, dan walikota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".

Sejak saat itu hubungan antara kepala dan wakil kepala daerah diwarnai banyak persoalan. Pertama, rivalitas antara keduanya. Gubernur dan wakil gubernur antara walikota dengan wakil walikota, antara bupati dengan wakil bupati dan terjadi hubungan persaingan satu sama lain dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Di antara kepala daerah dan wakil kepala daerah justru sering saling berebut pengaruh baik di lingkungan aparat pemerintahan maupun di masyarakat.

Kedua, terjadi konflik kepentingan. Pada umumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal partai politik yang berbeda. Dengan latar belakang itu, tentu keduanya akan memperjuangkan kepentingan partai politik (parpol) pengusung masing-masing. Hal ini akan mengganggu kinerja pemerintahan daerah dan aparatur daerah pada umumnya. Akhirnya, rakyat yang kena getah ketidakharmonisan pimpinan itu.
Ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakilnya mencapai puncak terutama menjelang pilkada. 

Sebab, yang sering terjadi, kepala daerah tetap mencalonkan diri atau mempunyai calon pengganti sendiri, sedang wakil kepala juga bersiap maju untuk "naik pangkat" dari wakil menjadi kepala. Apalagi, mereka dari partai berbeda yang membuat mereka bersaing berebut pengaruh. Apabila seperti ini, maka terjadilah pertarungan antara kepala versus wakilnya. Oleh sebab itu, perlu ditata ulang hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan baik, efektif dan efisien.

Pola hubungan kepala daerah dengan wakil kepala daerah dapat dilacak pada tiga UU Pemerintah Daerah yang berlaku.

Pertama, UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa ini penyelenggaraan pemerintah daerah dijalankan pada era otoritarian, orientasinya pada negara (oriented state). Hal tersebut terlihat pada pertaggungjawaban yang bersifat vertikal, yakni Bupati/Walikota bertanggungjawab kepada Mendagri melalui Gubernur, dan Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden melalui Mendagri.

Pada masa ini tidak muncul masalah berkaitan dengan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab, pemilihan kepala daerah dilakukan secara sentralistis, dan tidak semua daerah mempunyai wakil kepala daerah.

Kedua, masa berlakunya UU No 22 Tahun 1999 penyelenggaraan pemerintah daerah rezimnya adalah demokrasi. Problem yang muncul pada masa ini, adalah kepala daerah dipilih dalam satu paket oleh DPRD. Walau pun demikian, terdapat perbedaan pertanggungjawaban.

Kepala daerah bertanggungjawab kepada DPRD, sedang wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah. Apabila kepala daerah berhalangan tetap, diganti oleh wakil kepal daerah sampai habis masa jabatannya. Namun, bila wakil kepala daerah yang berhalangan tetap, maka jabatan wakil kepala daerah dibiarkan kosong.

Ketiga, hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatur dalam UU No 32 tahun 2004. Wakil kepala daerah dan kepala daerah dipilih oleh rakyat dalam satu paket pemilihan, namun anehnya wakil kepala daerah tetap bertanggungjawab kepada kepala daerah. Inilah yang menjadi pemicu konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Akar persoalan terjadi disharmonis hubungan antara kepala daerah dan wakilnya, karena tidak adanya parpol meraih suara mayoritas di DPRD, (Kota, Kabupaten, Provinsi) sehingga terjadi pencalonan kepala daerah dan wakilnya oleh gabungan parpol. Hal ini memungkinkan antara kepala daerah dan wakilnya berasal dari parpol yang berbeda.

Perbedaan parpol yang mencalonkan kepala daerah dan wakilnya menyebabkan di tahun-tahun awal pemerintahan "pisah ranjang" antara kepala daerah dan wakilnya acap terjadi. Kemudian, terjadi "perceraian" diakhir masa jabatan, dan "permusuhan" saat pemilihan periode berikutnya. Upaya memperbaiki hubungan antara kepala daerah dan wakilnya saat ini muncul gagasan, pertama wakil kepala daerah berasal dari pegawai negeri sipil (PNS) yang ditunjuk oleh kepala daerah atau dipilih oleh DPRD. Kedua, wakil kepala daerah dipilih dari kalangan profesional atas usul kepala daerah terpilih.

Kedua usulan ini menimbulkan masalah hukum, sebab jika usulan pertama atau usulan kedua yang diterima, kemudian menjadi materi muatan UU pemda yang baru, dapat dipastikan akan melanggar hak konstitusional warga negara yang bukan PNS maupun yang merasa bukan profesional. Bahkan, definisi profesional akan memancing perdebatan.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyederhanaan parpol supaya ada yang bisa meraih suara mayoritas di DPRD. Sehingga, dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari parpol yang sama. Kedua, pengaturan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dan adanya pertanggungjawaban yang sama (kepada pemilih) baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Atau, tidak perlu ada jabatan wakil kepala daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar