Jumat, 21 Juni 2013

Korupsi Pemimpin Daerah dan Pemilukada

Korupsi Pemimpin Daerah dan Pemilukada
Ikhsan Darmawan ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SUARA KARYA, 20 Juni 2013


Hampir semua tentu sepakat 'tidak setuju' dan tidak suka dengan perilaku korupsi yang merugikan. Menurut Thompson (1993), korupsi itu buruk bukan karena uang dan keuntungan yang berpindah tangan, dan juga bukan karena motif perilaku korupsi, melainkan karena memprivatisasi aspek berharga kehidupan publik, melalui proses perwakilan, debat, dan pemilu.

Awal Juni lalu, sejumlah media melaporkan catatan Kemendagri bahwa sekitar 300 kepala daerah tersangkut perkara korupsi. Sebanyak 294 di antaranya bahkan telah menjalani hukuman di penjara sejak 2005 hingga akhir Mei 2013.

Fenomena ini dapat dilihat dari dua sisi. Sisi pertama, jelas data itu mengagetkan karena berarti terdapat lebih dari separuh kepala daerah dari total 500-an daerah (provinsi, kabupaten, kota) di Indonesia tercemar kasus hukum (korupsi). Di sisi lain, mengingat hasil penelitian berjudul "Pengaruh Pengaturan Pemiluka dalam UU No.32 Tahun 2004 terhadap Perilaku Korupsi Kepala Daerah" yang dilakukan oleh penulis sendiri bersama Donni Edwin tahun 2011 bahwa memang terdapat kecenderungan kuat perilaku koruptif yang dilakukan oleh kepala daerah akibat lemahnya aturan-aturan kampanye Pemilukada dalam UU.

Apa sebetulnya pangkal persoalan perilaku korupsi para kepala daerah? Tanpa bermaksud menggeneralisasikan, penulis sependapat dengan argumentasi 'umum' yang sering direlasikan dengan tindakan korupsi pemimpin daerah. Bahwa perilaku korupsi kepala daerah dapat disebabkan oleh persoalan sistem pemilihan yang berlaku sejak 2005, yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung (pemilukada).
Bagaimana relasi antara perilaku korupsi dan pengaturan dalam Pemilukada?

Pertama, peran besar uang bagi seorang calon kepala daerah dalam proses Pemilukada di Indonesia. Aloysius Benedictus Mboi (2009) membuat penjelasan terkait hal itu sebagai berikut: "....Reading from experience, a candidate without money almost surely will not be elected. A party without money will not have extensive popular support. It seems that the political landscape and political culture in the near future will be determined by the people and parties that have the most money.."

Uang yang mesti digelontorkan oleh seorang calon kepala daerah itu setidaknya diperuntukkan untuk dua jenis keperluan, yaitu biaya 'sewa perahu' dan biaya kampanye. Untuk biaya 'sewa perahu', walaupun tidak diatur oleh UU, ongkos ini dalam banyak kasus memang ada terutama untuk seorang bakal calon kepala daerah yang maju melalui jalur parpol. Uang 'sewa perahu' ini dimaksudkan agar memperoleh restu dari parpol pengusung.

Untuk biaya kampanye, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai acuan tata cara pemilukada memiliki sejumlah kelemahan dalam hal pengaturan kampanye. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 75 sampai pasal 79 UU No.32 Tahun 2004. Kelemahan aturan itu berimplikasi kuat terhadap biaya politik yang tinggi.

Kedua, besarnya fulus yang mesti dikeluarkan itu berkaitan dengan 'kewajiban' seorang calon kepala daerah terpilih untuk mengembalikannya. Mendagri Gamawan Fauzi pernah mengatakan ketika dia bertanya kepada seorang gubernur berapa biaya yang dikeluarkan selama pilkada, jawabannya adalah 60 miliar rupiah. Ketika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada gubernur lain, gubernur itu menjawab menghabiskan dana sampai 100 miliar rupiah. (Kompas, 18/1/11)

Apabila informasi dari Mendagri itu dikaitkan dengan besaran jumlah gaji gubernur yang hanya 8,6 juta rupiah per bulan atau total 516 juta rupiah selama lima tahun menjabat, jelas jumlah dana besar yang harus dikeluarkan langsung atau tidak membuat kepala daerah 'terpaksa' melakukan korupsi dana rakyat. 

Penjelasan di atas diperkuat oleh Persson dan kawan-kawan (2003) bahwa politisi terpilih memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya berkaitan dengan pengeluaran untuk pemilih.
Walaupun demikian, bukan berarti penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan kita harus mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung (oleh DPRD). Ada sejumlah alasan terkait hal itu.

Pertama, meskipun sistem pemilukada (langsung) berimplikasi terhadap perilaku korupsi kepala daerah, akan tetapi kelemahan sistem itu bukanlah satu-satunya sebab. Masih ada hal lain yang juga patut diperhitungkan, seperti mental korupsi si pemimpin, lemahnya penegakan hukum, dan lemahnya pengawasan oleh DPRD.

Kedua, mengubah sistem dari langsung menjadi tidak langsung tidak serta-merta menghapus perilaku korupsi kepala daerah. Hal ini karena relasi uang juga tetap akan ada, tapi bukan antara calon kepala daerah dengan pemilih melainkan dengan lembaga legislatif daerah.

Michael Buehler (2010) dalam Decentralization and Local Democracy in Indonesia: The Marginalization of the Public Sphere mengatakan bahwa dalam sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD, banyak anggota lembaga legislatif lokal meminta uang yang 'ditukar' dengan dukungan kepada para calon kepala daerah. Harold Crouch (2010) setali tiga uang dengan Buehler bahwa pemberian uang oleh kepala daerah terpilih kepada anggota DPRD kerap dilakukan ketika seorang calon kepala daerah menang dalam sistem pemilihan oleh DPRD.

Jadi, kita jangan gegabah menyimpulkan bahwa hanya sistem pemilukada saja yang patut kita kambinghitamkan. Aspek lain juga perlu ditelaah agar kita bisa mendapatkan kesimpulan secara faktual dan komprehensif.

Akhirnya, sistem pemilu kepala daerah secara lagsung tetap penting dipertahankan agar rakyat dapat menilai sekaligus menentukan pemimpinnya secara langsung tanpa melewati pihak lain. Terkait kelemahan adanya uang 'sewa perahu' dan mahalnya biaya kampanye, sudah selayaknya dikoreksi oleh Kemendagri dan DPR sebagai perumus perubahan UU tentang Pemilukada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar