Minggu, 16 Juni 2013

Mengapa Beragama?

Mengapa Beragama?
Komaruddin Hidayat ;   Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 14 Juni 2013



Mengapa beragama? Jawaban yang muncul akan berbeda-beda, berkaitan dengan siapa yang ditanya. Bagi sebagian masyarakat Barat atau China yang tidak beragama, justru malah aneh, mengapa mesti beragama. 

Namun, bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, akan heran kalau orang tidak beragama. Kalau seseorang beragama, masih juga muncul pertanyaan selanjutnya, agama apa yang dianut? Mengapa tidak ganti-ganti agama agar lebih banyak pengetahuan dan pengalamannya? Terdapat dua kredo utama dalam beragama, yaitu percaya akan adanya Tuhan dan percaya terhadap keabadian hidup setelah mati. Dua kredo ini merupakan dimensi pokok dalam setiap agama. 

Di antara keduanya muncullah konsep dan kepercayaan terhadap pembawa atau pendiri agama yang diyakini menerima mukjizat maupun wahyu dari Tuhan untuk meyakinkan umatnya. Wahyu ajaran Tuhan itu lalu dihimpun menjadi kitab suci, yang di dalamnya terdapat perintah dan panduan berbuat kebajikan, baik yang berupa ritual keagamaan maupun perilaku sosial horizontal. 

Meski inti agama adalah kepercayaan kepada Tuhan, mempunyai implikasi dalam berbagai kehidupan sehari-hari sehingga muncul etika dan pranata sosial. Dari sekian agama yang ada, mungkin saja ajaran Islam yang paling detail memberikan panduan perilaku dan pranata sosial. Bahkan, sejak masuk dan keluar toilet saja ada formula doanya. Soal pembagian harta warisan, misalnya, Alquran juga memuat formula sangat detail. Mungkin ini sebagai antisipasi bahwa kalau sudah menyangkut harta, manusia maunya mendapatkan lebih, enggan dikurangi. 

Namun, begitu Alquran mengajarkan kasih sayang dan persaudaraan sesama keluarga sehingga dimungkinkan terjadi hibah dan hadiah secara sukarela jika dipandang ada anggota keluarga yang lebih memerlukan. Artinya, pelaksanaan pembagian harta warisan itu luas dan luwes. Siapa pun yang mendalami agama, terlebih bagi masyarakat sekuler yang sangat mengandalkan nalar dalam memahami agama, tema ketuhanan menempati urutan pertama untuk dipelajari dan diajarkan. 

Pemahaman, kepercayaan, dan keyakinan terhadap Tuhan merupakan sumber dan fondasi bagi keberagamaan seseorang. Dalam sejarah agama, selalu saja muncul perdebatan seputar konsep ketuhanan. Memasuki zaman modern berbagai argumen yang dimajukan semakin canggih, kaya, dan mendalam. Mereka yang menganut paham ateisme, berbagai buku yang menyajikan argumen saintifik untukmenyangkaladanya Tuhan semakin bermunculan. 

Sebaliknya, mereka yang menganut paham teisme, mesti mampu memberikan sanggahan balik yang juga bersifat saintifik. Metode dan isi argumen seputar ketuhanan hari ini menggunakan kajian sains yang lebih rasional, empiris, dan detail dibandingkan perdebatan pada abad-abad lalu. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang sejak kecil sampai tua dikondisikan untuk meyakini dan mempraktikkan agama, berbagai argumen filosofis-ilmiah itu tidak diperlukan. 

Agama cukup diyakini dan dijalankan. Para penceramah agama pun lebih banyak mengutip ayat-ayat Alquran, hadis, dan pendapat ulama ketimbang membahasnya dari sisi filsafat dan keilmuan modern. Bahkan, festival keagamaan semakin meriah. Ditambah lagi agama ditarik-tarik ke politik. Karena itu semakin warna-warni dan riuh-rendah wajah agama di Indonesia. 

Namun, bagi generasi baru yang mendapatkan pendidikan modern dan bergaullintasagama, serta bangsa di lingkungan kerja dan kampus internasional, cara pandang terhadap agama dan ketuhanan telah mengalami pergeseran cukup jauh. Berbeda dari generasi orang tuanya. Mereka merasa dituntut untuk memiliki basis argumen dan penalaran yang lebih ilmiah dan filosofis karena sering terlibat dalam obrolan dan diskusi lintas agama dan lintas anak bangsa dalam suasana bebas, serta terbuka. 

Di antara pertanyaan yang sering meneror mereka, yakni mengapa orang-orang sekuler yang tidak bertuhan lebih peduli dan mencintai lingkungan hidup? Mengapa korupsi lebih rendah terjadi di lingkungan masyarakat sekuler? Demikianlah, masih banyak pertanyaan kritis dan fenomena sosial yang sering dijadikan argumen yang menggeser dan bahkan menantang posisi agama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dan sosial. Begitu masuk panggung sosial, agama apa pun mesti siap menghadapi kritik, ujian, dan hujatan sehingga pada urutannya akan terjadi seleksi dan pendewasaan alamiah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar