Minggu, 16 Juni 2013

Peduli dan Rendah Hati

Peduli dan Rendah Hati
Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 14 Juni 2013


BENDERA setengah tiang tanda berkabung sudah tidak terpasang lagi. Namun, Taufiq Kiemas, negarawan yang peduli dan rendah hati masih meninggalkan ceruk di hati masyarakat. Tidak terlupakan keteladanan pemimpin nasionalis itu dalam membuktikan empatinya terhadap orang-orang yang dianggap lawan-lawan politiknya. Juga simpatinya terhadap nasib rakyat banyak terasa mengesankan dan tidak dalam bentuk perbuatan atau kata-kata, tetapi lebih dalam bentuk sikap dan isyarat.

Tanggapan masyarakat atas kepergian tokoh itu mengagumkan, mengingat kita biasanya kikir pujian untuk pemimpin yang telah pergi. Bila kita renungkan, bahkan untuk pemimpin-pemimpin tertinggi negeri ini, kita tak rela memberi pujian ketika mereka mencapai finish. Ada saja celaannya. Dari lima kepala negara pertama, misalnya, hanya Ibu Megawati yang berhasil mengakhiri jabatan tanpa kericuhan. Sejarah nantinya akan mencatat, mungkin bangsa ini memang tidak mengenal rasa syukur dan terima kasih. Besar-kecilnya jasa para kepala negara tidak pernah masuk hitungan mereka.

Lain dari kebiasaan, Taufiq Kiemas disebut pemimpin teladan. Sosok seperti itu yang diangankan menjadi pemimpin masa depan. Dia tidak sertamerta melempar kesalahan kepada pihak mana pun karena mungkin dia merasakan kita pada umumnya memang kurang pendidikan kebangsaan. Gagasannya tentang Empat Pilar Bangsa mencerminkan kepeduliannya bahwa demi masa depan, bangsa ini perlu terus-menerus diingatkan tentang asas berbangsa dan bernegara.

Mengkhianati jati diri

Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa segolongan elite di negeri ini telah mengkhianati jati diri bangsa. Itu menjelaskan mengapa protes jalanan tidak kenal henti, antara lain dipicu kesan-kesan ketidakpedulian jajaran eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, terutama bila persoalannya menyangkut kepentingan rakyat kecil. Faktanya memang ada kelompokkelompok yang memanfaatkan kekisruhan suasana untuk kepentingan pribadi ataupun golongan mereka. Toh tindakan tegas dirasakan lamban bila dilakukan mereka yang berwenang. Lembaga yudikatif adakalanya kelihatan enggan mandiri. Kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan tokoh-tokoh besar masih saja terkatung-katung, yang tentunya bisa mengikis kesabaran masyarakat.

Lebih jauh, bukan tidak mungkin akan muncul kembali bahaya SARA karena rasa ketidakpuasan masyarakat. Gejala-gejalanya sudah muncul di banyak tempat. Namun, ada kesan, kaum elite kita tidak dibiasakan sensitif terhadap situasi macam ini. Sebaliknya, mereka mungkin meyakini bahwa kekisruhan dan kekacauan yang terjadi sebenarnya akibat proses reformasi dan transformasi: suatu proses yang memerlukan waktu pembelajaran dan penghayatan.
Adapun seperti lazimnya di negara berkembang, semua penyempurnaan diharapkan bisa terjadi serempak--sesuatu yang tidak akan mungkin.

Yang mencemaskan, bagaimana ujung pergolakan yang ada sekarang? Apakah pemilu satu tahun lagi itu akan meredakan kekalutan dan menyejukkan suasana? Atau sebaliknya akan menimbulkan kegaduhan yang lebih besar? Kita mengharapkan partaipartai politik sebagai pilar-pilar demokrasi mampu menggiring suasana ke arah kemaslahatan bersama.

Mewaspadai kecenderungan negatif

Ketika berbicara tentang partai politik, ada saran yang pas untuk mereka, `It is not the winning or losing. It is how you play the game'. Tidak ada gunanya menang bila permainannya curang, sebab rakyat akan ingat, dan rakyatlah yang memilih tokoh-tokoh mereka.

Ungkapan itu biasa kita dengar bila kita bicara tentang persaingan. Namun, di dunia yang semakin sempit, semakin padat, semakin kering dan semakin resah, apakah ungkapan seperti itu bisa berlaku?

Dengan fakta di lapangan, sekarang ini anjuran Machiavelli (1469-1527) kelihatannya lebih banyak dijalankan daripada utopia (yang tiada) yang digagas Sir Thomas More (1478-1535). Negarawan Inggris Thomas More memimpikan suatu masyarakat yang ideal, yang anggota-anggotanya serbabaik, bahagia, dan sejahtera: suatu masyarakat yang ‘tiada’. Seperti itu pulalah yang diangankan Taufiq Kiemas sewaktu menyarankan diadakannya pertemuan antarpemimpin partaipartai besar agar mereka bisa berembuk untuk kepentingan bersama bangsa ini. Apakah gagasan itu utopis?

Machiavelli, bangsawan Italia itu, sebaliknya memiliki gagasan realistis bagaimana menghadapi kehidupan politik dan sosial, yaitu suatu kehidupan yang menurut dia harus diwarnai kecurangan. Demikian terus-terangnya Machiavelli dalam mengungkap sifat-sifat gelap manusia sehingga namanya sampai sekarang sinonim dengan perilaku politik yang serbalicik, licin dan lihai, yang bisa saja dianggap tidak melanggar hukum. Yang berbuat salah sengaja mencari celah-celah kelemahan hukum untuk menyelamatkan dirinya. Inilah yang kita lihat sedang banyak terjadi saat ini di masyarakat kita.

Tentang kebajikan, Machiavelli mengatakan, ‘Orang yang ingin membuat kebajikan sebagai profesinya akan terpaksa menderita dalam segala hal karena dia hidup di antara demikian banyak orang jahat. Karena itu, kita perlu belajar bagaimana bersikap tidak baik dan menggunakan serta menerapkan pengetahuan itu sesuai tuntutan situasi.’

Tentang ‘kekayaan’, Machiavelli berkata, ‘Saya yakin kita lebih baik nekat daripada hatihati, karena kekayaan seperti perempuan, memang perlu ditaklukkan dengan kekerasan.’ Pikiran seperti itu yang barangkali menjadi obsesi mereka yang korupsi sekarang ini.


Untuk menyoroti panggung percaturan politik kita, sepertinya banyak yang beranggapan seperti Machiavelli, the end justifies the means. Pendek kata, yang penting hasil akhirnya, bukan caranya. Fakta itu mencemaskan karena sikap utopis para pemimpin yang diidealkan mungkin hanya berupa mimpi. Apakah gagasan Taufiq Kiemas suatu mimpi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar