|
MEDIA
INDONESIA, 14 Juni 2013
BENDERA
setengah tiang tanda berkabung sudah tidak terpasang lagi. Namun, Taufiq
Kiemas, negarawan yang peduli dan rendah hati masih meninggalkan ceruk di hati
masyarakat. Tidak terlupakan keteladanan pemimpin nasionalis itu dalam
membuktikan empatinya terhadap orang-orang yang dianggap lawan-lawan
politiknya. Juga simpatinya terhadap nasib rakyat banyak terasa mengesankan dan
tidak dalam bentuk perbuatan atau kata-kata, tetapi lebih dalam bentuk sikap
dan isyarat.
Tanggapan masyarakat atas
kepergian tokoh itu mengagumkan, mengingat kita biasanya kikir pujian untuk
pemimpin yang telah pergi. Bila kita renungkan, bahkan untuk pemimpin-pemimpin
tertinggi negeri ini, kita tak rela memberi pujian ketika mereka mencapai
finish. Ada saja celaannya. Dari lima kepala negara pertama, misalnya, hanya
Ibu Megawati yang berhasil mengakhiri jabatan tanpa kericuhan. Sejarah nantinya
akan mencatat, mungkin bangsa ini memang tidak mengenal rasa syukur dan terima
kasih. Besar-kecilnya jasa para kepala negara tidak pernah masuk hitungan
mereka.
Lain dari kebiasaan, Taufiq
Kiemas disebut pemimpin teladan. Sosok seperti itu yang diangankan menjadi
pemimpin masa depan. Dia tidak sertamerta melempar kesalahan kepada pihak mana
pun karena mungkin dia merasakan kita pada umumnya memang kurang pendidikan
kebangsaan. Gagasannya tentang Empat Pilar Bangsa mencerminkan kepeduliannya
bahwa demi masa depan, bangsa ini perlu terus-menerus diingatkan tentang asas
berbangsa dan bernegara.
Mengkhianati jati diri
Tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa segolongan elite di negeri ini telah mengkhianati jati diri bangsa. Itu
menjelaskan mengapa protes jalanan tidak kenal henti, antara lain dipicu
kesan-kesan ketidakpedulian jajaran eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif,
terutama bila persoalannya menyangkut kepentingan rakyat kecil. Faktanya memang
ada kelompokkelompok yang memanfaatkan kekisruhan suasana untuk kepentingan
pribadi ataupun golongan mereka. Toh tindakan tegas dirasakan lamban bila
dilakukan mereka yang berwenang. Lembaga yudikatif adakalanya kelihatan enggan
mandiri. Kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan tokoh-tokoh besar masih
saja terkatung-katung, yang tentunya bisa mengikis kesabaran masyarakat.
Lebih jauh, bukan tidak mungkin
akan muncul kembali bahaya SARA karena rasa ketidakpuasan masyarakat. Gejala-gejalanya
sudah muncul di banyak tempat. Namun, ada kesan, kaum elite kita tidak
dibiasakan sensitif terhadap situasi macam ini. Sebaliknya, mereka mungkin
meyakini bahwa kekisruhan dan kekacauan yang terjadi sebenarnya akibat proses
reformasi dan transformasi: suatu proses yang memerlukan waktu pembelajaran dan
penghayatan.
Adapun seperti lazimnya di negara berkembang, semua penyempurnaan diharapkan
bisa terjadi serempak--sesuatu yang tidak akan mungkin.
Yang mencemaskan, bagaimana ujung
pergolakan yang ada sekarang? Apakah pemilu satu tahun lagi itu akan meredakan
kekalutan dan menyejukkan suasana? Atau sebaliknya akan menimbulkan kegaduhan
yang lebih besar? Kita mengharapkan partaipartai politik sebagai pilar-pilar
demokrasi mampu menggiring suasana ke arah kemaslahatan bersama.
Mewaspadai kecenderungan negatif
Ketika berbicara tentang partai
politik, ada saran yang pas untuk mereka, `It
is not the winning or losing. It is how you play the game'. Tidak ada
gunanya menang bila permainannya curang, sebab rakyat akan ingat, dan rakyatlah
yang memilih tokoh-tokoh mereka.
Ungkapan itu biasa kita dengar
bila kita bicara tentang persaingan. Namun, di dunia yang semakin sempit,
semakin padat, semakin kering dan semakin resah, apakah ungkapan seperti itu
bisa berlaku?
Dengan fakta di lapangan, sekarang
ini anjuran Machiavelli (1469-1527) kelihatannya lebih banyak dijalankan
daripada utopia (yang tiada) yang digagas Sir Thomas More (1478-1535).
Negarawan Inggris Thomas More memimpikan suatu masyarakat yang ideal, yang
anggota-anggotanya serbabaik, bahagia, dan sejahtera: suatu masyarakat yang
‘tiada’. Seperti itu pulalah yang diangankan Taufiq Kiemas sewaktu menyarankan
diadakannya pertemuan antarpemimpin partaipartai besar agar mereka bisa
berembuk untuk kepentingan bersama bangsa ini. Apakah gagasan itu utopis?
Machiavelli, bangsawan Italia
itu, sebaliknya memiliki gagasan realistis bagaimana menghadapi kehidupan
politik dan sosial, yaitu suatu kehidupan yang menurut dia harus diwarnai
kecurangan. Demikian terus-terangnya Machiavelli dalam mengungkap sifat-sifat
gelap manusia sehingga namanya sampai sekarang sinonim dengan perilaku politik
yang serbalicik, licin dan lihai, yang bisa saja dianggap tidak melanggar
hukum. Yang berbuat salah sengaja mencari celah-celah kelemahan hukum untuk
menyelamatkan dirinya. Inilah yang kita lihat sedang banyak terjadi saat ini di
masyarakat kita.
Tentang kebajikan, Machiavelli
mengatakan, ‘Orang yang ingin membuat kebajikan sebagai profesinya akan
terpaksa menderita dalam segala hal karena dia hidup di antara demikian banyak
orang jahat. Karena itu, kita perlu belajar bagaimana bersikap tidak baik dan
menggunakan serta menerapkan pengetahuan itu sesuai tuntutan situasi.’
Tentang ‘kekayaan’, Machiavelli
berkata, ‘Saya yakin kita lebih baik nekat daripada hatihati, karena kekayaan
seperti perempuan, memang perlu ditaklukkan dengan kekerasan.’ Pikiran seperti
itu yang barangkali menjadi obsesi mereka yang korupsi sekarang ini.
Untuk menyoroti panggung
percaturan politik kita, sepertinya banyak yang beranggapan seperti
Machiavelli, the end justifies the means.
Pendek kata, yang penting hasil akhirnya, bukan caranya. Fakta itu mencemaskan
karena sikap utopis para pemimpin yang diidealkan mungkin hanya berupa mimpi.
Apakah gagasan Taufiq Kiemas suatu mimpi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar