|
SINAR HARAPAN, 05 Juni 2013
Lima puluh
tahun Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lima
puluh tahun pula rakyat Papua terus menderita. Berbagai kebijakan pusat tidak
sampai ke daerah, hanya dinikmati segelintir elite Jakarta dan Papua.
Permintaan dialog pun tidak pernah ditanggapi pemerintah pusat.
“Kami tidak mengerti, kenapa pemerintah pusat
takut melakukan dialog dengan rakyat Papua? Ada apa?” kata Wakil Ketua DPR Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie
dalam diskusi di Press Room DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu. Jimmy Demianus
Ijie mengatakan, masalah Papua harus diselesaikan dengan dialog. Tapi, yang
menjadi pertanyaan selama ini kenapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
belum pernah mau berdialog dengan rakyat Papua?
Persoalan
lain selama menjadi masalah saudara kita di Papua adalah masalah kekerasan
sering merusak kerukunan hidup dan bahkan bisa mengancam keutuhan NKRI.
Komitmen untuk menyelesaikan masalah di Papua melalui dialog terbuka antara
pemerintah pusat dengan masyarakat Papua perlu diintensifkan.
Semua
dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara demokratis, modern, dan beradab,
serta menjadikan Papua sebagai Tanah Damai. Selain itu, perlu dikembangkan
sikap saling percaya antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua.
Sedini
mungkin perlu dilakukan identifikasi terhadap masalah yang menghambat
terwujudnya Papua Tanah Damai. Jadi, perlu suatu gerakan bersama dalam
menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal di Tanah Papua demi mewujudkan
Papua Tanah Damai.
Keadilan
untuk Papua
Kekerasan
yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam
cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat mengherankan karena kekerasan selalu
menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru hingga kini) khususnya untuk menghadapi
saudara-saudara kita di Bumi Cendrawasih.
Tragedi
demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi
kekerasan yang dilakukan aparat makin memperpanjang deretan luka yang dialami
rakyat Papua.
Watak
represi negara dipraktikkan dengan mengabaikan segala pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh
pendekatan kecuali kekerasan. Bahkan, nyaris tak terhitung berapa banyak
pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.
Jelas
bahwa peristiwa ini menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami
semua pihak baik masyarakat di sekitar tempat kejadian maupun di wilayah
Jayapura dan Papua umumnya. Bukan hanya itu, karena juga terjadi pelanggaran
hak milik sebab setiap peristiwa selalu menyebabkan kehancuran harta benda.
Peristiwa
seperti demikian mengingatkan pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya
di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber
alam dari tanah tumpah darah mereka.
Di
tengah isu kemiskinan dan ketidakdilan, mereka tersandera oleh isu
nasionalisme. Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia? Max Lane
dalam “Bangsa yang Belum Selesai”
menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide dan pikiran
dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Kedaulatan
politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka setengah abad lebih
lalu, tapi nation building memerlukan
dinamika baru secara dinamis.
Mempertimbangkan
segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia
sebagai bangsa ”yang belum selesai” justru lahir pertanyaan, haruskah kita
memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan sekaligus mengabaikan diri
pada semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata
ancaman?
Dinamika
politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, namun bila gejolak itu
dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak
ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orba.
Jauh
lebih penting membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah bagaimana seharusnya
cara pandang kita melihatnya.
Kita
berpengalaman saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme
memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agama. Yang terjadi adalah
kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan. Papua adalah wilayah yang
teramat sering menjadi korban keberingasan tangan berdarah atas nama
nasionalisme ini.
Nasionalisme
yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang
picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang NKRI adalah
konsep utama kebangsaan ini, bagaimana menegakkannya dengan landasan keadilan.
Nasionalisme yang telah mengubah dirinya menjadi “agama baru” akan melahirkan
imajinasi kaum nasionalis hampir sama persis dengan bagaimana saat dirinya
membayangkan agama yang dia peluk.
Konsekuensinya
mereka harus menjaganya dari serangan musuh yang mencoba mengganggunya.
Nasionalisme diperlakukan dengan segala macam cara termasuk yang paling utama
adalah kekerasan, agar ia tak roboh.
Upaya
nation building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap-sikap
elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan merebut Indonesia dari
penjajah. Tidak jarang mereka membunuhi rakyatnya sendiri karena dianggap
melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.
Berikan
Keadilan
Kita
harus membaca persoalan Papua ini dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu
bercermin dalam diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini ––yang
tercipta dari waktu yang sama dan juga ikut berjuang untuk menegakkan bumi
pertiwi— belum sejahtera padahal kekayaan alamnya sangat melimpah.
Kita
memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua?
Kekayaan alam yang begitu melimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan
kesejahteraan.
Realitas
seperti ini akan mengajak kita bersama berpikir ulang, di manakah tanggung
jawab Republik ini agar kita bersama-sama merasakan penderitaan kemiskinan
rakyat Papua. Harus diakui itu adalah bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa
yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap Papua.
Kebijakan
elite politik Jakarta yang hanya berorientasi sekadar menguras kekayaan mereka
adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa. Keadilan belum
pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah.
Karena
itu saat ini yang lebih urgen adalah bagaimana pemerintah lebih proaktif untuk
mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua
adalah bagian terpenting Republik Indonesia. Rakyat Papua berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya
alamnya.
Otonomi
pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua bila
ada kemauan politik ke sana.
Pemerintah
harus mengoreksi kebijakan yang tidak memberikan kesempatan kepada rakyat Papua
untuk memperoleh akses dalam ikut serta mengelola sumber daya alam. Rakyat
Papua hanya bisa menjadi “Indonesia”, bila politik Jakarta berorientasi untuk
memanusiakan warga Papua.
Pendekatan
kekerasan jelas harus ditanggalkan dan dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan
harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan
masyarakat Papua.
Perubahan
orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua agar Jakarta memahami
bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan. Dibutuhkan sebuah tata ekonomi
baru di mana sumber alam harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk
pemiliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar