|
SINAR HARAPAN, 05 Juni 2013
Dosen
sejarah sosial menjelaskan kepada para mahasiswa bahwa sejarah bukan kisah
kepahlawanan orang-orang besar, yaitu para jenderal, atau para panglima, yang
menang perang, yang kemudian menyusun sejarahnya sendiri, sehingga makna
sejarah ditentukan semata-mata oleh orang-orang yang menang.
Sejarah
juga bukan berarti panggung kemegahan raja-raja, para pangeran, bala tentara,
dan para pemimpin yang menggerakkan peperangan.
Ini
karena kalau begitu cara memandang sejarah, maka para petani dan orang-orang
biasa lainnya, yang sebenarnya juga berhak mendapat sebutan sebagai aktor
sejarah—yang gagah berani seperti para jenderal—niscaya tidak akan pernah
memiliki tempat di dalam sejarah, seperti tampak jelas dalam orientasi sejarah
yang bersifat Eropa sentris, atau kolonial sentris.
Sebuah
film koboi, The Magnificent Sevent, bisa menjadi ilustrasi menarik. Di dalamnya
ditampilkan “sejarah” perlawanan petani—dibantu, atau dilindungi tujuh
jagoan—melawan para perampok yang secara permanen menjarah desa dan kehidupan mereka.
Pada mulanya para petani yang hidup sederhana, lugu, dan puas menerima apa yang
mereka miliki itu tak berdaya dan tak berani membela diri.
Berkat
dorongan orang tertua, yang agaknya juga pemimpin rohani di desa itu, para
petani mencari perlindungan para jagoan di kota, dan mereka pun berhasil
membeli senjata-senjata yang terbukti sangat berguna untuk mengusir para
penjarah. Dipimpin tujuh jagoan tadi, para petani bertempur. Bernard, dimainkan
oleh Charles Bronson, yang dipanggil Bernardo, disukai dan diidolakan
anak-anak. Dalam pertempuran pun anak-anak mengikutinya.
Mereka
bilang, ayah anak-anak itu bukan pemberani seperti Bernardo. Kontan Bernard
marah sekali. “Coba lihat, ayah-ayah
kalian bukan pengecut. Mereka juga pemberani seperti kami. Jangan sembarangan
bicara,” kata Bernard.
Tak
diragukan, film ini mengesankan adanya pandangan bahwa aktor sejarah hanya
orang-orang terkemuka, seperti tujuh jagoan itu, dan petani—ayah-ayah
mereka—dianggap remeh. Tapi, sekali lagi, kesalahan cara pandang itu dibetulkan
oleh Bernard.
Kemudian
dosen itu bertanya, “Kalau begitu dengan apa kebesaran manusia ditentukan di
dalam sejarah?”
“Dengan
silsilahnya,” jawab seorang mahasiswa.
“Tidak.”
“Dengan
jabatannya,” jawab mahasiswa yang lain.
“Tidak.”
“Dengan
pangkatnya,” jawab mahasiswa yang lain lagi.
“Tidak.”
Suasana
ruang kuliah, yang diisi hanya oleh 12 mahasiswa semester empat jurusan sejarah
itu, menjadi hiruk-pikuk oleh perdebatan, dan sang dosen membiarkan mereka
sedikit ribut untuk beberapa saat, sampai akhirnya mereka tenang kembali. Tak
lama sesudahnya salah seorang dari mereka berbicara. “Dengan apa kalau begitu?”
tanya mahasiswa tersebut.
“Dengan
pengabdiannya, atau berdasarkan jasa-jasanya,” jawab mahasiswa yang sejak tadi
masih diam saja.
Sang
dosen memberi tanda bahwa dia setuju pada jawaban itu. “Semua mendengar
baik-baik jawaban itu tadi?” tanyanya.
Layak
Dihargai
Tujuh
jagoan itu mengabdi kemanusiaan dengan melindungi kelompok lemah, yang
dijadikan “sapi perahan” oleh para penjarah-rayah. Pengabdian, bisa juga
disebut pengorbanan, yang mereka berikan kepada para petani itu layak diberi
penghargaan. Hanya sesudah melakukan pengabdian dan pengorbanan yang nyata bagi
kehidupan manusia seseorang layak diberi penghargaan.
Orang
yang mendapat penghargaan pasti merasa senang. Tiap manusia memiliki watak dan
sifat senang dihormati. Ada orang yang selalu hormat kepada orang lain, semata
karena dia berharap agar orang lain juga menghormatinya. Sikapnya yang baik itu
mengandung pamrih. Tapi tak mengapa.
Ada
juga orang yang bisa disebut penggemar penghormatan, dan selalu mendambakan
penghargaan. Belum tentu dia termasuk kategori orang yang gila hormat. Dia
hanya menjadi orang sangat bangga jika hasratnya terpenuhi.
Dalam
jejak hidupnya sudah banyak tanda bahwa dia memang penggemar penghargaan tadi.
Boleh jadi itu hanya sekadar untuk bisa dibanggakan pada orang lain. Tapi bisa
juga itu tanda bahwa yang bersangkutan mengidap gejala tak sehat, untuk
mengagungkan diri sendiri.
Kecenderungan
seperti itu, di dalam pergaulan yang tak sehat, yang penuh pamrih, penuh
kepentingan, penuh sikap menjilat, bisa semakin berkobar dan menjadi-jadi. Jika
orang macam itu makin didorong dan dipanas-panasi agar selalu berusaha
memperoleh penghargaan demi penghargaan, yang bersangkutan jelas akan menempuh
cara apa pun agar penghargaan yang dianggap membuatnya semakin besar itu bisa
diraihnya.
Kalau
dia memiliki jasa dalam pengabdian bagi sesama manusia, yang menjamin hak-hak
mereka, atau melindugi mereka dari ancaman pihak lain, maka penghargaan itu ada
alasannya untuk diterima. Tapi bagaimana kalau orang tanpa pengorbanan, tanpa
jasa, tapi menerima dengan bangga penghargaan yang ditawarkan padanya?
Kita
tahu penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang punya jasa, yang mengabdi,
dan berkorban bagi sesama manusia. Di luar itu kita tak berhak menerimanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar