|
TEMPO.CO, 05 Juni 2013
Global Reporting Initiative (GRI)
meluncurkan standar pelaporan keberlanjutannya yang terbaru, yang merupakan
generasi keempat sejak pertama kali diluncurkan pada 2000, pada 22 Mei 2013 di
Amsterdam. Standar terbaru ini—disebut G4—memuat berbagai perubahan signifikan
dibandingkan dengan standar sebelumnya, dan sangat penting untuk dilihat
sebagai tonggak penting dalam wacana dan praktek pembangunan berkelanjutan.
Tulisan ini bermaksud menjelaskan berbagai karakteristik utama dalam standar
pelaporan tersebut, serta konsekuensinya bagi organisasi, terutama perusahaan,
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Karakter pertama dan utama dari
standar itu adalah fokus pada isu-isu yang material. Walaupun standar ini
memiliki banyak aspek, setiap pengguna standar ini diminta untuk terlebih dulu
menguji aspek mana saja yang material untuk dilaporkan. Materialitas sendiri
dalam G4 digambarkan sebagai persilangan antara (1) signifikansi dampak
ekonomi, sosial, serta lingkungan organisasi pelapor, dan (2) pengaruh terhadap
penilaian dan keputusan pemangku kepentingan. Untuk aspek-aspek yang dianggap
material, pelaporan kinerja harus dilakukan dengan mendalam. Sedangkan aspek
yang kurang material bisa dilaporkan, namun dengan lebih dangkal.
Kedua, G4 menghilangkan level
aplikasi yang ada pada generasi-generasi sebelumnya. Banyak pakar yang
mengamati bahwa penggunaan level aplikasi A, B, dan C telah membuat banyak
organisasi pelapor salah sangka. Kebanyakan mereka ingin mendapatkan level A,
karena beranggapan bahwa level ini menandai kinerja yang tinggi. Padahal level
hanya menandai jumlah indikator yang dilaporkan. Level ini telah membuat
kecenderungan pelaporan keberlanjutan yang semakin tebal, karena organisasi
ingin memuat semua indikator (level A), termasuk yang tidak penting dilaporkan.
Sebagai gantinya, G4 membuat dua skema “in accordance”. Skema pertama
adalah “Inti”, yang berarti pelapor akan memilih minimal 1 indikator di setiap
aspek yang material untuk dilaporkan. Sedangkan pada skema kedua,
“Komprehensif”, seluruh indikator di setiap aspek yang material akan
dilaporkan.
Ekspansi batas-batas pelaporan
adalah karakter yang ketiga. Pada generasi sebelumnya, yang dilaporkan utamanya
adalah sebatas pada kinerja organisasi. Sedangkan pada G4, yang harus
dilaporkan adalah sepanjang mata rantai nilai. Ini berarti setiap organisasi
pelapor harus juga mengulas kinerja keberlanjutan, dimulai dari rantai pasokan
hingga rantai pasarnya, bahkan pemanfaatan produknya oleh konsumen. Hal ini
sangat tampak dari berbagai indikator baru yang memasukkan konsideran rantai
nilai dalam dampak lingkungan, ketenagakerjaan, HAM, dan masyarakat.
Keempat, penekanan pada unsur tata
kelola serta etika. Bagaimana fungsi organisasi pengawas, misalnya Dewan
Komisaris pada perusahaan, terkait dengan isu-isu keberlanjutan sangat
ditekankan pada G4. Sangat jelas terbaca bahwa peran sumber daya manusia yang
menguasai isu-isu keberlanjutan semakin didorong oleh standar baru ini. Yang
mungkin kurang mengenakkan—walau sebagian kecil organisasi pelapor juga telah
memulai mengungkapkan- nya—adalah indikator-indikator mengenai remunerasi. G4
tampak sangat menekankan pada pelaporan rasio remunerasi antar-tingkat pekerja,
yang berarti standar ini sangat ingin mendorong pengurangan ketimpangan
remunerasi yang selama ini semakin parah.
Apa dampak dari keempat
karakteristik utama G4? Beberapa pakar yang mendiskusikannya menyatakan bahwa
jumlah organisasi—lagi-lagi terutama perusahaan—yang melaporkan status
keberlanjutan mereka akan terus meningkat. Karena skema “Inti” memungkinkan
pelaporan 1 indikator saja untuk setiap aspek material, akan banyak organisasi
yang bisa memenuhinya. Jumlah halaman sebagian besar laporan keberlanjutan,
menurut para pakar ini, kemungkinan besar akan menyusut, karena organisasi
hanya diminta melaporkan aspek-aspek yang material.
Namun hal itu mungkin juga tidak
benar, karena penyusutan aspek dan indikator yang dilaporkan bisa saja
dikompensasi oleh sifat pelaporan yang harus mencakup seluruh rantai nilai.
Yang pasti terjadi adalah penyusutan jumlah indikator yang dilaporkan, namun di
setiap indikator tersebut kita akan melihat diskusi yang jauh lebih mendalam.
Penggunaan data kuantitatif tampaknya akan meningkat, demikian juga studi kasus
yang dapat memberikan contoh kinerja organisasi pada aspek-aspek yang dilaporkan.
Mungkin banyak di antara perusahaan
di Indonesia yang tak sadar betapa pentingnya perkembangan ini. Sangat jelas
bahwa berbagai inisiatif global lain juga mendorong munculnya era transparansi
maksimum, atau—meminjam istilah Don Tapscott—era The Naked Corporation. Pada 2010, negara-negara anggota ISO telah
menyepakati ISO 26000 Guidance on Social
Responsibility, yang menyatakan transparansi maksimal atas dampak
perusahaan sebagai prinsip yang tak bisa ditawar.
Dalam Konferensi Rio+20, “The Future We Want”, pada 2012, sangat
jelas kehendak untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan di semua negara anggota
PBB, terutama untuk perusahaan-perusahaan besar. Memang akhirnya PBB batal
mewajibkan, namun tetap menyatakan dorongannya yang kuat. Uni Eropa sudah bulat
tekadnya untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan ini mulai tahun 2015, dengan
kebijakan “Report or Explain”. Di tingkat regional ASEAN,
kita juga melihat munculnya ASEAN Good
Corporate Governance Scorecard pada tahun lalu, yang semangat
transparansinya juga sejalan dengan perkembangan global.
Hingga akhir 2012, jumlah
perusahaan di Indonesia yang melaporkan inisiatif keberlanjutannya dengan
standar GRI (G3 atau G3.1) baru sekitar 40. Tidak ada satu pun organisasi
non-perusahaan yang melaporkan dengan standar ini. Mutu sebagian besar laporan
keberlanjutan yang diproduksi juga belum menggembirakan, bila kita timbang
benar-benar dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh GRI. Berita
menggembirakan datang dari Bapepam-LK pada tahun lalu, yang mengadopsi sebagian
indikator GRI untuk standar laporan tahunan perusahaan emiten, selain mendorong
penerbitan laporan keberlanjutan.
Cuma, tentu saja kehadiran G4 akan
membuat lagi-lagi aturan tersebut ketinggalan. Lagi pula, seharusnya bukan
perusahaan terbuka saja yang melaporkan dengan standar pelaporan keberlanjutan,
melainkan seluruh perusahaan, terutama yang memiliki dampak operasional yang
besar. Apakah pemerintah akan melakukan tindakan-tindakan untuk menyiapkan
Indonesia menghadapi kecenderungan global yang tak terelakkan ini? Entahlah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar