|
REPUBLIKA, 04 Juni 2013
Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) belakangan
ini tengah intensif membahas pengembangan industri hijau di Indonesia. Seusai
pameran foto dan seminar tentang industri hijau di Jakarta belum lama ini,
Menperin Mohammad S Hidayat menyatakan peraturan menteri keuangan terkait industri
hijau akan keluar tahun ini.
Langkah
awal yang akan dilakukan, kata Hidayat, pemerintah akan memberikan insentif
terhadap industri yang menerapkan pola penghematan sumber daya, termasuk bahan
baku dan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan. Dalam Peraturan Presiden
Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, pada Pasal 4
disebutkan, antara lain bahwa, pemerintah dapat memberikan fasilitas pada
industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup (poin g). Apa yang dimaksud
industri yang menjaga kelestarian hidup ini, tampaknya be- lum dijabarkan
secara luas.
Membangun
industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, --atau lebih singkatnya
membangun industri yang berwawasan lingkungan--jelas tidak bisa berdiri sendiri.
Artinya, pembangunan industri tersebut harus berbasis pada kebijakan pemerintah
secara integral, dalam arti, memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengan
lingkung an dan kehidupan manusia itu sendiri.
Fulai
Sheng dalam bukunya Real Value for
Nature: An Overview of Global Efforts to Achieve True Measures of Economic
Progress (dialihbahasakan oleh WWF dengan judul Bersiap Menuju Era PDB
Hijau, 1995), menyatakan pembangunan di sebuah negara dalam bidang apa pun harus
mengacu pada Sistem Neraca Nasional (SNN). Bila SNN-nya masih menggunakan pola
lama, di mana ukurannya hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), maka
pembangunan industri akan gagal menyejahterakan manusia. Dia mengkritisi
acuan PDB yang saat ini digunakan di banyak negara yang menjadi ukuran kenaikan
kesejahteraan.
Kenaikan
PDB, menurut Fulai Sheng, tidak identik dengan peningkatan kemakmuran. Dia
mengambil contoh di Inggris. Meski pendapatan per kapita meningkat sejak
tahun 1950-an, ukuran kesejahteraan (indeks kesejahteraan ekonomi berkelanjutan)
menurun karena meningkatnya kerusakan sosial dan lingkungan. Biaya
pencemaran air, udara, dan bunyi selama 10 tahun (1950-1960) lebih dari 22
miliar poundsterling. Ini artinya hampir sama dengan enam persen PDB Inggris
selama kurun tersebut. Kasus ini mencerminkan kesalahpahaman umum tentang PDB
sebagai indikator kesejahteraan. Padahal, PDB tidak lebih dari suatu ukuran
produksi.
Dampak
negatif menggunakan PDB sebagai indikator kualitas hidup makin buruk bila
informasi yang terkandung pada PDB itu sendiri cacat. Perhitungan biaya
produksi di bawah yang sebenarnya dan perhitungan manfaat di atas yang
sebenarnya akan membuat manfaat total lebih tinggi secara semu dan biaya total
lebih rendah secara semu.
Akibatnya,
perbandingan biaya dan manfaat menjadi salah sehingga keputusan yang diambil
pun salah. Bila keputusan yang diambil mengabaikan biaya lingkungan, misalnya,
maka kegiatan ekonomi pun akan mengorbankan lingkungan dan sumber daya alam. Padahal,
lingkungan dan sumber daya alam merupakan basis eksistensi manusia, kualitas
hidup, keanekaragaman hayati, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Menurut
Fulai Sheng, informasi yang terkandung dalam PDB, cacat dalam dua hal. Pertama,
tidak adanya informasi tentang degradasi lingkungan dan penipisan sumber daya
alam. Kedua, tidak akuratnya informasi tentang nilai barang dan jasa yang
dihasilkan dari pengurasan dan perusakan sumber daya alam. Nilai barang
dan jasa yang dihasilkan dari pengurasan dan perusakan sumber daya alam itu dihitung
seluruhnya sebagai pendapatan yang tersedia untuk konsumsi sehingga akan menaikkan
keuntungan netto riil dari produksi. Pendekatan ini jelas mengaburkan penjualan
modal dengan penciptaan pendapatan.
Pendekatan
semacam inilah yang menjadikan PDB konvensional tidak bisa lagi diterapkan
untuk pembangunan industri hijau. Melihat fenomena di atas, Fulai Sheng
mengajukan gagasan pendekatan PDB hijau. Untuk itu, harus ada reformasi SNN
yang mempertimbangkan aspek lingkungan sebagai modal yang harus dijaga
keberlanjutannya.
Badan
Lingkungan PBB, UNEP, dan Bank Dunia, misalnya, merekomendasikan sumber daya
permanen seperti air, udara, dan tanah harus dihitung secara integral dan
memadai sesuai diskursus ekonomi. Ketiganya harus dianggap sebagai modal yang harus
dijaga dengan konsekuensi adanya biaya pemulihan yang terus-menerus.
Biaya
pemulihannya jangan dianggap sebagai pengeluaran terakhir seperti yang terjadi
pada konsep SNN konvensional, tapi sebaliknya sebagai pengeluaran rutin yang
wajib dilakukan. Dalam industri ekstraktif, seperti pertambangan, misalnya,
pendekatan sistem neraca hijau ini mutlak harus diterapkan secara menyeluruh.
Ini terjadi karena industri pertambangan selama ini mengabaikan modal sumber
daya permanen tesebut.
Akhirnya,
memacu terwujudnya industri hijau tidak cukup hanya memberikan insentif dan
fasilitas terhadap industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti
disebutkan Pasal 4 Perpres No 28 Tahun 2008 tadi, tapi juga mengubah paradigma
berpikir dalam memandang lingkungan dan sumber daya alam. Mengubah
paradigma berpikir tentang lingkungan dan sumber daya alam itu perlu diwujudkan
dalam mereformasi paradigma SNN. Yaitu, SNN yang menganggap bahwa lingkungan
dan sumber daya alam adalah modal yang amat berharga.
Dengan
mereformasi SNN ini, kebijakan industri hijau akan diarahkan pada kegiatan yang
meningkatkan produktivitas lingkungan dan sumber daya alam.
Pada gilirannya, peningkatan produktivitas lingkungan dan sumber daya alam ini
akan merangsang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan mengarahkan manusia pada
pemakaian indikator baru dalam kesejahteraan. Yaitu, indikator kesejahteraan
yang berbasis nilai tabungan dan investasi yang kompatibel dengan lingkungan
dan sumber daya alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar