|
REPUBLIKA, 03 Juni 2013
Kendati
masih diwarnai kegamangan politis, tampaknya gong kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM) tinggal menghitung hari. Pemerintah menimang kenaikan harga BBM sebesar
Rp 2.000 untuk Premium dan Rp 1.000 untuk solar. Jika nyali politik pemerintah
tak berbalik haluan, seharusnya awal Juni gong kenaikan harga BBM itu
dieksekusi.
Kendati
tak populis, kenaikan harga BBM rasanya sulit dihindari, siapa pun rezimnya. Saat
Megawati menjadi presiden pun pernah menaikkan harga BBM.
Beberapa alasan fundamental berikut ini tampaknya menjadi sandaran rasionalitas
yang cukup absah bagi pemerintah untuk mengurangi tingginya subsidi BBM.
Pada
konteks keadilan ekonomi, misalnya, subsidi BBM jelas merupakan bentuk
kebijakan publik yang sangat tidak adil. Bahkan, merujuk tesis ekonom Faisal
Basri, subsidi BBM itu merupakan bentuk kejahatan ekonomi yang sangat sistemik.
Berdasar data statistik, tesis Faisal Basri cukup sahih. Data Susenas 2008
dan Bank Dunia 2010 mengindikasikan dengan kuat bahwa 25 persen rumah tangga
berpenghasilan (dan pengeluaran) tertinggi, justru menikmati subsidi BBM
sebesar 77 persen per bulan. Sementara, 25 persen kelompok rumah tangga ber penghasilan
(dan pengeluaran) terendah hanya kecipratan alokasi subsidi 15 persennya.
Jika
dibandingkan dengan komoditas lain yang jauh lebih strategis, alokasi subsidi
di bidang energi (khususnya BBM) juga merupakan kebijakan yang salah kaprah.
Lihat saja pada APBN 2013 alokasi untuk subsidi energi total mencapai Rp 309,9
triliun. Sedangkan, subsidi untuk nonenergi, yakni pangan, pupuk, benih, dan
sebagainya--termasuk untuk dana Public
Service Obligation (PSO) hanya kecipratan Rp 48,4 triliun.
Bagaimana
jika dari sisi transportasi? Konfigurasinya juga sangat jelas. Penikmat subsidi
BBM 94 persen adalah pengguna kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat
maupun dua. Sementara, angkutan umum barang hanya empat persen dan dan
ironisnya angkutan umum orang hanya dua persen.
Lihat juga
subsidi untuk sektor perkeretaapian (PT KAI) dan PT Pelni; PSO-nya hanya Rp 720
miliar. Padahal, kedua jenis angkutan masal tersebut praktis digunakan untuk
kelas menengah bawah. Sementara, pengguna kendaraan bermotor pribadi (mobil)
rata-rata per hari menyeruput subsidi Rp 25 ribu.
Jika tak ada kenaikan harga BBM, betapa naifnya karena per tahun pengguna
kendaraan tumbuh delapan sampai sembilan juta unit pengguna sepeda motor dan
800 ribuan pengguna mobil baru. Total, saat ini terdapat 12 jutaan unit mobil
di Indonesia dan 68 juta unit sepeda motor. Maka, pantaslah jika kuota BBM
bersubsidi akan menyundul 48-50 juta kiloliter dari pagu hanya 40 juta
kiloliter.
Demikian
juga halnya dengan kebijakan energi. Di level negara-negara ASEAN, praktis
hanya Indonesia yang masih bergelimang dengan subsidi BBM.
Negara seperti Laos dan Kamboja pun yang notabene pendapatan per kapitanya
lebih rendah dari Indonesia, harga BBM-nya mencapai lebih dari Rp 13 ribu per
liter. Juga Myanmar, harga BBM-nya Rp 10.340 per liter.
Di dunia
ini, hanya ada beberapa negara yang masih menjual BBM-nya lebih murah dibanding
Indonesia, misalnya, Arab Saudi (Rp 1.404/liter, Kuwait Rp 2.135/liter), dan
Uni Emirat Arab Rp 4.275 liter. Tetapi ingat, ketiga negara tersebut selain
masih surplus minyak, mereka pun menjadi negara eksportir minyak. Lihat
saja Arab Saudi, cadangan minyak mentah di perut buminya mencapai 267,9 miliar
barel, cukup untuk 50 tahun ke depan. Sedangkan Indonesia, cadangan minyaknya
tinggal 4,0 miliar barel dan hanya cukup untuk 11 tahun ke depan. Saat ini pun
45 persen BBM yang kita konsumsi adalah hasil impor. Bahkan, untuk Premium 90
persen masih harus diimpor.
Namun, di
sisi yang lain, kemarahan publik terhadap kenaikan harga BBM juga tidak bisa
dimungkiri. Sebab, selama ini, pascakenaikan harga BBM biasanya pemerintah
tidak melakukan tindakan pembenahan radikal di sektor transportasi energi dan
fasilitas publik lainnya. Seharusnya, paralel dengan kenaikan harga BBM,
pemerintah langsung melakukan pembenahan total di sektor transportasi
publik.
Di bidang
energi, pemerintah juga harus punya roadmap yang jelas, misalnya, wujudkan
gasifikasi untuk sektor transportasi dan kembangkan sumber-sumber energi lain,
di luar minyak bumi. Negeri ini sangat kaya dengan sumber energi baru dan
terbarukan, tapi nyaris tak pernah disentuh untuk dieksplorasi. Pemerintah
sepertinya sengaja (membiarkan) agar warga Indonesia tersandera dengan BBM yang
jelas-jelas sangat korosif.
Pemerintah
dan kita semua seyogianya memang tidak terninabobokan oleh subsidi BBM yang
terus menggelembung. Upaya untuk mengurangi, bahkan hingga ke titik keekonomiannya
sekalipun, sejatinya merupakan on the
track policy.
Namun,
didukung DPR, pemerintah juga harus mengembangkan kebijakan yang adil, bahkan
radikal di bidang transportasi publik, dan kebijakan energi yang lebih
berkelanjutan. Tanpa dibarengi dengan kebijakan yang demikian, boleh jadi
menaikkan harga BBM hanya akan menciptakan ketidakadilan baru di tengah
masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar