Jumat, 14 Juni 2013

Amarah Ideologis di Negeri Good Muslim

Amarah Ideologis di Negeri Good Muslim
Sumiati Anastasia ;   Alumnus Program Master University of Birmingham
untuk Relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 14 Juni 2013



SETELAH lebih dari dua minggu, demo antipemerintah di Turki mereda. Para pendemo menentang rencana perubahan Taman Gezi di Istanbul menjadi sebuah pusat perbelanjaan. Demo berkembang menjadi tuntutan agar Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang sudah berkuasa satu dekade mundur. Mereka menuduh Erdogan mencoba menjadikan Turki yang sekuler menjadi sebuah negara Islam.

Unjuk rasa itu menimbulkan banyak pertanyaan. Sebab, selama satu dekade di bawah kekuasaan Erdogan dan partainya, Adalet ve Kalkýnma Partisi atau Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Turki tengah menikmati pertumbuhan ekonomi pesat, stabilitas, dan harmonis dengan para tetangganya, khususnya di Eropa.

Bahkan, pertumbuhan dan kemajuan Turki di bawah ''partai Islam'' (sebenarnya AKP secara resmi tetap partai sekuler) merupakan fenomena menarik. Dari sekian banyak wajah Islam, Turki yang disebut ''good muslim'' oleh Mahmoud Mamdani mampu menjadi bukti bahwa Islam ternyata bisa cocok dengan demokrasi. Padahal, Islam kerap dikesankan akan selalu berlawanan dengan demokrasi, modernitas, dan ekonomi pasar. 

Dwitunggal pemimpin Turki, Erdogan dan Presiden Abdullah Gul, memang taat dalam berislam dan keduanya lulusan madrasah. Erdogan pernah pingsan saat Ramadan karena terlalu keras bekerja dalam keadaan puasa. Turki yang mayoritas muslim dan di bawah kekuasaan partai yang dipimpin muslim taat ternyata juga mampu menjalin kerja sama dengan tetangganya di Barat yang mayoritas warganya Kristen. Bahkan, Turki terus berjuang untuk menjadi anggota Uni Eropa, meski Uni Eropa terkesan enggan menerima.

Meski Turki kian makmur di bawah AKP, kelompok antipemerintah selalu menebar kecemasan Turki yang sekuler akan jadi negara teokratis seperti Iran. Dalam unjuk rasa kali ini, tetap tergambar adanya pertarungan antara kaum sekuler melawan kaum agamis (Islam) sejak Turki modern berdiri. Sejak AKP berkuasa sepuluh tahun lalu, selalu dicurigai bakal membawa Turki meninggalkan sekularisme.

Sekularisme Turki muncul karena kontak dengan Eropa. Maklum, Turki berposisi di antara Eropa dan Asia. Apalagi, pada masa lalu, separo Eropa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman. Namun, seiring gagalnya serangan tentara Ottoman ke Wina pada 1683, Ottoman mulai meredup. Bangsa Eropa pun mulai menemukan jati dirinya kembali dalam sekularisme, seiring spirit aufklarung.

Selain Eropa memengaruhi Turki, Turki membawa banyak pengaruh bagi Barat. Simak, misalnya, mengapa militer Barat dalam abad ini begitu kuat? Ternyata, rahasianya adalah mengadopsi strategi militer Turki pada masa lalu. Itu diakui semua ahli sejarah dan militer di Eropa. Bahkan, Rasulullah SAW diriwayatkan pernah memuji sebaik-baik barisan adalah pasukan Turki. Kini barisan yang lebih rapi (tertib) dibanding negara lain itu ditemukan ketika mereka berjamaah haji di Tanah Suci.

Lalu, ketika Barat semakin maju dan kuat, berkat demokrasi dan sekularisme, Turki pun tergoda ikut jejaknya. Pada 1924, Kemal Attaturk menghapus kekhilafahan di Turki dan mengadopsi sistem politik sekularisme Barat. Langkah Attaturk itu ditentang sejumlah ulama di bawah pimpinan Bediuzzaman Said Nursi.

Dan pertentangan antara kubu pendukung sekularisme melawan kubu pendukung agama itu timbul tenggelam di Turki hingga saat ini. Apalagi posisi Tuki sebagai ''negara persimpangan'' yang berada di antara dua benua, Asia dan Eropa. Istanbul, kota terbesar di Turki, adalah satu-satunya kota di benua Asia dan Eropa, di dua sisi Selat Bosporus. 

Di Turki, sekularisme memang terkesan menghambat atau melawan agama (Islam), meski tidak selalu sekularisme frontal melawan agama. Di sana, banyak simbol Islam yang dilarang (meski bendera nasional tetap bulan bintang). Penggunaan bahasa dan aksara Arab diganti huruf Latin. Dakwah diawasi. Bahkan, pada 1925, Attaturk melarang tarekat dan pergi haji. 

Pendidikan agama amat dibatasi. Pengadilan agama ditutup. Mahkamah Agung Turki pada Juni 2008 tetap melarang jilbab di universitas karena dianggap tidak sesuai dengan karakter sekularisme. Larangan jilbab di universitas dan kantor pemerintah dimulai pada 1980 ketika tentara melakukan makar. Turki, terutama ketika di bawah rezim otokratis atau tentara, terkesan tidak hanya sekuler, tapi antiagama. Tetap banyak perempuan Turki di luar kantor yang berjilbab.

Sekularisme sebenarnya berarti ideologi yang memperjuangkan bahwa dunia ini punya otonomi sendiri (oto = sendiri, nomos = aturan). Pihak agama jangan pernah campur tangan masalah politik atau negara. Dari sejarahnya, sekularisme muncul sejak abad ke-16 hingga ke-17, akibat kekuasaan agama (Gereja Katolik Eropa) yang mengurusi semua bidang kehidupan, termasuk politik atau negara. 

Pertarungan antara sekularisme versus agama terjadi di mana-mana, termasuk di negeri kita. Tapi, tidak selalu yang berideologi sekularisme bersikap antiagama. Atau, yang beragama tidak selalu antipati pada sekularisme. Yang penting, melihat sisi energi positif dialektika ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar