Jumat, 14 Juni 2013

Empat Logika Kontradiktif di Suriah

Empat Logika Kontradiktif di Suriah
Muhammad Ja’far ;   Pengasuh www.timur-tengah.com
KORAN TEMPO, 14 Juni 2013


Selama ini realitas politik internasional memiliki problem akut: irasionalitas politik yang bersembunyi di balik mitos rasionalitas. 
Sudah lebih dari dua tahun, fenomena yang oleh sebagian kalangan dipretensikan sebagai revolusi Suriah belum berakhir. Fakta ini memaksa kita meninjau kembali hal-hal berikut: apa makna otentik "Arab Spring", apa filosofi gerakannya, relevansinya, dan janji masa depannya? Terutama dalam konteks Suriah. 
Tulisan ini menjelaskan "logika kontradiktif", pangkal alotnya "revolusi" Suriah. Dalam batas tertentu, empat logika kontradiktif ini juga dapat dijadikan perspektif menelaah fenomena Arab Spring di empat negara: Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. 
Selama ini realitas politik internasional memiliki problem akut: irasionalitas politik yang bersembunyi di balik mitos rasionalitas. Praktek ketidakadilan politik global dilegitimasi sebagai rasionalitas yang logis. Alur logikanya menjadi kontradiktif. Kemudian berhadap-hadapanlah kelompok yang berkepentingan atas status quo dominasi global dengan yang menggugatnya. Amerika Serikat, Israel, Inggris, dan beberapa negara Eropa lainnya, serta Arab Saudi, Turki, Qatar, dan beberapa negara Teluk ada pada kelompok pertama. Sedangkan kelompok di seberangnya adalah Cina, Rusia, Iran, Libanon, Irak, Palestina, dan beberapa negara Amerika Latin. Suriah adalah simpul dari kontradiksi logika politik global. Simbol perlawanan. Mitos rasionalitas mendapatkan resistansinya secara kuat. "Pembelaan" terhadap Bashar Assad, Presiden Suriah, adalah simbol gugatan atas alur logika yang kontradiktif tersebut.
Pertama, logika kontradiktif tentang makna "intervensi" politik dan militer. Gedung Putih, Inggris, dan beberapa negara aliansinya mengkritik keras Rusia, Cina, Iran dan Libanon yang dianggap mendukung Assad. Sikap yang dituduh menghambat proses demokratisasi Suriah. Rusia dan Cina dituduh memiliki kepentingan ideologis dan ekonomi. Iran dan Libanon dituduh berkepentingan dari sisi geopolitis. 
Namun, kontradiktifnya, pada saat yang sama, dukungan politis juga didapat oleh kelompok oposisi dan pemberontak Suriah dari negara-negara Amerika Serikat dan Eropa secara langsung maupun tidak, termasuk langkah diplomatis untuk melegalisasi intervensi militer ke Suriah. Arab Saudi dan Qatar sangat aktif menyokong kelompok bersenjata di Suriah. Jatuhnya Assad memiliki nilai strategis geopolitis bagi dua negara itu. 
Di sini terjadi standar ganda penafsiran makna "intervensi". Otomatis basis logikanya kontradiktif. Fakta yang sama sebelumnya terjadi dalam intervensi ke Irak dan Libya. Logika kontradiktif ini kemudian dicoba diterapkan ulang di Suriah. Namun Rusia, Cina, Iran, dan Libanon tidak lagi bisa mentoleransi repetisi logika kontradiktif ini. Dengan risiko terburuk sekalipun, mereka konsisten menentangnya. 
Kedua, dukungan Amerika Serikat dan negara Eropa terhadap kelompok oposisi Suriah didasarkan pada argumentasi upaya demokratisasi di negeri itu. Namun kembali muncul logika kontradiktif di sini. Gerakan oposisioner Suriah terbagi dua: oposisi non-bersenjata dan militan bersenjata. Setelah melalui proses yang alot, kelompok oposisi non-bersenjata tak kunjung mencapai soliditas internal. Sepertinya mereka belum mencapai kesamaan visi tentang filosofi gerakan politiknya. Tapi mereka sepaham pada satu hal: menentang intervensi militer ke Suriah.
Adapun di sisi lain, kelompok bersenjata melakukan langkah sepihak yang sangat ekstrem. Kelompok Al-Nusra adalah pionirnya. Ini kelompok Islam salafis yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Kelompok ini mengatasnamakan revolusi sebagai justifikasi ekstremismenya. Bahkan secara resmi mereka berikrar sebagai bagian dari organisasi teroris Al-Qaidah. Revolusi dijadikan legitimasi tindakan terorismenya. Ada dugaan bahwa kelompok ini mendapat dukungan finansial dan militer dari sebagian negara Arab yang berkepentingan dengan jatuhnya Assad. 
Lagi-lagi, muncul logika kontradiktif di sini. Gerakan revolusi yang dijalankan atas nama demokratisasi ditempuh dengan mekanisme yang antidemokrasi. Bahkan kelompok ekstrem tersebut berpotensi menduduki kekuasaan jika Assad jatuh dan akan membawa Suriah ke era yang paling antidemokrasi. Ironis. 
Jadi, apa yang dalam logika kontradiktif diapologikan sebagai proses demokratisasi sering kali berujung pada realitas yang sebaliknya: antidemokrasi. Dan Suriah berada pada ancaman ini jika Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa terus kukuh dengan logika kontradiktifnya. Pengalaman buruk Gedung Putih dengan Taliban di Uni Soviet dapat terulang di Suriah. 
Ketiga, klaim politik internasional bahwa aksi mereka sesuatu yang bebas nilai. Bahwa upaya demokratisasi Timur Tengah yang dipioniri Amerika Serikat dan negara Eropa, berdasarkan obyektivitas politik, tak ada subyektivitas kepentingan di dalamnya. Namun, jika kita merujuk pada kedekatan politik serta kerja sama ekonomi Amerika Serikat dan negara Eropa dengan negara-negara Timur Tengah yang sangat tidak mengapresiasi nilai-nilai demokrasi, seperti Arab Saudi dan Qatar, dengan sendirinya kebenaran klaim tersebut terdelegitimasi. 
Di Suriah, perlawanan terhadap klaim tersebut sangat keras. Sebabnya, peran pemerintah Arab Saudi dan Qatar di balik misi tersebut--dua negara yang masuk catatan hitam antidemokrasi. Jika Assad jatuh, besar kemungkinan Suriah nantinya akan didominasi oleh corak ideologi politik kedua negara tersebut: salafisme politik. 
Keempat, logika kontradiktif tentang senjata kimia pemusnah massal. Argumentasi ini kerap dijadikan legitimasi untuk mengintervensi konflik yang terjadi di sebuah negara. Namun, secara faktual dan ilmiah, bukti otentiknya sering lemah. Invasi ke Irak contohnya. 
Logika kontradiktifnya: sebuah keputusan politik diambil dengan membangun argumentasi ilmiah yang tidak valid. Politisasi sains. Hal serupa terjadi di Suriah. Tuduhan bahwa Assad menggunakan senjata kimia kerap dijadikan legitimasi untuk mendesak dunia internasional agar melakukan intervensi militer ke negara itu. Namun, fakta-fakta ilmiah dan di lapangan sangat lemah. Bahkan, pada tingkat akademis, hal itu sangat diragukan.

Empat logika kontradiktif di atas selama ini banyak mewarnai perpolitikan Timur Tengah. Praktek politik yang bertumpu pada premis yang tidak logis namun dipaksakan menghasilkan hipotesis yang logis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar