Tahun ini terjadi kekacauan
yang menyebabkan tertundanya pelaksanaan ujian nasional (UN) di 11
provinsi.
Kekacauan itu bila ditelisik
lebih lanjut diakibatkan oleh kesalahan dari percetakan yang mencetak
naskah soal UN. Percetakan naskah soal UN untuk wilayah timur ini
dimenangkan oleh sebuah perusahaan percetakan di Jawa Barat (dengan
tender terbuka). Dapat dibayangkan jika sebuah perusahaan nun di Jawa
Barat harus bekerja mencetak soal, melakukan pengepakan, kemudian harus
mendistribusikannya ke wilayah-wilayah yang jauh di pelosok Indonesia
timur.
Kekacauan pelaksanaan UN
sebenarnya sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Jadi, inti persoalan
yang terjadi pada kekacauan pelaksanaan UN adalah pada
penggandaan/pencetakan serta pada pendistribusian soal oleh sebuah perusahaan
yang memenangi tender yang letaknya sangat jauh dari lokasl ujian.
Pertanyaan yang muncul
kemudian, mengapa pencetakan naskah soal ujian UN harus dilakukan oleh
perusahaan yang jauh dari lokasi ujian? Jawabnya, karena penentuan
perusahaan yang akan mencetak naskah UN dilakukan dengan cara pelelangan
umum sebagaimana diatur perpres. Dengan dasar hukum normatif, maka tidak
mustahil percetakan yang memenangkan tender adalah perusahaan yang amat
jauh dari lokasi pelaksanaan ujian sehingga akan mengakibatkan terhambatnya
distribusi soal ke pelosok-pelosok Tanah Air.
Perpres memberikan ruang bagi pejabat pembuat komitmen atau panitia pengadaan
barang dan jasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap perusahaan
yang akan melakukan pencetakan naskah ujian dengan mengacu pada Pasal 38
Perpres No 70 Tahun 2012, yaitu sepanjang menyangkut keamanan negara,
rahasia negara, dan kepentingan umum. Akan tetapi, tidak satu pun
penyelenggara negara berani melakukan penafsiran yang lebih luas terhadap
terminologi "keamanan negara,
rahasia negara, dan kepentingan umum" karena naskah ujian negara
tidak terang-terangan dimasukkan sebagai rahasia negara yang dimaksud.
Pembaruan Hukum
Sebagaimana diketahui selama
ini KPK, kejaksaan, dan hakim Tipikor di Indonesia memiliki pandangan
yang sangat normatif (positivis), sehingga siapa saja yang melakukan
penyimpangan dari perpres dalam pengadaan barang dan jasa harus dianggap
sebagai tindakan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang. Tidak peduli
apakah penyimpangan itu dilakukan demi kepentingan umum atau tidak,
apakah dalam keadaan darurat atau tidak.
Ada seorang pejabat di NTB
yang saya tahu benar sangat jujur, hidup dengan serba kekurangan, bahkan
sampai mati-hidup di rumah kontrakan, tetapi harus masuk penjara dan
meninggal dalam tahanan akibat keliru menafsirkan makna kepentingan umum
sehingga melakukan penunjukan langsung terhadap proyek pembangunan rumah
para transmigran yang dianggap mendesak.
Hukum oleh para penegak hukum saat ini dipandang sebagai norma yang kaku
yang tidak boleh
ditafsirkan lain. Padahal, di saat bersamaan (saat
ini) para pemangku kepentingan, para menteri, para pelaksana di lapangan
diharapkan untuk bertindak cepat dalam mengatasi masalah yang rumit,
seperti UN.
Penegak Hukum sepertinya lupa
akan suatu mazhab terkenal dari Jeremy Bentham, yaitu utilitarianisme (utilitarianism), bahwa tujuan
hukum adalah untuk kemanfaatan. Kriteria untuk menentukan baik-buruknya
suatu perbuatan adalah the greatest
happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah
orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang
merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Utilitarianisme sebagai
bagian konsep dasar etika teraplikasi dalam dasar-dasar pemikiran ekonomi.
Menurut Weiss terdapat tiga
konsep dasar mengenai utilitarianisme. Pertama, suatu tindakan atau
perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika
tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu membuat hal
terbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi oleh tindakan atau perbuatan
atau pengambilan keputusan.
Kedua, suatu tindakan atau
perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika
terdapat manfaat terbaik atas biaya-biaya yang dikeluarkan dibandingkan
manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan yang dipertimbangkan.
Ketiga, suatu tindakan atau
perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara moral adalah benar jika
tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan itu secara tepat mampu
memberi manfaat, baik langsung ataupun tidak langsung, untuk masa depan
setiap orang dan jika manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan
manfaat alternatif yang ada.
Berdasarkan ajaran di atas,
jelaslah bahwa apabila dengan pelelangan umum menimbulkan kekacauan,
mengapa tidak diakukan penunjukan langsung perusahaan penggandaan soal UN
untuk mencegah terjadinya malapetaka seperti sekarang ini? Hal ini bisa
dilakukan dengan cara DPR mengajak KPK, menteri pendidikan, jaksa agung,
kapolri, dan Mahkamah Agung untuk duduk satu meja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar