Wakil Rakyat
dan Dramartugi Demokrasi
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 01 November 2012
MEMALUKAN! Itulah kata
yang bisa diungkapkan di tengah krisis yang terjadi antara Menteri BUMN
Dahlan Iskan dan wakil rakyat kita di Senayan. Sinyalemen Dahlan Iskan sangat
mengerikan karena wakil rakyat selalu meminta upeti kepada BUMN. Sementara
BUMN sendiri sebelumnya tidak berdaya menghadapi permintaan upeti dari wakil
rakyat. Karena itu, Dahlan kemudian membuat surat edaran ke seluruh BUMN
untuk menolak kongkalikong dengan wakil rakyat.
Tragedi yang dibeberkan Dahlan Iskan itu sangat menyedihkan. Wakil rakyat yang dibanggakan sebagai pengemban amanah rakyat justru menjadi pengkhianat dan pemeras harta rakyat. Amanah rakyat sudah dicampakkan, tak pernah diperjuangkan. Itu terkait dengan Pemilu 2014 nanti atau tidak, tetapi fakta yang diperlihatkan Dahlan Iskan menjadi catatan sangat serius bagi rakyat ihwal kelakuan politik yang dipraktikkan wakil rakyat. Jangan salah kalau rakyat bisa mencabut amanah tersebut kapan pun dan di mana pun. Apa yang terjadi dalam drama politik yang dimainkan wakil rakyat itu, menurut analisis Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life, dinamakan sebagai dramaturgi. Wakil rakyat memainkan drama politik yang dibuat sendiri. Semua tragedi politik telah didesain secara dramatis sehingga terjadi berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi. Dalam dramaturgi Goffman, identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung interaksi dengan orang lain. Di situlah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgi, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui ‘pertunjukan dramanya sendiri’. Goffman memperkenalkan istilah impression management bahwa manusia merupakan pemain drama yang sangat lihai. Manusia membangun konsep dan manajemen drama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Agar pertunjukan politik semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain. Hal itu tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Karena drama politik ingin mencari sebuah tujuan tertentu, apa yang dilakukan sang aktor ketika berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (backstage) sungguh berbeda. Ketika berada di front stage, drama politik benar-benar dimainkan sesuai dengan peran dan sebaik-baiknya agar penonton (rakyat) memahami tujuan dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi konsep-konsep drama yang bertujuan membuat drama yang berhasil. Akan tetapi, ketika berada di belakang panggung (backstage), sang aktor akan bermain sesuka hatinya tanpa memedulikan plot yang telah direncanakan sebelumnya. Senada dengan pemikiran Goffman, Aristoteles dalam Poetics juga melihat dramaturgi sebagai sebuah drama kehidupan yang dimainkan manusia untuk menggapai tujuan-tujuan. Aristoteles bahkan menganalisis karakter sang aktor sangat berperan besar bagi kesuksesan sebuah drama(turgi). Aktor yang cerdas akan membuat dra ma semakin menarik, lincah, dan penuh hiburan, sedangkan aktor yang miskin kreasi akan membosankan di atas panggung, hanya menjadi pelengkap. Seusai pertunjukan, aktor minim kreasi akan mendapatkan porsi yang sedikit untuk tampil di atas panggung (front stage). Aristoteles dengan lengkap telah menganalisis hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Semua menjadi kesatuan dalam drama kehidupan. Dramaturgi Demokrasi Seorang filsuf bernama Kenneth Duva Burke mengatakan hidup bukan sekadar drama. Hidup itu sendiri adalah drama. Setiap manusia merupakan aktor dalam kehidupan masing-masing. Baik DPR, presiden, maupun rakyat, semuanya aktor dalam demokrasi. “Semua elemen memainkan diri asal jangan merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan,“ lanjut Burke. Wakil rakyat kita telah memainkan drama berdemokrasi yang telah mencederai rakyat Indonesia. Inilah dramaturgi demokrasi yang penuh tipuan dan sedang merangkak akan menghancurkan demokrasi kita. Kala mereka di atas panggung sedang kampanye, janji-janji yang indah disuarakan untuk `membodohi' rakyat. Ketika berada di front stage, drama politik wakil rakyat begitu menggebu membela rakyat. Namun ketika berada di backstage, drama politik mereka begitu mencederai hati dan amanat rakyat. Wakil rakyat melakukan drama apa pun agar bisa mencapai tujuan. Dalam impression management, akting wakil rakyat selalu berubah-ubah, dengan berubah-ubah, dengan kostum yang beragam, plot yang penuh warna, dan dialog penuh muslihat untuk menggapai tujuan. Mereka tak akan sedikit pun membuat kecewa pemangku kepentingan karena drama politik tersebut memang sudah didesain para sutradara politik yang mempunyai jabatan dan wewenang begitu tinggi dalam sebuah drama. Kalau demokrasi Indonesia dibawa dalam kubangan drama yang demikian, proses demokratisasi akan berjalan mandek. Demokrasi akan kehilangan rohnya. Rakyat hanya menjadi penonton yang terus ditipu, sedangkan wakil rakyat selalu memainkan drama demokrasi sesuai dengan amanat kepentingan. Para sutradara juga terus bermain kartu `as' untuk menjaga stabilitas kepentingan mereka. Demokrasi menjadi `kata basi' yang diulang ketika dibutuhkan untuk mengamankan `amanat kepentingan'. Dramaturgi berdemokrasi yang mengacu kepada `amanat kepentingan' akan mencederai sebuah kepercayaan (trust) yang diberikan rakyat kepada para pejabat. Kalau kepercayaan runtuh, bisa terjadi konflik, ketidakharmonisan, prasangka, bahkan bisa mengarah ke hilangnya legitimasi. Satu aktor dengan aktor lain akan kehilangan optimisme membangun negeri ini karena aura konflik dan prasangka semakin kuat. Sudah saatnya wakil rakyat berbenah diri untuk membangun kembali kepercayaan rakyat. Kepercayaan politik antara rakyat dan politisi merupakan modal sosial paling penting untuk membangun kemajuan proses demokratisasi. Kepercayaan merupakan ekspektasi yang tumbuh dalam komunitas dengan perilaku reguler, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma yang dihormati bersama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar