Menakar
Keagungan MA
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 01 November 2012
MAHKAMAH AGUNG (MA)
tidak ‘imun’ lagi setelah hakim agung Gayus Lumbuun mengungkap indikasi
ketidakberesan di tubuh MA. Transparansi sudah menjadi keniscayaan sehingga
sangat aneh jika desakan keterbukaan MA ditanggapi dengan sikap negatif. MA
bukan institusi pribadi atau milik sekelompok PNS.
Dengan demikian, sebagai institusi negara, MA
tidak bisa menghindar dari arus perubahan. Kalau semua institusi negara
dituntut transparan, MA tidak boleh meminta pengecualian. Sebagai institusi
yang memegang kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Konstitusi, MA harus
transparan. MA memang tidak bisa didikte unsur atau cabang kekuasaan lainnya.
Namun, tidak berarti MA tidak boleh diawasi publik.
Pun, tidak berarti publik
tidak boleh menuntut MA untuk terbuka. Sebaliknya, keterbukaan MA menjadi
wajib hukumnya karena potret keadilan di negara ini ditentukan integritas MA.
Itu disebabkan MA membawahkan peradilan umum serta peradilan tipikor, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Karena desakan keterbukaan sudah menjadi
sebuah kewajaran, publik akan beranggapan aneh jika sebuah institusi atau
orang dalam institusi bersangkutan alergi atau sensitif terhadap desakan untuk
keterbukaan. Publik akan curiga bahwa institusi atau orang dalam institusi
bersangkutan berupaya menutup-nutupi sesuatu yang buruk atau tidak pantas.
Pada sebuah komunitas birokrasi yang sarat dengan perilaku korup, kecurigaan
seperti itu pun menjadi hal yang wajar.
Desakan Hakim Agung Gayus Lumbuun terkait
dengan transparansi anggaran di MA sesungguhnya tidak luar biasa. Persoalannya
menjadi luar biasa karena cara kolega Gayus di MA menyikapi desakan Gayus itu
yang pantas dinilai sangat berlebihan. Banyak kalangan tercengang, geleng
kepala, dan terheran-heran dengan sikap dan argumentasi kolega Gayus. Selain
keluar dari konteks transparansi, respons atas desakan Gayus cenderung
frontal dan defensif karena merasa dituduh.
Karena pimpinan MA tidak mampu mengelola atau
melokalkan persoalan, perang kata-kata Gayus versus Ketua Muda Mahkamah Agung
(MA) Pidana Khusus Djoko Sarwoko dan Sekretaris MA Nurhadi berlanjut dan
memanas. Itu bahkan mulai mengarah ke saling tuduh.
Gayus mengungkap apa yang mungkin menjadi aib
di MA. Gayus mendesak MA dan instansi terkait lainnya memeriksa Nurhadi.
Menurut Djoko Sarwoko, Nurhadi telah memberikan sumbangan finansial sangat
besar ke MA. Bentuk sumbangan yang disebut Gayus ialah renovasi ruang
sekretariat dan ruang kerja dengan seperangkat meja senilai Rp1 miliar. Demi
transparansi, Gayus minta agar sumbangan itu diaudit. Apakah sumbangan itu
sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
“Itu meja, duitnya sendiri. Karena Nurhadi
punya usaha sarang burung walet,” kata Djoko Sarwoko. Dia menyebut Nurhadi
sebagai pegawai MA yang berprestasi dan berdedikasi tinggi. Nurhadi telah
berbuat banyak untuk MA, antara lain mau menggunakan uang pribadi untuk
kepentingan lembaga. Dia berujar, “Karena ikut membina Nurhadi, saya ikut
sakit hati juga dia difitnah seperti ini.“
Apa yang salah dari desakan Gayus itu? Di luar
perkiraan banyak orang, Djoko Sarwoko malah berujar, “Menurut saya, jika dia
(Gayus) tidak suka dengan kondisi MA sekarang, ya keluar sajalah. Daripada
membangun permusuhan dan kinerja MA tidak kondusif.“ Dengan keluar dari
konteks, Djoko coba mengalihkan persoalan. Dia menyindir Gayus gila hormat
dan berharap menjadi pimpinan MA, `tetapi ternyata tidak laku'. Dia meni lai
Gayus kecewa dan menciptakan konflik.
Respons Nurhadi lebih keras. “Saya enggak
pernah takut sama siapa pun karena saya clean.
Saya enggak peduli, saya labrak betul (Gayus Lumbuun) karena saya clean. Saya jamin satu rupiah pun saya
tidak punya pikiran untuk main-main, terutama dalam anggaran. Kalau eselon I
ketahuan (korupsi) sama saya, saya amputasi,“ kata Nurhadi.
Hilangnya Keagungan
Reaksi yang demikian itu benar-benar di luar
sangkaan banyak orang karena disuarakan Ketua Muda MA dan Sekretaris MA.
Apalagi, Djoko coba mengeskalasi persoalan dengan menyatakan kemungkinan
Nurhadi mengajak Gayus berkelahi. “Yah, kalau sudah menyinggung masalah
perasaan orang, bisa berkelahi itu,“ kata Djoko. Ini seperti upaya
mengaburkan persoalan. Dorongan transparansi institusi negara, menyinggung
perasaan, bisa memicu perkelahian; apa relevansinya? Jangan sampai ada asumsi
atau anggapan MA itu sebagai milik sekumpulan PNS (pegawai negeri sipil) yang
kebetulan sedang menjalani masa bakti di MA.
Dengan rangkaian reaksi seperti itu, MA tampak
tidak agung lagi. Harkat dan martabat jabatan tinggi kenegaraan yang
disandang lenyap begitu saja karena yang terlihat di permukaan justru panik,
rasa takut, dan emosi yang tak beralasan.
Perlakuan terhadap para hakim agung selama ini
cukup memprihatinkan. Derajat mereka direndahkan, bahkan lebih rendah
daripada PNS eselon I–II di MA. Padahal, negara mengalokasikan anggaran
sangat besar guna mendukung kerja para hakim agung. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa ada begitu banyak kasus yang belum atau tidak juga diselesaikan di
MA.
Selama ini, kinerja MA terbilang mengecewakan.
Boleh jadi, kinerja yang buruk itu disebabkan perlakuan semenamena terhadap
para hakim agung. Diskriminasi di MA pasti sudah melampaui batas toleransi
sehingga muncul anggapan para hakim agung sebagai warga kelas II di MA dan
diperlakukan seperti kambing. Karena itu, tidak mengherankan jika desakan
Gayus Lumbuun didukung berbagai kalangan.
Kalau para hakim agung diperlakukan seperti
itu, tentu layak untuk mengedepankan pertanyaan mengenai pemanfaatan anggaran
MA. Jawaban paling ideal atas pertanyaan itu ialah transparansi anggaran.
Kalau MA didesak untuk transparansi anggaran, lakukan apa yang semestinya
dilakukan. Bukankah institusi negara lainnya pun mulai transparan? Merasa tersinggung
atau mendorong perkelahian sama sekali tidak relevan.
Kini, desakan transparansi anggaran di MA
bukan lagi persoalan sederhana. Itu bahkan sudah tereskalasi. Seorang Ketua
Muda MA sendiri yang mengungkapkan ada PNS yang merangkap sebagai pengusaha
burung walet telah memberikan sumbangan finansial sangat besar untuk MA.
Artinya, desakan transparansi anggaran ialah satu soal, sementara sumbangan
finansial dari seorang PNS untuk MA menjadi persoalan terpisah. Bagaimanapun,
MA tahu bahwa menerima sumbangan itu ada aturannya agar tidak dituduh
menerima gratifikasi.
Kalau aturannya dilanggar, tentu ada risiko hukumnya. Kalau memang tidak ada
masalah dengan pengelolaan dan pemanfaatan anggaran, MA tak perlu gentar
dengan desakan Gayus tentang transparansi anggaran. Sajikan saja semua data
apa adanya. Kekurangan atau kekeliruan yang tidak disengaja bisa diperbaiki
bersama-sama. Terpenting bagi MA ialah terbuka menerima perubahan.
Desakan untuk melakukan
keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pun bisa dijadikan langkah awal bagi
perubahan besar di MA. Sebagai lembaga tertinggi di bidang peradilan, MA
tidak boleh menolak pengawasan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar