|
UU SSPA
Bertentangan dengan Konstitusi
OC Kaligis ; Advokat Senior,
Guru Besar Hukum
Pidana di Sejumlah Perguruan Tinggi di Jakarta
|
SUARA
KARYA, 09 November 2012
|
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA) mendapat reaksi dari para hakim. Mereka keberatan dengan sejumlah pasal
UU SPPA, khususnya tentang sanksi pidana atau denda bagi para hakim yang
menangani perkara pidana anak. Pasal-pasal itulah yang hendak diuji oleh para
hakim ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, apakah cukup kuat dasar yuridis
pengajuan uji materi UU itu ke MK? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada
beberapa hal yang perlu dicermati.
Pertama,
UU SPPA sebagai bagian dari sistem hukum peradilan pidana, tunduk pada
asas-asas/prinsip-prinsip umum dalam sistem peradilan pidana. Di antaranya,
prinsip independensi dan imparsialitas hakim, praduga tak bersalah; peradilan
cepat dengan tetap menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum secara
berimbang.
Kedua,
dalam sistem peradilan pidana umumnya tidak mengenal adanya sanksi pidana
penjara atau denda bagi penegak hukum, termasuk hakim, yang melakukan
kekeliruan atau kesalahan dalam bidang administrasi peradilan. Kesalah-an ini
dikenakan sanksi administratif bagi penegak hukum, termasuk hakim yang
melakukan pelanggaran administratif dalam proses peradilan.
Ketiga,
menyimpang dari poin kedua di atas, UU SPPA ini menetapkan ketentuan pidana
bagi penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) yang melakukan
pelanggaran administratif proses peradilan dalam sistem peradilan pidana
anak. Khusus untuk hakim, tercantum dalam ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan
Pasal 101 UU SPPA.
Penyimpangan
tersebut menimbulkan beberapa persoalan hukum, yang bertentangan dengan Pasal
1 ayat (3), Pasal 24, dan Pasal 28D ayat (1) Konstitusi UUD 1945.
Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 menetapkan Indonesia adalah negara hukum. Salah satu
prinsip penting dari negara hukum adalah adanya independensi kekuasaan
kehakiman. Prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang independen itu
dirumuskan dalam The Seventh United
Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di
Milan (1985) yang kemudian disahkan oleh General Assembly Resolutions 40/32 dan 40/146 (1985).
Tiga
Pelanggaran
Dari
7 prinsip independensi kekuasaan kehakiman ini, ada 3 prinsip yang dilanggar
oleh ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA.
Pertama,
terkait ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 yang secara jelas
menunjukkan bahwa negara tidak lagi menjamin independensi kekuasaan
kehakiman. Demikian juga pemerintah dan institusi pembuat kebijakan legislasi
tidak lagi menghormati dan memperhatikan independensi kekuasaan kehakiman.
Kedua,
terkait ketentuan Pasal 96, 100, dan 101, yang baik secara langsung maupun
tidak langsung merupakan restrictions, improper influences, inducements,
pressures, threats or interferences bagi independensi para hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan anak.
Ketiga,
terkait ketentuan Pasal 96, 100, dan 101, yang merupakan bagian dan
berhubungan dengan proses peradilan anak.
Karena
Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 telah melanggar prinsip-prinsip
independence of judiciary, maka norma-norma hukum dalam pasal-pasal tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kemudian,
pasal 24 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional tentang kekuasaan
kehakiman. Ayat (1) menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Ayat (2) menetapkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 24 ini merupakan perwujudan dan
jaminan konstitusional akan prinsip keseimbangan institusional. Dari
perspektif hukum keseimbangan institusional merupakan suatu prinsip
konstitusional dalam pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif
di mana kekuasaan yang satu harus menghormati kekuasaan yang lain. Maka,
berdasarkan prinsip keseimbangan institusional segala hal yang menyangkut
kekuasaan badan-badan kehakiman dan pelaksanaan dari kekuasaan badan-badan
kehakiman tersebut, termasuk dalam proses peradilan, harus berada dalam
kompetensi pengaturan Pasal 24 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan Pasal 24 UUD 1945 tersebut. Berdasarkan prinsip
keseimbangan insitusional ini juga, ancaman hukuman/sanksi terhadap hakim
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam peradilan harus berada dalam
domain dan kompetensi kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
berdasarkan Pasal 24 UUD 1945 tersebut.
Ketentuan Pasal 96,
100, 101 berada di luar domain dan kompetensi kekuasaan kehakiman berdasarkan
Pasal 24 UUD 1945, karena itu bertentangan dengan keseimbangan institusional
yang merupakan prinsip konstitusional, yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945.
Pasal 28D UUD 1945 menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Setiap orang ini termasuk hakim yang mengadili perkara
peradilan anak. Dengan adanya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 para hakim
dalam peradilan anak tidak memiliki jaminan, perlindungan, dan perlakuan yang
sama di hadapan hukum dibandingkan dengan hakim-hakim dalam peradilan umum,
dan peradilan lainnya. Pasal tersebut diskriminatif terhadap hakim dalam
peradilan anak dan bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar