Selasa, 13 November 2012

Kemenangan Obama, Peluang Indonesia


Kemenangan Obama, Peluang Indonesia
Kentos Artoko ;  Wartawan Suara Karya
SUARA KARYA, 09 November 2012

  
Hasil pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) menunjukkan Barack Obama dari Partai Demokrat yang juga petahana, mampu mengungguli seterunya Mitt Romney yang diusung oleh Partai Republik dengan perbedaan suara yang sangat tipis. Lalu, peluang apa yang bisa diambil oleh Indonesia dengan kemenangan Obama itu?
Secara statistik, AS di bawah Obama telah berhasil menunjukkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Data dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, di bawah kepemimpinan Obama, jumlah pengangguran menurun dari 9 persen (2011), 8,1 persen (2012) dan prediksi 7,9 persen pada 2013 mendatang. Pertumbuhan ekonomi pun mengalami peningkatan dari 2,1 persen (2012) dan pada 2013 mendatang bisa 2,4 persen.
Melalui data tersebut, harus diakui bahwa Obama masih harus terus berjuang untuk mengembalikan posisi perekonomian AS pada tingkatan atau level yang jauh lebih baik. Krisis moneter yang melanda Eropa juga memberikan imbas buruk terhadap ekspor AS ke kawasan ini yang secara langsung memberikan efek negatif perolehan negara.
Dari sisi utang luar negeri, tingginya beban utang yang harus ditanggung Pemerintah AS dibandingkan dengan perolehan negara, turut memengaruhi berbagai kebijakan dalam sektor moneter yang berbuntut tidak stabilnya nilai tukar greenback (dolar)
Kekuatan ekonomi domestik tentu saja sangat berpengaruh terhadap penerapan sistem politik luar negeri yang akan ditempuh oleh AS untuk mengamankan sejumlah kepentingannya di berbagai kawasan. Melalui sejumlah rencana yang dilontarkan Obama, tersirat bahwa AS akan jauh lebih realistis dalam melaksanakan kebijakan politik luar negerinya.
Di Timur Tengah, dominasi pengaruh AS terhadap seluruh negara di jazirah ini hanya tinggal menunggu waktu saja. Iran dan Suriah yang hingga kini masih belum bisa "ditaklukan", lambat tapi pasti bakal bisa dikuasai.
Berbagai tekanan dalam bidang ekonomi dan politik telah dilancarkan AS beserta sekutu-sekutunya. Embargo ekonomi pun sudah dicanangkan terhadap kedua negara itu.
Tumbangnya beberapa rezim, seperti Libia, Yaman dan Mesir yang selama ini menjadi 'duri dalam daging' telah memudahkan negeri Paman Sam untuk jauh lebih dalam lagi menancapkan kuku dan pengaruhnya. Politik hegemoni dan superioritas yang dianut oleh AS selama ini memang masih terus dijalankan oleh Obama, namun dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak mencolok. Kekuatan oleh militer di tiap regional terus dipertahankan dan ditambah.
Untuk kawasan Asia, kendala utama AS untuk menguasai wilayah ini terletak pada superioritas China. Sebagai satu entitas negara, China kini berubah menjadi satu kekuatan industri, militer dan ekonomi yang paling mapan di dunia.
Pertumbuhan ekonominya yang mencapai 8 persen mampu membuat negeri Tirai Bambu ini sebagai penguasa dunia dalam bidang ekonomi. Betapa tidak, hampir 80 persen surat utang yang dilempar oleh AS ke pasar keuangan dunia, diborong habis oleh China.
Oleh karena itu, secara tidak langsung, AS kini berada di bawah pengaruh yang sangat luar biasa dari China, apabila tidak ingin kembali pada jurang krisis moneter yang jauh lebih dalam lagi.
Kekuatan militer China yang juga terus berkembang, mengakibatkan politik hegemoni dan dominasi geopolitik China makin melebar di kawasan Asia Tenggara.
Perseteruan antara Filipina-Kamboja soal Teluk Beting yang mengakibatkan ketidakmampuan Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) menghasilkan komunike bersama, Juli lalu telah menimbulkan sedikit faksi dalam tubuh organisasi ini.
Kamboja yang didukung China, serta Filipina yang didukung AS terus berseteru dengan tajam. Buntutnya, China melarang ekspor pisang Filipina ke negeri Tirai Bambu itu yang mengakibatkan kerugian besar dalam perolehan devisa Filipina, karena pisang merupakan andalan ekspor dan China adalah satu-satunya tujuan ekspor Filipina.
Perseteruan lain yang hingga kini masih terjadi adalah antara China dan Jepang soal kepulauan Diaoyu (sebutan China) atau Senkaku (sebutan Jepang). China menganggap wilayah itu merupakan bagian dari kedaulatannya, demikian pula sebaliknya.
Akibatnya, China melarang Jepang untuk memasok rare earth (bahan baku otomotif dan elektronika) ke wilayahnya, termasuk Hong Kong dan Taiwan. Pelarangan ini, menyebabkan Jepang meradang, mengingat rare earth adalah ekspor komoditas terpenting Jepang selain manufaktur, elektronika dan otomotif.
Usulan zero draft (draf nol) yang dibawa oleh Menlu Marty Natalegawa untuk menyelesaikan sengketa wilayah di Laut China Selatan bisa dijadikan bargaining power bagi Indonesia agar lebih diperhatikan oleh AS. Apabila negara-negara anggota ASEAN setuju terhadap zero draft itu, maka Indonesia punya kartu truf tambahan untuk menjalankan diplomasi ekonomi dan politik terhadap negeri Paman Sam.
Indonesia memiliki peluang untuk menekan AS dan sekutu-sekutunya agar lebih gencar lagi melakukan investasi di Indonesia. Investasi yang dilakukan, bisa secara langsung maupun tidak langsung, harus memberikan dampak langsung terhadap penambahkan dan perolehan devisa negara Di samping itu, Indonesia pun bisa meminta bantuan tambahan dalam bidang teknlogi teranyar serta militer, mengingat sejumlah persenjataan yang dimiliki negara telah usang dan tidak kompeten lagi untuk menjaga kedaulatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar