|
Tak Hanya
Bunuh Hidup, tapi Kehidupan
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
SINDO,
12 November 2012
|
Sungguh
mengagetkan dan pantas membuat gaduh ketika mencuat berita bahwa seorang
terpidana kasus narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba), Mirika Franola
alias Ola, diduga menjadi pengendali penyaluran narkoba atau penyelundupan
sabu-sabu dari dalam penjara.
Kegaduhan itu terjadi bukan karena ada terpidana narkoba masih aktif melakukan bisnis narkoba dari dalam penjara, tetapi karena Ola adalah terpidana narkoba yang belum lama mendapat grasi dari Presiden, dari hukuman pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Wajar juga kalau kemudian Presiden mendapat kritik keras karena dapat dinilai kecolongan memberikan grasi kepada orang yang ternyata tak pantas mendapat grasi. Ada apa? Komplotan macam apa yang bisa menggiring saran kepada Presiden agar Ola, demi kemanusiaan, diberi grasi? ”Memberi grasi adalah hak dan wewenang Presiden, tetapi masak bisa kecolongan begitu,” demikian kritikan Yusril Ihza Mahendra yang menurut saya mewakili pandangan umum di Indonesia. Kecaman-kecaman atas pemberian grasi dan sikap pemerintah terhadap kejahatan narkoba itu tak boleh dinilai sebagai serangan politik terhadap Presiden. Ini adalah soal yang amat serius dan tak boleh dipandang sebagai permainan sirkus politik seperti yang sering terjadi. Ini soal komitmen kita untuk menjaga keselamatan bangsa dan negara. Kejahatan narkoba itu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa karena ia bukan hanya merenggut nyawa atau membunuh hidup manusia, tetapi bisa membunuh kehidupan manusia.Yang dipertaruhkan adalah masa depan kita sebagai bangsa. Dalam beberapa kesempatan saya bertemu dengan mantan Menko Kesra Azwar Anas dan orang sepuh yang saleh ini selalu berpesan agar kita tidak hanya berperang melawan korupsi, tetapi harus ikut berperang memberantas kejahatan narkoba. Kata Pak Azwar,daya merusak atau daya penghancur narkoba terhadap generasi penerus tidak kalah dahsyat daripada destruksi korupsi dan terorisme. Kalau terorisme,korbannya bisa dilihat, dihitung, dan pelakunya dapat diburu dengan cepat dan dengan taruhan fisik. Kalau korupsi, pelaku-pelakunya relatif lebih mudah diisolasi dan diidentifikasi dan menjadi selesai begitu kejahatan selesai dilakukan. Namun kalau kejahatan narkoba, bekerjanya begitu berantai,meluas,dan menyebabkan korban (pemakai dan pecandu) menjadi kehilangan–– tepatnya membuang–– masa depan sendiri. Pecandu narkoba selalu tak peduli lagi dengan masa depannya, tak peduli dengan keluarganya, apalagi terhadap masyarakatnya.Mereka hanya ingin selalu terus bisa menikmati narkoba yang telah menjadikannya kecanduan. Dia akan menjadi sakit dan tersiksa luar biasa, gemetar, dan menjerit jika tidak memakainya. Dia tak ingin menjadi apaapa, sebab kalau sudah kecanduan apa pun akan dilakukan asal mendapat jenis narkoba yang sudah dicanduinya. Seorang tokoh sepak bola kita pernah bercerita melalui televisi sambil menangis betapa anak yang sangat disayanginya menjadi rusak hidupnya setelah kecanduan narkoba. Sang anak yang tadinya baik-baik menjadi tak peduli pada masa depannya,suka berbohong, dan menipu hanya agar dapat uang untuk membeli narkoba secara diamdiam. Kalau ada orang tua di rumah dia berpura-pura baik, tetapi begitu ditinggal, semua barang dan perabotan rumah tangga dijual untuk membeli narkoba. Orang tua yang seperti ini sungguh menderita karena pada satu sisi menyayangi dan ingin mengobati anaknya, tetapi pada sisi lain sangat sulit untuk menyembuhkan sang anak.Padahal pada waktu yang bersamaan dia harus menyembunyikan penyakit yang menimpa sang anak itu dari pengetahuan masyarakat agar keluarga tak tercemar. Pecandu narkoba juga dengan mudah menjadi pembohong dan penipu besar. Kita tentu masih ingat ada pecandu narkoba yang mengaku sembuh dan bertobat sehingga diangkat menjadi ikon pemberantasan narkotika oleh Polri. Tapi ternyata dia berbohong dan justru tertangkap lagi oleh polisi pada saat ramai-ramai disiapkan acara untuk mengangkatnya sebagai duta antikejahatan narkoba.Kebohongan yang sama dengan yang dilakukan sang duta diduga kuat dilakukan juga oleh Ola. Kita, polisi, bahkan pemerintah kita telah ditipu dan dibohonginya. Pada tahun 1980-an,sahabat saya Henry Yosodiningrat mendirikan lembaga Anti-Hukuman Mati (Hati) yang mengampanyekan agar hukuman mati di Indonesia dihapuskan karena bertentangan dengan HAM dan mengambil hak Tuhan.Ketika saya mendebatnya bahwa hukuman mati itu bukan mengambil hak Tuhan, melainkan bisa dilakukan atas izin Tuhan dengan peraturan hukum yang jelas,Henry balik mendebat saya dengan garang. ”Pokoknya, tak boleh ada hukuman mati,”katanya. Tapi begitu dia mengenal korban narkoba dan tahu akibat dahsyat yang ditimbulkannya, dia langsung balik kanan dan berteriak agar penjahat narkoba dijatuhi hukuman mati. Kejahatan narkoba itu bukan menghabisi nyawa atau membunuh hidup, melainkan membunuh kehidupan manusia dan masyarakatnya. Sekarang Henry menjadi Ketua Granat, satu ormas yang berperang gigih melawan kejahatan narkoba dengan paket mendukung penjatuhan hukuman mati bagi kejahatan narkoba. Demi masa depan yang baik bagi bangsa dan negara, marilah kita perkuat komitmen kita untuk melakukan perang total dan tanpa ampun terhadap kejahatan narkoba. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar