Senin, 12 November 2012

The Devil We Know


The Devil We Know
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 10 November 2012



Presiden Amerika Serikat Barack Obama terpilih kembali dengan kemenangan telak, 303-206, atas Mitt Romney pada lapis utusan (electoral college) dari 50 negara bagian (plus satu daerah khusus Washington, DC)—kecuali Florida. Pada lapis pemilih, Obama sementara unggul 60,6 juta dibandingkan 57,7 juta suara.
Jumlah pemilih menurun cukup drastis, perkiraan sementara mencapai 126 juta (sekitar 57,5 persen dari total pemilih) dibandingkan 131 juta (sekitar 64 persen) tahun 2008. Ini tingkat partisipasi normal karena rakyat masih tertarik politik, tak seperti ketika Presiden Bill Clinton terpilih kembali tahun 1996 dengan jumlah pemilih di bawah 50 persen.
Artinya, mayoritas rakyat tetap optimistis meski diancam krisis anggaran (fiscal cliff) dengan defisit sekitar 1 miliar dollar AS per tahun dan utang publik menembus 16 triliun dollar AS. Belum lagi tingkat pengangguran hampir 8 persen (sekitar 23 juta orang) dan sekitar 50 juta warga miskin mengandalkan kupon makan gratis pemerintah.
Agak di luar dugaan mayoritas masih memercayai Obama yang popularitasnya terus turun. Apalagi, menurut berbagai survei, lebih dari tiga perempat responden mengaku faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama memilih kali ini.
Lebih mencengangkan, Obama hanya kehilangan dua negara bagian (Indiana dan North Carolina) yang memang kubu konservatif dari 10-13 swing states. Kenapa bisa begitu?
Pertama, tim kampanye Obama kerja keras dengan strategi ampuh, iklan efektif, dan gerakan get-out-the-vote berskala masif. Sumbangan suara terbesar datang dari mayoritas perempuan, warga berusia 18-44 tahun, minoritas (hitam, Latin, dan Asia), kaum urban, dan homoseksual.
Kini kubu Romney sadar kurang konsentrasi ke kelompok-kelompok ini. Ia cuma unggul merebut mayoritas suara pria kulit putih di atas 45 tahun yang tinggal di pinggiran dan wilayah pertanian.
Kedua, Obama tak berpura-pura (apalagi berbohong) menangani misi perbaikan ekonomi. Ada kalimat yang sering diucapkan Obama dan Wakil Presiden Joe Biden yang mencerminkan watak dia, ”I say what I mean, I mean what I say.”
Krisis moneter dipicu KPR (subprime mortgage) yang macet akibat ulah dua kreditor raksasa, Freddie Mac dan Fannie Mae, tahun 2007. Setahun kemudian kredit macet menjalar ke sektor lain, termasuk keuangan dan otomotif.
Ada kebijakan bailout Presiden Obama yang sukses, seperti untuk General Motors. Ada pula bailout yang gagal, seperti untuk Wall Street—antara lain karena ulah para eksekutif yang boros bonus.
Ketiga, Obama mempraktikkan politik luar negeri asertif sekaligus manusiawi. Ia melenyapkan Osama bin Laden dan menewaskan teroris dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan yang ditewaskan Presiden George W Bush.
Betul Obama masih tetap pro-Israel dan belum banyak memprakarsai upaya perdamaian Timur Tengah. Namun, politik luar negeri AS saat ini lebih multilateralistis (tidak unilateralistis) yang menganggap para sekutu sebagai sahabat yang didengar.
Itu sebabnya kita di Asia Tenggara lebih nyaman karena Presiden Bush mengabaikan ASEAN. Obama menganggap China sebagai mitra—bukan adidaya pesaing—yang mau kerja sama dengan mematuhi aturan-aturan main yang disepakati.
Mitra strategis (strategic partners) AS di Asia Pasifik tetap Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Empat tahun ke depan Indonesia tetap berstatus mitra komprehensif yang dianggap belum setara dengan AS dan oleh sebab itulah kita patut menjaga harga diri dan kedaulatan.
Keempat, Obama menang karena wajah Romney sesungguhnya masih belum terungkap sampai hari pencoblosan. Pemilih independen yang jumlahnya sekitar sepertiga dari total pemilih belum cukup kenal sosok Romney, sang konglomerat pemilik Bain Capital.
Romney sering dicap sebagai ”robot” kurang sensitif. Ia, misalnya, pernah keseleo lidah mengatakan 47 persen rakyat hidup seperti benalu karena mengandalkan berkah dari pemerintah.
Citra Romney sebagai konglomerat dirusak pula oleh Donald Trump yang sempat mencalonkan diri sebagai presiden. Trump yang suka asal bicara dan bertindak sesuka hati, misalnya, menuduh Obama pemalsu akta kelahiran sehingga tak memenuhi syarat sebagai capres tahun 2008.
Jangan lupa, persaingan Obama vs Romney adalah ajang pertempuran ideologis antara liberalisme vs kapitalisme. Obama bertekad membawa AS menjadi negara kesejahteraan mirip di Eropa, Romney penganjur kapitalisme yang menjunjung tinggi kerja keras.
Obamacare bertujuan membebaskan sekitar 60 juta rakyat dari beban biaya pengobatan yang supermahal, Romney malah ingin melenyapkannya. Obama ingin mengubah tax code menambah pajak bagi yang berpenghasilan di atas 250.000 dollar AS per tahun, Romney malah ingin memotong pajak orang kaya.
Empat tahun ke depan liberalisme ada di atas angin. Republik mesti berjuang keras agar tak terseret ideologi ultrakonservatif ala kaukus Tea Party yang konyol, dengan menyiapkan capres-capres-sentris seperti Romney atau John McCain.
Demografi AS berubah dan ada peluang tahun 2016 kedua partai mengusung cawapres Latin yang pemilihnya mencapai 11 juta orang. Dari Republik ada Senator Florida Marco Rubio, dari Demokrat ada Wali Kota San Antonio Juan Castro.
Tugas Obama makin berat meski dalam pidato kemenangan menegaskan akan mengulurkan tangan bekerja sama dengan DPR yang masih dikuasai Republik. Semoga ia tidak mengalami sindrom periode kedua yang cenderung membawa sial, tetapi malah menyiapkan warisan yang bakal dikenang manis.
Saya suka dengan istilah majalah Inggris, The Economist, yang mendukung Obama karena ia the devil we know. Agaknya masih lebih baik memilih orang jujur walau dipandang belum berhasil daripada memilih yang belum tentu jujur dan juga belum tentu berhasil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar