|
The Devil We
Know
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
10 November 2012
|
Presiden Amerika Serikat
Barack Obama terpilih kembali dengan kemenangan telak, 303-206, atas Mitt
Romney pada lapis utusan (electoral college
Jumlah
pemilih menurun cukup drastis, perkiraan sementara mencapai 126 juta (sekitar
57,5 persen dari total pemilih) dibandingkan 131 juta (sekitar 64 persen)
tahun 2008. Ini tingkat partisipasi normal karena rakyat masih tertarik
politik, tak seperti ketika Presiden Bill Clinton terpilih kembali tahun 1996
dengan jumlah pemilih di bawah 50 persen.
Artinya,
mayoritas rakyat tetap optimistis meski diancam krisis anggaran (fiscal
cliff) dengan defisit sekitar 1 miliar dollar AS per tahun dan utang publik
menembus 16 triliun dollar AS. Belum lagi tingkat pengangguran hampir 8
persen (sekitar 23 juta orang) dan sekitar 50 juta warga miskin mengandalkan
kupon makan gratis pemerintah.
Agak
di luar dugaan mayoritas masih memercayai Obama yang popularitasnya terus
turun. Apalagi, menurut berbagai survei, lebih dari tiga perempat responden
mengaku faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama memilih kali ini.
Lebih
mencengangkan, Obama hanya kehilangan dua negara bagian (Indiana dan North
Carolina) yang memang kubu konservatif dari 10-13 swing states. Kenapa bisa
begitu?
Pertama,
tim kampanye Obama kerja keras dengan strategi ampuh, iklan efektif, dan
gerakan get-out-the-vote berskala masif. Sumbangan suara terbesar datang dari
mayoritas perempuan, warga berusia 18-44 tahun, minoritas (hitam, Latin, dan
Asia), kaum urban, dan homoseksual.
Kini
kubu Romney sadar kurang konsentrasi ke kelompok-kelompok ini. Ia cuma unggul
merebut mayoritas suara pria kulit putih di atas 45 tahun yang tinggal di
pinggiran dan wilayah pertanian.
Kedua,
Obama tak berpura-pura (apalagi berbohong) menangani misi perbaikan ekonomi.
Ada kalimat yang sering diucapkan Obama dan Wakil Presiden Joe Biden yang
mencerminkan watak dia, ”I say what I mean, I mean what I say.”
Krisis
moneter dipicu KPR (subprime mortgage) yang macet akibat ulah dua kreditor
raksasa, Freddie Mac dan Fannie Mae, tahun 2007. Setahun kemudian kredit
macet menjalar ke sektor lain, termasuk keuangan dan otomotif.
Ada
kebijakan bailout Presiden Obama yang sukses, seperti untuk General Motors.
Ada pula bailout yang gagal, seperti untuk Wall Street—antara lain karena
ulah para eksekutif yang boros bonus.
Ketiga,
Obama mempraktikkan politik luar negeri asertif sekaligus manusiawi. Ia
melenyapkan Osama bin Laden dan menewaskan teroris dalam jumlah yang lebih
banyak dibandingkan yang ditewaskan Presiden George W Bush.
Betul
Obama masih tetap pro-Israel dan belum banyak memprakarsai upaya perdamaian
Timur Tengah. Namun, politik luar negeri AS saat ini lebih multilateralistis
(tidak unilateralistis) yang menganggap para sekutu sebagai sahabat yang
didengar.
Itu
sebabnya kita di Asia Tenggara lebih nyaman karena Presiden Bush mengabaikan
ASEAN. Obama menganggap China sebagai mitra—bukan adidaya pesaing—yang mau
kerja sama dengan mematuhi aturan-aturan main yang disepakati.
Mitra
strategis (strategic partners) AS di Asia Pasifik tetap Jepang, Korea
Selatan, dan Australia. Empat tahun ke depan Indonesia tetap berstatus mitra
komprehensif yang dianggap belum setara dengan AS dan oleh sebab itulah kita
patut menjaga harga diri dan kedaulatan.
Keempat,
Obama menang karena wajah Romney sesungguhnya masih belum terungkap sampai
hari pencoblosan. Pemilih independen yang jumlahnya sekitar sepertiga dari
total pemilih belum cukup kenal sosok Romney, sang konglomerat pemilik Bain
Capital.
Romney
sering dicap sebagai ”robot” kurang sensitif. Ia, misalnya, pernah keseleo
lidah mengatakan 47 persen rakyat hidup seperti benalu karena mengandalkan
berkah dari pemerintah.
Citra
Romney sebagai konglomerat dirusak pula oleh Donald Trump yang sempat
mencalonkan diri sebagai presiden. Trump yang suka asal bicara dan bertindak
sesuka hati, misalnya, menuduh Obama pemalsu akta kelahiran sehingga tak
memenuhi syarat sebagai capres tahun 2008.
Jangan
lupa, persaingan Obama vs Romney adalah ajang pertempuran ideologis antara
liberalisme vs kapitalisme. Obama bertekad membawa AS menjadi negara
kesejahteraan mirip di Eropa, Romney penganjur kapitalisme yang menjunjung
tinggi kerja keras.
Obamacare
bertujuan membebaskan sekitar 60 juta rakyat dari beban biaya pengobatan yang
supermahal, Romney malah ingin melenyapkannya. Obama ingin mengubah tax code
menambah pajak bagi yang berpenghasilan di atas 250.000 dollar AS per tahun,
Romney malah ingin memotong pajak orang kaya.
Empat
tahun ke depan liberalisme ada di atas angin. Republik mesti berjuang keras
agar tak terseret ideologi ultrakonservatif ala kaukus Tea Party yang konyol,
dengan menyiapkan capres-capres-sentris seperti Romney atau John McCain.
Demografi
AS berubah dan ada peluang tahun 2016 kedua partai mengusung cawapres Latin
yang pemilihnya mencapai 11 juta orang. Dari Republik ada Senator Florida
Marco Rubio, dari Demokrat ada Wali Kota San Antonio Juan Castro.
Tugas
Obama makin berat meski dalam pidato kemenangan menegaskan akan mengulurkan
tangan bekerja sama dengan DPR yang masih dikuasai Republik. Semoga ia tidak
mengalami sindrom periode kedua yang cenderung membawa sial, tetapi malah
menyiapkan warisan yang bakal dikenang manis.
Saya
suka dengan istilah majalah Inggris, The
Economist, yang mendukung Obama karena ia the devil we know. Agaknya masih lebih baik memilih orang jujur
walau dipandang belum berhasil daripada memilih yang belum tentu jujur dan
juga belum tentu berhasil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar