|
Dua Wajah
Palestina
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur
Tengah
|
KOMPAS,
12 November 2012
|
Faksi Fatah di Tepi Barat,
Palestina, menggelar pemilu tanpa keikutsertaan faksi Hamas yang bermarkas di
Jalur Gaza. Hamas menuduh Fatah telah memperburuk harapan rekonsiliasi yang
sedang dimediasi Mesir dalam beberapa bulan terakhir.
Memotret
pergulatan politik di Palestina tidak semudah membalikkan kedua telapak
tangan. Fragmentasi politik antara Fatah dan Hamas merupakan persoalan
serius, yang menyebabkan perbincangan tentang kemerdekaan Palestina dan
solusi damai dengan Israel alami kebuntuan.
Faksi
Fatah menganggap pihaknya sebagai pemegang penuh otoritas pembebasan
Palestina (PLO) sejak perdamaian Oslo pada 1993. Tak hanya itu, mereka punya
basis dukungan politik yang kuat di Tepi Barat. Dunia internasional,
khususnya Amerika Serikat dan Israel, memilih Fatah sebagai pintu masuk
diplomasi perdamaian antara pihak Palestina dan Israel.
Sementara
itu, Hamas juga punya anggapan sama sebagai pemegang penuh mandat rakyat
Palestina karena mereka telah memenangi pemilu pada 2006. Basis dukungan
Hamas berpusat di Jalur Gaza, yang disokong sepenuhnya oleh Iran, Hezbollah,
dan Suriah. Belakangan, Qatar menggelontorkan investasi 250 juta dollar AS
untuk pembangunan infrastruktur sebagai bukti dukungan terhadap Hamas.
Oleh
karena itu, apa yang dipersepsikan masyarakat tentang Palestina selama ini
tidaklah sederhana. Tidak mudah mengatasnamakan kepentingan politik Palestina
karena faktanya ada dualisme kekuatan politik yang sulit dicarikan titik temu
dan solusi.
Bahkan,
harus diakui, masalah pelik yang dihadapi Palestina dalam kaitannya dengan
Israel bersumber dari konflik internal Palestina, khususnya Fatah versus
Hamas. Fatah menghendaki kemerdekaan Palestina yang hidup berdampingan damai
dengan Israel, sedangkan Hamas menghendaki kemerdekaan Palestina tanpa
mengakui eksistensi Israel.
Dua
wajah Palestina ini sampai kapan pun akan menjadi batu sandungan yang cukup
serius dalam memecahkan masalah Palestina. Tidak adanya titik temu antara
Fatah dan Hamas akan makin memperuncing persoalan. Siapa pun yang punya
kepedulian terhadap Palestina akan terganjal oleh kondisi obyektif politik di
dalam negeri Palestina.
Syafiq
Nadzim al-Ghibra dalam tulisannya di harian al-Hayat, mengutip ungkapan Abu
’Ala al-Manshur, seorang pejuang Palestina pada 1970-an. Dulu, orang-orang
Arab dari berbagai negara memberikan dukungan penuh terhadap Palestina.
Mereka bersatu melawan kekuatan imperialis Israel. Namun, saat ini Palestina
terlihat sendirian dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan pendudukan
Israel. Karena itu, persoalan ini harus dipecahkan sehingga dukungan Dunia
Arab terhadap Palestina menyatu kembali.
Namun,
upaya mendapatkan dukungan penuh dari Dunia Arab dan Dunia Islam pada umumnya
tidak mudah. Pasalnya, mendamaikan konflik Fatah dan Hamas selama ini kerap
berujung pada kegagalan. Hal ini disebabkan ketidaksamaan persepsi dalam
memandang Israel. Fatah dapat menerima Israel sebagai negara yang berdaulat,
Hamas menolaknya mentah-mentah.
Sikap
Fatah sangat populer di negara-negara yang selama ini memberikan dukungan
penuh terhadap Israel, seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Begitu pula
sebagian negara Arab, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Qatar, memberikan
dukungan terhadap Fatah, terutama dalam konteks perdamaian dengan Israel.
Adapun
sikap Qatar yang berinvestasi di Jalur Gaza dapat dibaca sebagai bentuk Qatar
dalam menetralisasi dominasi Iran dan Hezbollah, yang selama ini menyokong
Hamas. Di samping itu, Qatar juga sedang memainkan peran kepemimpinannya di
Dunia Arab pascamusim semi yang telah mengubah peta kekuatan politik di kawasan
tersebut.
Meskipun
demikian, kekuatan Hamas tidak bisa disepelekan. Mereka punya pengikut yang
loyal dan solid. Bahkan, jika digelar pemilu saat ini, hampir dipastikan
Hamas akan meraih kemenangan telak. Ideologi perlawanan Hamas terhadap Israel
masih jadi idola rakyat Palestina.
Oleh
karena itu, Fatah memilih menunda pemilu atau menggelar pemilu tanpa
mengikutsertakan Hamas. Skenario Fatah dianggap sebagai tekanan politik
terhadap Hamas dan sejalan dengan kepentingan negara-negara yang selama ini
memberikan dukungan penuh terhadap mereka.
Rekonsiliasi
Fakta
dua wajah Palestina ini adalah masalah serius yang harus mendapatkan
perhatian. Jika masih belum tercapai formula kesatuan sikap politik rakyat
Palestina, yang akan diuntungkan dari konflik itu adalah Israel. Sementara
Palestina berkonflik, Israel terus membangun permukiman ilegal di Jerusalem
Timur, yang notabene merupakan tanah milik rakyat Palestina.
Karena
itu, menurut Abd al-Sattar Qasim, analis politik di www.aljazeera.net,
langkah Palestina meminta dukungan dunia internasional di PBB dalam konteks
kemerdekaan Palestina sebagai negara yang berdaulat sebenarnya hanya upaya
”memasak batu” (thabkhu al-hijarah). Hasilnya akan berujung sia-sia. Sebab,
realitas politik di dalam negeri Palestina tidak mengalami perubahan yang
signifikan.
Di
samping itu, hampir bisa dipastikan, Amerika dan sekutunya akan senantiasa
mengganjal legitimasi kemerdekaan Palestina dari PBB. Mereka masih menjadikan
Hamas sebagai ancaman serius terhadap eksistensi Israel di wilayah Palestina.
Menurut
Qasim, rekonsiliasi internal Palestina menjadi solusi yang harus didahulukan.
Sebelum meminta dukungan dunia internasional harus dipecahkan berbagai
persoalan yang selama ini dihadapi rakyat Palestina.
Pertama,
perlu menyelesaikan dugaan korupsi, yang selama ini kerap kali diarahkan
kepada faksi Fatah. Langkah Salam Fayyad dalam reformasi birokrasi dan
mewujudkan pemerintahan yang bersih amat tepat.
Kedua,
perlu pembicaraan khusus tentang keamanan dan reunifikasi perlawanan
Palestina. Sejatinya, setiap perlawanan terhadap Israel adalah sikap yang
secara utuh mendapatkan mandat penuh dari otoritas Palestina.
Kelompok-kelompok perlawanan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak
melakukan penyerangan atas nama faksinya.
Ketiga,
perlu mengedepankan pembicaraan di bidang ekonomi. Dampak dari krisis politik
di Palestina, yaitu krisis ekonomi yang sangat serius, yang ditandai dengan
tertundanya pembayaran gaji pegawai dan minimnya lapangan pekerjaan.
Akibatnya, begitu banyak warga Palestina yang eksodus ke negara-negara Arab
lainnya akibat krisis ekonomi.
Keempat,
perlu membicarakan soal pendudukan Israel dan teritori wilayah Palestina,
serta masalah-masalah lainnya, seperti perlakuan diskriminatif terhadap para
nelayan dan nasib para pengungsi.
Semua
hal tersebut bukanlah agenda yang sederhana. Tidak mudah dicarikan jalan
keluar. Namun, jika setiap faksi di Palestina, khususnya Fatah dan Hamas,
mampu mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan kelompok
masing-masing, tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar