Jumat, 16 November 2012

Terorisme dalam Perspektif Sejarah Global


Terorisme dalam Perspektif Sejarah Global
Heri Priyatmoko ;  Mahasiswa Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM
MEDIA INDONESIA, 10 November 2012


BERITA teranyar dari Poso ialah penyergapan terduga teroris oleh polisi yang diwarnai dengan aksi saling serang. Terduga teroris memakai bom rakitan dari pipa dan melemparkannya kepada petugas Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri yang berupaya menangkap mereka. “Posisi kami kill or to be killed,“ kata juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Soemarno.

Polisi sebelumnya menangkap tiga orang yang diduga jaringan teroris di berbagai wilayah, seperti Poso, Surakarta, NTT, Medan, Sumsel, dan Kalimantan (Koran Tempo, 4/11). Belum lama ini aparat kepolisian juga membongkar jaringan teroris dari kelompok Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi). Amir kelompok tersebut ialah Abu Hanifa alias Mustofa yang dibekuk di Surakarta.

Dari hari ke hari kita terus saja disuguhi aksi penangkapan teroris yang seakan tak pernah ada ujungnya. Aksi terorisme memang harus diperangi karena mengganggu keamanan negara dan masyarakat. Bila kita sudi me ninjaunya dari aspek sejarah, terorisme itu sendiri punya akar yang panjang. Nah, tulisan ini hendak menyoroti terorisme dari aspek sejarah global.

Terorisme pada hakikatnya merupakan bentuk aksi kekerasan (violence) yang dikerjakan secara kolektif oleh sekelompok orang yang menyimpan motif dan tujuan tertentu, baik dilatari suatu ideologi gerakan sosial, politik, maupun kultural. Meski demikian, tidak semua bentuk aksi kekerasan dapat digeneralisasi sebagai terorisme. 

Menurut sejarawan sepuh UGM Djoko Suryo (2010), terorisme tidak serupa dengan gejala yang berlaku dalam aksi perang sipil, perbanditan, atau perang gerilya. Istilah `gurila/ gerilya' (guerrilla) diartikan dengan konotasi positif. Sebaliknya, istilah terorisme selalu diartikan dalam makna negatif. Terminologi gerilya dipakai T untuk menerangkan sebuah gerakan perlawanan yang memakai strategi perang secara sembunyi-sembunyi guna membebaskan suatu wilayah atau mendirikan lembaga tandingan, yang terkadang ditempuh lewat pengerahan kekuatan militer reguler, yang mungkin digerakkan di hutan, gunung, atau kota.

Terorisme yang dikenang dalam memori kolektif ratarata melibatkan lebih dari satu pembunuh dan dikerjakan berulang kali. Hal itu bagian dari bentuk persekongkolan alias konspirasi.

Janji Muluk

Dari masa ke masa, aksi terorisme tidak bisa diterima akal sehat. Sebab, terdapat kecenderungan yang lebih mendasarkan fanatisme dan `kegendengan' (madman) dalam cara berpikir ketimbang sebuah alasan rasional pemberontakan melawan tirani yang nyata. Dalam lembaran sejarah global, sejarah teror dan terorisme kerap dikaitkan dengan histori di kawasan Suriah dan Libanon abad XV.

Detik itu, ada satu pemimpin yang dikenal sebagai si Tua dari Gunung (Old Man of the Mountain) yang menakhodai sebuah sekte atau aliran. Kelompok itu terdiri dari para pemuda dengan kepercayaan agama yang fanatik. Candu adalah barang ampuh yang dipakai si Tua untuk merayu para pemuda agar bersedia bergabung dalam sekte. Orang-orang berumur muda tersebut tak segan mengakhiri hidup musuh atau tokoh yang sudah masuk target dan dirinya juga rela bunuh diri. Seperti pengakuan para pengebom di Indonesia yang telah dicuci otaknya beberapa waktu lalu, para pemuda yang tewas dalam aksi jihad itu ternyata juga dijanjikan masuk surga. 

Menurut pakar sejarah Timur Tengah, Bernard Lewis, sasaran si Tua yang bernama asli Shaykh-al-Jabal tersebut adalah tokoh penting, contohnya raja-raja Eropa.
Dalam konteks tersebut, sejarawan Onghokham (2003) menganalisis para pembesar Eropa itu masuk target orang yang harus dienyahkan bukan disebabkan mereka musuh si Tua, melainkan lantaran bayaran yang diterima si Tua. Tidak mengherankan bila muncul opini bahwa `agama' sebagai kedok belaka, justru yang dipuja adalah uang. Tempo itu, si Tua berikut pengikutnya menjadi teror besar bagi kalangan elite Barat dan Timur, dan menyebabkan hati warga dilanda ketidaktenangan. Tercatat pula aneka cara pembunuhan, yaitu menjerat leher korban dengan tali sutra, menikam tubuh dengan pisau, dan menembak dengan pistol.

Baru kemudian pada abad XIX terorisme telah menjadi bahan diskusi di dunia Eropa. Bukan karena penggunaan kekerasan sebagai pernyataan politik bagi kaum kiri, melainkan lantaran adanya alasan untuk mendirikan negara atau kekuasaan politik. Namun, kebanyakan pemimpin kaum kiri menolak berbagai alasan filosofis dan praktis. Sekeping fakta yang penting dicatat ialah munculnya tokoh Karl Heinsezen dan Johann Most, tokoh kaum radikal Jerman yang juga penyusun filsafat mengenai pemakaian senjata pemusnah massal dan penerbit ajaran atau doktrin sistematis tentang terorisme.

Keduanya percaya bahwa pembunuhan merupakan keharusan politik dan alat canggih untuk menghancurleburkan negara. Kelompok itu boleh dibilang sebagai penganut anarkisme dan berpandangan bahwa negara menjadi penghalang utama kebahagiaan umat manusia di dunia. Sekalipun tidak berlandaskan atau berdalih menegakkan ajaran agama, tindakan mereka memperoleh perlawanan karena telah melahirkan keresahan sosial dan mengganggu keamanan dunia.

Keindonesiaan

Sementara itu, Indonesia tempo dulu jangan dikira belum mengenal aksi teror pengeboman. Pada permulaan abad XX, penduduk Hindia Belanda diguncang usaha pembunuhan yang dilakukan Haji Misbach bersama komplotan dengan memakai bahan peledak. Dinas polisi rahasia (Algemeene Recherchedienst) dibikin pusing dan pemerintah Belanda ketar-ketir. Sebab, yang diincar adalah para tokoh besar. 

Surakarta yang dijuluki `tempat jantung Jawa berdetak' menjadi saksi tempat pelemparan bom molotov iring-iringan gubernur jenderal dan bangsawan Keraton Kasunanan. Sungguh di luar nalar dan tergolong tindakan nekat, Raja Paku Buwono X yang semestinya dihormati sebagai junjungan tidak luput dari sasaran kaum pemberontak. Bukan bertujuan ingin memurnikan ajaran agama, misi yang diusung Misbach dan kawan-kawan dalam organisasi Sarekat Islam yaitu memerangi rasa ketidakadilan yang menimpa wong cilik gara-gara tekanan eksploitasi pemerintah Belanda dan pajak tinggi yang diterapkan pihak kerajaan. Akan tetapi, cara yang ditempuh Misbach sulit dibenarkan lantaran turut membahayakan keselamatan masyarakat dan menimbulkan ketegangan sosial.

Demikianlah fenomena teror dan terorisme dalam lintasan sejarah global. Dari kilas balik sejarah itu, kita mafhum bahwa terorisme selalu hadir di setiap zaman. Namun, hal itu bukan berarti kita menyerah begitu saja. Sebisa mungkin aksi teror harus kita cegah bersama. Paling tidak dengan bersikap waspada terhadap segala hal yang mencurigakan di sekitar kita.

Tugas utama kita ialah membangun budaya perdamaian dunia dengan dialog kebudayaan. Keragaman budaya, keyakinan, dan ideologi seharusnya tidak menjadi bibit konflik, tetapi diolah menjadi modal untuk bekerja sama yang saling menguntungkan dan demi upaya menjaga perdamaian umat di dunia serta merajut solidaritas sosial. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar