Di Balik
Pemberian Gelar Pahlawan Nasional
Yanwar Pribadi ; Dosen Jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN
Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dan kandidat doktor Universitas Leiden
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2012
MUNGKIN banyak pembaca Media Indonesia (7/11)
tercengang ketika membaca berita tentang pemberian gelar pahlawan kepada
Proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Beberapa pertanyaan muncul dari hal tersebut.
Mengapa penganugerahan gelar bagi kedua founding fathers ini baru terjadi
setelah lebih dari enam puluh tujuh tahun proklamasi kemerdekaan RI? Apakah
ini merupakan pertanda bahwa gerakan de-soekarno-isasi mulai meredup?
Bagaimana dampak penganugerahan gelar ini bagi kepentingan nasional?
Pada masa Orde Lama, pemerintahan Soekarno
terlihat lebih tertarik dalam membangun dan menunjukkan kemandirian
Indonesia—sebagai negara yang belum lama merdeka— kepada dunia luar, selain
disibukkan gerakan separatis dan pemberontakan atas nama Islam. Selain itu,
menurut Kees van Dijk, Indonesianis senior dari Universitas Leiden, politik
dalam negeri pada masa demokrasi terpimpin diwarnai ketegangan antara TNI
Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketegangan sosial di
dalam negeri memuncak di bawah pengaruh propaganda PKI yang memprovokasi
demonstrasi massa dan kampanye-kampanye politik yang sebagian ditujukan
terhadap TNI-AD, dan sebagian ditujukan kepada kaum muslim.
Kebijakan politik luar negeri terlihat berkaca
kepada kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dalam negeri, yakni
kebijakan-kebijakan pemerintah sulit diprediksi dan bersifat radikal. Salah
satu indikasinya adalah ketika Indonesia terlihat mencari-cari konfrontasi
dengan Barat, yakni pemerintah memutuskan untuk menjalin hubungan yang erat
dengan RRC.
Hal-hal tersebut di atas yang membuat sibuk
pemerintahan Soekarno-Hatta dalam menganugerahkan gelar kepahlawanan kepada
para pahlawan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme, selain tentunya
ketidaklaziman pemberian gelar kepahlawanan kepada diri sendiri, membuat para
proklamator tersebut tidak dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Sementara itu, salah satu ciri utama yang
melegitimasi pemerintahan Soeharto dengan Orde Baru-nya adalah penghancuran
aliran ultraradikal yang mengusung ide-ide revolusioner yang diasosiasikan
dengan Soekarno dan PKI. Di bawah Orde Baru, dominasi politik negara menjadi
sangat luar biasa. Soeharto dan para pendukungnya, terutama angkatan
bersenjata, membatasi partisipasi politik dan menggalang kekuatan mereka.
Orde Baru kemudian menjadi rezim berbasis
militer dengan orientasi pembangunan yang ditandai kontrol negara terhadap
politik. Untuk membatasi ruang gerak pendukungpendukung Soekarno dan Orde
Lama, gerakan de-soekarnoisasi menjadi sangat lazim pada masa Orde Baru. Oleh
karena itu, walaupun pemerintahan orde baru mampu bertahan hingga tiga puluh
dua tahun, tidak pernah ada upaya pemerintah pada waktu itu untuk
menganugerahi gelar pahlawan nasional bagi kedua proklamator tersebut.
Ketika tiga pemerintahan di era reformasi—atau
periode pasca-Orde Baru yang terdengar lebih netral—menggantikan pemerintahan
Soeharto, tidak ada satu pun dari pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid,
atau Megawati Soekarnoputri yang menganugerahi gelar pahlawan nasional kepada
Soekarno dan Mohammad Hatta. Tampaknya ada keengganan politik yang kuat yang
membuat pemerintahan-pemerintahan sebelum pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono tidak menganugerahi gelar ini kepada proklamator RI.
Meredupnya Gerakan
Mungkin sebagian pihak menduga bahwa pemberian
gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta menandai mulai
meredupnya gerakan de-Soekarno-isasi yang begitu kuat ditiupkan oleh
pemerintah orde baru. Namun, apakah keadaannya seperti itu? Jawabannya
tidaklah sederhana. Di satu sisi, dengan adanya kecenderungan bangsa
Indonesia yang gemar melupakan masa lalu, gerakan de-Soekarno-isasi mungkin
mulai meredup karena pendukung utama gerakan tersebut, Soeharto, sudah tidak
ada.
Selain itu, pendukung-pendukung presiden kedua
RI tersebut yang masih berkecimpung di dunia politik nampaknya tidak terlalu
tertarik untuk mempertahankan ide-ide menegasikan Soekarno dan
pandangan-pandangan politiknya. Di sisi lain, tampaknya Soekarno yang sering
diasosiasikan dengan PKI lewat ajaran Nasakom-nya (Nasionalis, Agama,
Komunis) membuat sejumlah kalangan Muslim dan organisasi-organisasi Islam
tertentu tidak bisa melupakan kedekatan Soekarno dengan PKI dan ajaran
komunisme.
Oleh karena itu, bagi mereka, Soekarno masih
dirasa sebagai tokoh yang sering merugikan ormas-ormas Islam dan kaum Muslim
pada umumnya lewat kebijakan-kebijakan politiknya yang dianggap kekiri-kirian
dan dekat dengan ajaran komunisme. Akibatnya, dalam sudut pandang ini, selama
Soekarno masih dianggap dekat dengan ajaran komunisme, gerakan
de-Soekarno-isasi nampaknya belum mulai meredup.
Dampak penganugerahan gelar ini bagi
kepentingan nasional bukan tidak ada. Dalam kondisi bangsa yang cenderung
bergerak ke arah disintegrasi nasional, terkikisnya nilai-nilai budaya
kebersamaan yang dibangun di atas landasan saling menghargai dan saling
memercayai, tampaknya menjadi semakin terlihat jelas. Dalam kondisi tersebut,
pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno dan Mohammad Hatta
dirasakan seperti sebuah oase di padang pasir. Terlepas dari sepak terjang
politik kedua Bapak Bangsa tersebut di masa orde lama, terutama Soekarno yang
sering diasosiasikan dengan ajaran komunisme, keduanya adalah founding fathers yang bersama
tokoh-tokoh lainnya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keduanya berani berjuang melawan penjajahan
demi mengungkapkan kebenaran dan keadilan. Selain itu, keduanya pun adalah
tokoh-tokoh kemanusiaan yang berjuang untuk kepentingan bersama.
Orientasi kebangsaan mereka begitu besar
sehingga walaupun terlihat hampir tidak masuk akal, mereka mampu menyatukan
perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, dan terutama kepentingan banyak pihak
yang ada di awal masa kemerdekaan.
Oleh karena itu, dengan penganugerahan gelar
pahlawan nasional kepada keduanya, kita berharap bahwa pertama, distorsi
tentang peran keduanya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan dan peran
keduanya sebagai presiden dan wakil presiden pertama RI menjadi berkurang
sehingga pemahaman yang lebih lengkap tentang perjuangan keduanya dapat kita
peroleh.
Kedua, kita juga berharap bahwa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintahan-pemerintahan
berikutnya semakin menghargai pahlawan-pahlawan bangsa karena itu adalah
salah satu pertanda kebesaran bangsa. Bangsa ini masih butuh pahlawan, dan
dengan menghargai pahlawan-pahlawannya di masa lalu, bangsa ini akan menjadi
bangsa besar yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar