Siapa yang
Sejatinya Pahlawan
M Bashori Muchsin ; Direktur Program Pascasarjana Universitas
Islam Malang
|
MEDIA
INDONESIA, 10 November 2012
SETELAH Soekarno-Hatta ditetapkan sebagai
pahlawan, perdebatan kemudian mengekor, mengapa Soeharto tidak sekalian ikut ditetapkan?
Terlepas siapa lagi nanti yang akan ditetapkan sebagai pahlawan dari mantan
presiden, wakil presiden, dan elite struktural lainnya, yang jelas, jauh
lebih banyak orang miskin atau komunitas akar rumput yang berhak menjadi
pahlawan.
Orang miskin tidak perlu mendapatkan pengakuan
untuk mendapatkan gelar pahlawan. Perjuangan yang dijalaninya di negeri ini
luar biasa berat dan komplikatif sehingga tidak selalu bisa keluar dan
menahbiskan dirinya jadi pahlawan. Ada banyak orang miskin yang gagal meraihnya
akibat tereduksi oleh keteguhan dan mentalitasnya.
Ketika seorang bapak dan ibu berlomba
melemparkan anaknya dari gedung bertingkat karena mengidap stres berat akibat
memikirkan kemiskinan yang menghegemoni selama ini, tentulah pertanyaan yang
mengemuka ialah apakah benar-benar jalan keluar untuk memulihkan derajat
kemanusiaan mereka tidak ada lagi? Haruskah cara demikian yang dijadikan
opsi? Tidak bisakah dalam kemiskinan itu mereka tetap bisa menjadi sosok
pahlawan?
Memang, boleh saja perlawanan digelar orang
miskin yang sudah lama mengalami ketidakberdayaan ekonomi (economic empowerment) atau merasa
diperlakukan sebagai `anak tiri' dalam skema pembangunan bangsa ini. Akan
tetapi, tidak selayaknya apa yang diperbuat mencerminkan kegelapan nurani atau
memproduksi cara membabi buta sehingga menjerumuskan dirinya dalam perbuatan
anomali dan dehumanisasi.
Memang bisa dimungkinkan terjadi,
ketidakberdayaan suatu komunitas yang menjadi korban ketidakadilan dan
ketidakmanusiawian praktik sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya,
secara eksplosif menunjukkan kemarahan pada dirinya sendiri atau realitas
kehidupan rezim yang dianggap `zalim' dan mengalienasikannya dengan cara-cara
irasional dan ekstrem. Seharusnya bukan opsi bunuh diri massal yang ditempuhnya,
tetapi pola kepahlawanan individualnya.
Sosiolog Hurton dan Hunt juga mengisyaratkan,
“Akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari
ketidakpuasan.“ Hernando de Soto menguatkan, “Rasa tidak puas yang timbul
dapat dengan mudah mencetuskan mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang
sulit dikendalikan.“
Girand dalam Violence and Sacred juga mengemukakan keberingasan bisa terjadi
dan `meledak' karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang
meluas dalam masyarakat. Keberingasan atau kejahatan kekerasan akan begitu
saja bisa terjadi akibat frustrasi akut yang diderita seseorang dan
masyarakat.
Apologi Kepentingan
Pandangan Hurton, Hunt, dan Girand menunjukkan
bahwa kekerasan individual dan massal berpotensi terjadi terkait secara
signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil,
disparitas distribusi sumber pendapatan, serta praktik dehumanisasi atau
ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi,
politik, dan tradisi strukturalisasi negara. Ketika seseorang atau komunitas
merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, bukan tidak mungkin akan
lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas, termasuk `kriminalisasi'
pada dirinya sendiri.
Kalau orang miskin sampai menjatuhkan opsi
kriminalisasi pada diri sendiri atau sesamanya, gelar kepahlawanan tak layak
disandangnya. Seberat apa pun penyakit individual, sosial, dan struktural
yang menghegemoni, tak sepantasnya ia memilih jalan menyerah dan menihilkan
dirinya sendiri.
Pahlawan bukan hanya milik pejabat yang teguh
menegakkan amanat atau piawai menjaga amanatnya dari godaan perilaku berpola
menyalah gunakan kekuasaan (abuse of
power). Pahlawan juga bisa menjadi milik orang miskin yang teguh
menjalankan amanat kepemimpinannya dalam keluarga, yang terus gigih berjuang
memberikan makan, sandang, atau berbagai kebutuhan lainnya kepada anak,
istri, dan anggota keluarga lainnya.
Orang miskin yang berusaha terus membebaskan
kemiskinan mereka merupakan sosok atau kumpulan manusia yang tidak pasrah
dengan ujian hidup yang dialami. Mereka tidak takluk oleh kendala yang
bermaksud menjerumuskan dalam ketidakberdayaannya, atau tidak menyalahkan
`takdir' yang mungkin menggariskan mereka sebagai sekumpulan manusia yang
menempati lower class. Namun, mereka berusaha mereformasinya dengan cara
memproduksi kesempatan atau memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
Orang miskin seperti itu menerima realitas
ketidakberdayaan yang sedang menimpa mereka sebagai `eksaminasi teologis'
yang memotivasi untuk terus berusaha dan tak kenal patah semangat. Mereka
menjadikan rimba kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai objek yang
harus dikalahkan dan nantinya bisa dijadikan sumber penghidupan serta
berelasi sosial-ekonomi yang menyejahterakan, memberdayakan, dan mencerahkan.
Sayangnya, kita sering mencibir ketika ada
orang miskin sedang bersyahwat menunjukkan kegigihan dalam memperjuangkan
nasib mereka. Kita melihat apa yang mereka perbuat itu sebagai perbuatan yang
tak pantas, menjijikkan, dan kumuh. Kita menstigma mereka sebagai sekumpulan
manusia yang menciptakan kerawanan, yang berdekatan dengan keniscayaan
terjadinya kriminalitas.
Katakanlah sekumpulan orang pencari barang
bekas yang hidup keseharian dijalani di antara kotoran sampah atau tempat pembuangan
barang bekas. Mereka tidak sedikit menghabiskan waktu untuk berjuang
mempertahankan keberlanjutan hidup dan belum sampai ke tahap berusaha
menyejahterakan hidup. Namun, tidak jarang mereka diperlakukan sebagai elemen
masyarakat membahayakan dan `selalu' harus dicurigai.
Lebih ironis lagi, tidak sedikit kita temukan
kebi jakan pembangunan (pemerintah) yang tidak bersifat progresif dan
humanistis atau memihak, mendukung, dan melindungi keberlanjutan (perjuangan)
hidup orang miskin. Elite kekuasaan itu dengan mata gelap tidak menginginkan
orang miskin membuka usaha atau melebarkan jaringan aktivitas berpenghasilan.
Komunitas akar rumput tersebut disingkirkan atau digusur dengan dalih telah
menjadi penyakit atau pembuat ancaman social
order. Padahal, apa yang mereka perbuat itu `halal' untuk memenuhi hajat
keluarga.
Penyair kenamaan Muhammad Iqbal pernah
menyampaikan peng hargaan kepahlawanan pada sosok atau komunitas kaum miskin
yang tidak menyerah pada penderitaan yang dialami. Menurutnya, `Orang miskin
yang kesehariannya berusaha keras memperjuangkan anak istrinya, yang dari
perjuangannya ini hanya mendapatkan seporsi nasi, tetaplah jauh lebih mulia
statusnya di hadapan Tuhan jika dibandingkan dengan pejabat yang menghabiskan
uang rakyat, namun tidak melakukan perubahan besar bagi masyarakat dan
bangsanya'.
Apa yang ditulis Iqbal itu menunjukkan orang
miskin dengan ketidakberdayaan mereka layak berstigma pahlawan sejati. Mereka
tidak kalah dari pejuang-pejuang terdahulu yang meneteskan darah demi melawan
penjajah. Pasalnya, apa yang mereka perbuat juga demi keringat dan `peredaran
darah' anak, istri, dan keberlangsungan hidup keluarga mereka.
Pemerintah boleh saja
menstigma mereka sebagai perusuh dan pembuat kumuh kehidupan kota. Akan
tetapi, mereka tetaplah anak-anak bangsa yang bernyali melawan segala bentuk
tantangan yang menyerang. Mereka jauh lebih terhormat daripada pejabat atau
elite kekuasaan dan politisi yang sibuk mencari uang lewat kekuasaan atau
peluang `abu-abu' (undercover). Apa
yang diperbuat orang miskin mencerminkan etos juang sebagai pribadi yang
teguh pada kebenaran dan kesetiaan. Mereka mungkin seharian tidak mendapatkan
hasil (uang) dari keringat yang menetes dan telapak kaki yang pecah-pecah.
Namun, mereka sudah menunjukkan diri sebagai elemen masyarakat yang bermakna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar