Jumat, 16 November 2012

Siapa yang Sejatinya Pahlawan


Siapa yang Sejatinya Pahlawan
M Bashori Muchsin ;  Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 10 November 2012



SETELAH Soekarno-Hatta ditetapkan sebagai pahlawan, perdebatan kemudian mengekor, mengapa Soeharto tidak sekalian ikut ditetapkan? Terlepas siapa lagi nanti yang akan ditetapkan sebagai pahlawan dari mantan presiden, wakil presiden, dan elite struktural lainnya, yang jelas, jauh lebih banyak orang miskin atau komunitas akar rumput yang berhak menjadi pahlawan.

Orang miskin tidak perlu mendapatkan pengakuan untuk mendapatkan gelar pahlawan. Perjuangan yang dijalaninya di negeri ini luar biasa berat dan komplikatif sehingga tidak selalu bisa keluar dan menahbiskan dirinya jadi pahlawan. Ada banyak orang miskin yang gagal meraihnya akibat tereduksi oleh keteguhan dan mentalitasnya.

Ketika seorang bapak dan ibu berlomba melemparkan anaknya dari gedung bertingkat karena mengidap stres berat akibat memikirkan kemiskinan yang menghegemoni selama ini, tentulah pertanyaan yang mengemuka ialah apakah benar-benar jalan keluar untuk memulihkan derajat kemanusiaan mereka tidak ada lagi? Haruskah cara demikian yang dijadikan opsi? Tidak bisakah dalam kemiskinan itu mereka tetap bisa menjadi sosok pahlawan?

Memang, boleh saja perlawanan digelar orang miskin yang sudah lama mengalami ketidakberdayaan ekonomi (economic empowerment) atau merasa diperlakukan sebagai `anak tiri' dalam skema pembangunan bangsa ini. Akan tetapi, tidak selayaknya apa yang diperbuat mencerminkan kegelapan nurani atau memproduksi cara membabi buta sehingga menjerumuskan dirinya dalam perbuatan anomali dan dehumanisasi.

Memang bisa dimungkinkan terjadi, ketidakberdayaan suatu komunitas yang menjadi korban ketidakadilan dan ketidakmanusiawian praktik sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, secara eksplosif menunjukkan kemarahan pada dirinya sendiri atau realitas kehidupan rezim yang dianggap `zalim' dan mengalienasikannya dengan cara-cara irasional dan ekstrem. Seharusnya bukan opsi bunuh diri massal yang ditempuhnya, tetapi pola kepahlawanan individualnya.

Sosiolog Hurton dan Hunt juga mengisyaratkan, “Akar dari semua gerakan atau aksi massa itu sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan.“ Hernando de Soto menguatkan, “Rasa tidak puas yang timbul dapat dengan mudah mencetuskan mencetuskan kekerasan dan tindakan ilegal yang sulit dikendalikan.“

Girand dalam Violence and Sacred juga mengemukakan keberingasan bisa terjadi dan `meledak' karena perasaan tertekan yang berlangsung secara intens yang meluas dalam masyarakat. Keberingasan atau kejahatan kekerasan akan begitu saja bisa terjadi akibat frustrasi akut yang diderita seseorang dan masyarakat.

Apologi Kepentingan

Pandangan Hurton, Hunt, dan Girand menunjukkan bahwa kekerasan individual dan massal berpotensi terjadi terkait secara signifikan dengan perasaan ketidakpuasan, ketertekanan, perlakuan tidak adil, disparitas distribusi sumber pendapatan, serta praktik dehumanisasi atau ketidakberadaban yang berbingkai apologi kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan tradisi strukturalisasi negara. Ketika seseorang atau komunitas merasa hidupnya dalam tekanan ekonomi yang hebat, bukan tidak mungkin akan lahir opsi kekerasan, ekstremitas atau kriminalitas, termasuk `kriminalisasi' pada dirinya sendiri.

Kalau orang miskin sampai menjatuhkan opsi kriminalisasi pada diri sendiri atau sesamanya, gelar kepahlawanan tak layak disandangnya. Seberat apa pun penyakit individual, sosial, dan struktural yang menghegemoni, tak sepantasnya ia memilih jalan menyerah dan menihilkan dirinya sendiri.

Pahlawan bukan hanya milik pejabat yang teguh menegakkan amanat atau piawai menjaga amanatnya dari godaan perilaku berpola menyalah gunakan kekuasaan (abuse of power). Pahlawan juga bisa menjadi milik orang miskin yang teguh menjalankan amanat kepemimpinannya dalam keluarga, yang terus gigih berjuang memberikan makan, sandang, atau berbagai kebutuhan lainnya kepada anak, istri, dan anggota keluarga lainnya.

Orang miskin yang berusaha terus membebaskan kemiskinan mereka merupakan sosok atau kumpulan manusia yang tidak pasrah dengan ujian hidup yang dialami. Mereka tidak takluk oleh kendala yang bermaksud menjerumuskan dalam ketidakberdayaannya, atau tidak menyalahkan `takdir' yang mungkin menggariskan mereka sebagai sekumpulan manusia yang menempati lower class. Namun, mereka berusaha mereformasinya dengan cara memproduksi kesempatan atau memanfaatkan kesempatan yang tersedia.

Orang miskin seperti itu menerima realitas ketidakberdayaan yang sedang menimpa mereka sebagai `eksaminasi teologis' yang memotivasi untuk terus berusaha dan tak kenal patah semangat. Mereka menjadikan rimba kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai objek yang harus dikalahkan dan nantinya bisa dijadikan sumber penghidupan serta berelasi sosial-ekonomi yang menyejahterakan, memberdayakan, dan mencerahkan.

Sayangnya, kita sering mencibir ketika ada orang miskin sedang bersyahwat menunjukkan kegigihan dalam memperjuangkan nasib mereka. Kita melihat apa yang mereka perbuat itu sebagai perbuatan yang tak pantas, menjijikkan, dan kumuh. Kita menstigma mereka sebagai sekumpulan manusia yang menciptakan kerawanan, yang berdekatan dengan keniscayaan terjadinya kriminalitas.

Katakanlah sekumpulan orang pencari barang bekas yang hidup keseharian dijalani di antara kotoran sampah atau tempat pembuangan barang bekas. Mereka tidak sedikit menghabiskan waktu untuk berjuang mempertahankan keberlanjutan hidup dan belum sampai ke tahap berusaha menyejahterakan hidup. Namun, tidak jarang mereka diperlakukan sebagai elemen masyarakat membahayakan dan `selalu' harus dicurigai.

Lebih ironis lagi, tidak sedikit kita temukan kebi jakan pembangunan (pemerintah) yang tidak bersifat progresif dan humanistis atau memihak, mendukung, dan melindungi keberlanjutan (perjuangan) hidup orang miskin. Elite kekuasaan itu dengan mata gelap tidak menginginkan orang miskin membuka usaha atau melebarkan jaringan aktivitas berpenghasilan.

Komunitas akar rumput tersebut disingkirkan atau digusur dengan dalih telah menjadi penyakit atau pembuat ancaman social order. Padahal, apa yang mereka perbuat itu `halal' untuk memenuhi hajat keluarga.

Penyair kenamaan Muhammad Iqbal pernah menyampaikan peng hargaan kepahlawanan pada sosok atau komunitas kaum miskin yang tidak menyerah pada penderitaan yang dialami. Menurutnya, `Orang miskin yang kesehariannya berusaha keras memperjuangkan anak istrinya, yang dari perjuangannya ini hanya mendapatkan seporsi nasi, tetaplah jauh lebih mulia statusnya di hadapan Tuhan jika dibandingkan dengan pejabat yang menghabiskan uang rakyat, namun tidak melakukan perubahan besar bagi masyarakat dan bangsanya'.

Apa yang ditulis Iqbal itu menunjukkan orang miskin dengan ketidakberdayaan mereka layak berstigma pahlawan sejati. Mereka tidak kalah dari pejuang-pejuang terdahulu yang meneteskan darah demi melawan penjajah. Pasalnya, apa yang mereka perbuat juga demi keringat dan `peredaran darah' anak, istri, dan keberlangsungan hidup keluarga mereka.

Pemerintah boleh saja menstigma mereka sebagai perusuh dan pembuat kumuh kehidupan kota. Akan tetapi, mereka tetaplah anak-anak bangsa yang bernyali melawan segala bentuk tantangan yang menyerang. Mereka jauh lebih terhormat daripada pejabat atau elite kekuasaan dan politisi yang sibuk mencari uang lewat kekuasaan atau peluang `abu-abu' (undercover). Apa yang diperbuat orang miskin mencerminkan etos juang sebagai pribadi yang teguh pada kebenaran dan kesetiaan. Mereka mungkin seharian tidak mendapatkan hasil (uang) dari keringat yang menetes dan telapak kaki yang pecah-pecah.
Namun, mereka sudah menunjukkan diri sebagai elemen masyarakat yang bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar