Modal Sosial
untuk Jokowi
Soemarso S Rahardjo ; Pengamat Masalah Sosial dan Ekonomi,
Dosen di
Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 21 November 2012
Kemenangan Jokowi/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemilihan
Gubernur DKI Jakarta merupakan hal yang fenomenal. Bagaimana mereka, yang
notabene, merupakan pendatang, dapat menarik perhatian masyarakat Jakarta
untuk memilihnya? Mereka juga mengalahkan lomba dukungan elite partai politik,
guyuran dana kampanye, dan sebaran isu-isu negatif.
Konsep pembangunan yang mereka tawarkan jelas mengena di hati
masyarakat. Namun, calon lain juga menawarkan hal yang hampir mirip. Strategi
pembangunan yang berkeadilan sosial dan berprioritas pada masyarakat yang
kurang berkemampuan juga dikumandangkan oleh hampir semua calon.
Kelebihan Jokowi/Ahok barangkali adalah gaya dan sikap mereka
dalam berkampanye. Dengan sikap yang tidak dibuat-buat, Jokowi menyapa rakyat
sehingga mereka merasa dimanusiakan. Keluguan dan kejujuran yang mereka
tunjukkan membuat masyarakat menganggap Jokowi/Ahok sebagai bagian dari
mereka.
Gaya dan sikap kampanye ini menumbuhkan solidaritas dan
kepercayaan sosial terhadap janji-janji yang mereka tawarkan serta keyakinan,
berdasarkan rekam jejak mereka, bahwa janji-janji itu akan dilaksanakan.
Kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada tingkat harapan inilah kunci
kemenangan Jokowi/Ahok.
Kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada tingkat harapan itu
merupakan modal sosial awal bagi Jokowi/Ahok untuk (mengambil ungkapan Bung
Karno) “samen bundelling van alle
nationale krachten”, mempersatukan seluruh kekuatan nasional (untuk
Jokowi/Ahok tentu hanya sebatas regional Jakarta).
Modal sosial tidak saja dapat digunakan untuk (mengutip Bung Karno
lagi) “national dan character building”
tetapi, yang lebih penting adalah membangun kekuatan ekonomi kerakyatan.
Apakah modal sosial itu betul-betul terwujud? Tergantung!
Tergantung pada konsistensi Jokowi/Ahok dalam melaksanakan janji-janjinya
pada saat kampanye. Tergantung pada gaya dan sikap Jokowi/Ahok setelah
menjadi gubernur/wakil gubernur.
Jika Jokowi/Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih
konsisten melaksanakan janji-janji tersebut, serta mempertahankan gaya dan
sikap memimpin mereka, modal sosial untuk kemajuan dan kerekatan masyarakat
Jakarta akan betul-betul dapat ditegakkan. Jokowi pernah mengalami hal itu.
Gemuruh masyarakat Solo untuk ikut memeriahkan kemenangannya
dalam Pilgub DKI (walau oleh karena itu mereka harus ditinggalkan) dan
kemenangan 90 persen pada pemilihan wali kota periode ke dua merupakan bukti
telah terciptanya kepercayaan masyarakat atas kebijakan yang ia ambil.
Pengamatan kurang lebih sebulan setelah dilantik sebagai
gubernur/wakil gubernur menunjukkan bahwa Jokowi/Ahok telah berusaha
melaksanakan komitmen-komitmen yang dijanjikan. Tentu masih dalam tahap
konsolidasi, koordinasi, dan sosialisasi dalam rangka perencanaan
pembangunan. Jakarta juga pernah mengalami bergulirnya modal sosial ini pada
zaman kepemimpinan Ali Sadikin.
Modal sosial didefinisikan oleh Francis Fukuyama (2001) sebagai
norma-norma informal yang secara instan dapat menumbuhkan kerja sama di
antara dua atau lebih individu. Luasnya kerja sama tergantung pada lingkaran
kepercayaan.
Makin luas jangkauan lingkaran kepercayaan makin besar pengaruh
eksternalitas positifnya. Modal sosial juga dapat berpengaruh negatif secara
eksternalitas, yaitu ketika lingkaran kepercayaan itu begitu sempit dan tidak
mau bertoleransi dengan pihak-pihak di luar mereka. Rendahnya tingkat modal
sosial dapat mengakibatkan tidak berfungsinya atau tidak efisiennya
pemerintahan.
Bagaimana persediaan modal sosial dapat ditingkatkan? Pertama,
perlu diingat bahwa modal sosial biasanya merupakan hasil ikutan dari agama,
tradisi, dan pengalaman sejarah, serta faktor-faktor lain yang berada di luar
kontrol pemerintah.
Kebijakan publik yang dapat diciptakan adalah membangun
lingkaran-lingkaran kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut
menjadi suatu jaringan sosial yang toleran, saling percaya, dan saling
merapat satu sama lain. Diperlukan relawan-relawan dari masing-masing
lingkaran yang bersedia membangun jaringan sosial tersebut.
Pendidikan formal maupun informal merupakan kunci untuk
pembangunan modal sosial. Pendidikan tidak saja ditujukan untuk membangun
modal manusia, tetapi juga harus mencakupi pembentukan norma dan nilai
sosial.
Penyediaan barang-barang publik yang efisien dalam bentuk
terjaminnya hak kepemilikan, keamanan, tegaknya hukum, kesehatan, dan
infrastruktur sosial dapat secara tidak langsung meningkatkan modal sosial.
Pemerintah sedapat mungkin tidak melaksanakan kegiatan yang
kalau dijalankan oleh sektor swasta atau masyarakat akan lebih baik.
Pendekatan komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
pembangunan akan lebih meningkatkan solidaritas sosial.
Dalam era demokrasi dan di tengah langkanya kepercayaan sosial,
terpilihnya Jokowi/Ahok dapat menjadi model baru dalam pencalonan pemimpin
daerah atau bahkan nasional. Asas integritas, kapabilitas, dan elektabilitas
adalah kunci dalam seleksi calon.
Integritas dan kapabilitas perlu didukung dengan rekam jejak
yang memadai, terutama untuk daerah tempat pemilihan diselenggarakan. Dengan
cara ini, calon dapat menciptakan modal sosial pada tingkat harapan.
Pemilihan tidak hanya didasarkan atas kegiatan transaksional sesaat di mana
hubungan antara pemilih dan yang dipilih hilang setelah pemilihan usai.
Rakyat memilih tidak karena harus memilih, tanpa tahu apa yang
telah dilakukan calon terhadap daerah serta penduduknya. Tetapi, lebih dari
semua itu, yang terpenting adalah mewujudkan modal sosial pada tingkat
harapan menjadi modal sosial yang terealisasi setelah terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar