Kamis, 22 November 2012

Modal Sosial untuk Jokowi


Modal Sosial untuk Jokowi
Soemarso S Rahardjo ;  Pengamat Masalah Sosial dan Ekonomi,
Dosen di Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 21 November 2012


Kemenangan Jokowi/Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupakan hal yang fenomenal. Bagaimana mereka, yang notabene, merupakan pendatang, dapat menarik perhatian masyarakat Jakarta untuk memilihnya? Mereka juga mengalahkan lomba dukungan elite partai politik, guyuran dana kampanye, dan sebaran isu-isu negatif.

Konsep pembangunan yang mereka tawarkan jelas mengena di hati masyarakat. Namun, calon lain juga menawarkan hal yang hampir mirip. Strategi pembangunan yang berkeadilan sosial dan berprioritas pada masyarakat yang kurang berkemampuan juga dikumandangkan oleh hampir semua calon.

Kelebihan Jokowi/Ahok barangkali adalah gaya dan sikap mereka dalam berkampanye. Dengan sikap yang tidak dibuat-buat, Jokowi menyapa rakyat sehingga mereka merasa dimanusiakan. Keluguan dan kejujuran yang mereka tunjukkan membuat masyarakat menganggap Jokowi/Ahok sebagai bagian dari mereka.

Gaya dan sikap kampanye ini menumbuhkan solidaritas dan kepercayaan sosial terhadap janji-janji yang mereka tawarkan serta keyakinan, berdasarkan rekam jejak mereka, bahwa janji-janji itu akan dilaksanakan. Kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada tingkat harapan inilah kunci kemenangan Jokowi/Ahok.

Kepercayaan dan keyakinan masyarakat pada tingkat harapan itu merupakan modal sosial awal bagi Jokowi/Ahok untuk (mengambil ungkapan Bung Karno) “samen bundelling van alle nationale krachten”, mempersatukan seluruh kekuatan nasional (untuk Jokowi/Ahok tentu hanya sebatas regional Jakarta).

Modal sosial tidak saja dapat digunakan untuk (mengutip Bung Karno lagi) “national dan character building” tetapi, yang lebih penting adalah membangun kekuatan ekonomi kerakyatan.

Apakah modal sosial itu betul-betul terwujud? Tergantung! Tergantung pada konsistensi Jokowi/Ahok dalam melaksanakan janji-janjinya pada saat kampanye. Tergantung pada gaya dan sikap Jokowi/Ahok setelah menjadi gubernur/wakil gubernur.

Jika Jokowi/Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih konsisten melaksanakan janji-janji tersebut, serta mempertahankan gaya dan sikap memimpin mereka, modal sosial untuk kemajuan dan kerekatan masyarakat Jakarta akan betul-betul dapat ditegakkan. Jokowi pernah mengalami hal itu.

Gemuruh masyarakat Solo untuk ikut memeriahkan kemenangannya dalam Pilgub DKI (walau oleh karena itu mereka harus ditinggalkan) dan kemenangan 90 persen pada pemilihan wali kota periode ke dua merupakan bukti telah terciptanya kepercayaan masyarakat atas kebijakan yang ia ambil.

Pengamatan kurang lebih sebulan setelah dilantik sebagai gubernur/wakil gubernur menunjukkan bahwa Jokowi/Ahok telah berusaha melaksanakan komitmen-komitmen yang dijanjikan. Tentu masih dalam tahap konsolidasi, koordinasi, dan sosialisasi dalam rangka perencanaan pembangunan. Jakarta juga pernah mengalami bergulirnya modal sosial ini pada zaman kepemimpinan Ali Sadikin.

Modal sosial didefinisikan oleh Francis Fukuyama (2001) sebagai norma-norma informal yang secara instan dapat menumbuhkan kerja sama di antara dua atau lebih individu. Luasnya kerja sama tergantung pada lingkaran kepercayaan.

Makin luas jangkauan lingkaran kepercayaan makin besar pengaruh eksternalitas positifnya. Modal sosial juga dapat berpengaruh negatif secara eksternalitas, yaitu ketika lingkaran kepercayaan itu begitu sempit dan tidak mau bertoleransi dengan pihak-pihak di luar mereka. Rendahnya tingkat modal sosial dapat mengakibatkan tidak berfungsinya atau tidak efisiennya pemerintahan.

Bagaimana persediaan modal sosial dapat ditingkatkan? Pertama, perlu diingat bahwa modal sosial biasanya merupakan hasil ikutan dari agama, tradisi, dan pengalaman sejarah, serta faktor-faktor lain yang berada di luar kontrol pemerintah.

Kebijakan publik yang dapat diciptakan adalah membangun lingkaran-lingkaran kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut menjadi suatu jaringan sosial yang toleran, saling percaya, dan saling merapat satu sama lain. Diperlukan relawan-relawan dari masing-masing lingkaran yang bersedia membangun jaringan sosial tersebut.

Pendidikan formal maupun informal merupakan kunci untuk pembangunan modal sosial. Pendidikan tidak saja ditujukan untuk membangun modal manusia, tetapi juga harus mencakupi pembentukan norma dan nilai sosial.

Penyediaan barang-barang publik yang efisien dalam bentuk terjaminnya hak kepemilikan, keamanan, tegaknya hukum, kesehatan, dan infrastruktur sosial dapat secara tidak langsung meningkatkan modal sosial.

Pemerintah sedapat mungkin tidak melaksanakan kegiatan yang kalau dijalankan oleh sektor swasta atau masyarakat akan lebih baik. Pendekatan komunitas dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan akan lebih meningkatkan solidaritas sosial.

Dalam era demokrasi dan di tengah langkanya kepercayaan sosial, terpilihnya Jokowi/Ahok dapat menjadi model baru dalam pencalonan pemimpin daerah atau bahkan nasional. Asas integritas, kapabilitas, dan elektabilitas adalah kunci dalam seleksi calon.

Integritas dan kapabilitas perlu didukung dengan rekam jejak yang memadai, terutama untuk daerah tempat pemilihan diselenggarakan. Dengan cara ini, calon dapat menciptakan modal sosial pada tingkat harapan. Pemilihan tidak hanya didasarkan atas kegiatan transaksional sesaat di mana hubungan antara pemilih dan yang dipilih hilang setelah pemilihan usai.

Rakyat memilih tidak karena harus memilih, tanpa tahu apa yang telah dilakukan calon terhadap daerah serta penduduknya. Tetapi, lebih dari semua itu, yang terpenting adalah mewujudkan modal sosial pada tingkat harapan menjadi modal sosial yang terealisasi setelah terpilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar