Studi Banding
dan Citra DPR
Suyatno ; Alumnus Pascasarjana
Ilmu Politik UGM;
Dosen FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 22 November 2012
BIAR anjing menggonggong kafilah
tetap ber lalu. Begitulah prinsip yang dianut sejumlah anggota dewan kita.
Meski pernah mendapat kritik dan sorotan masyarakat, 25 anggota Badan
Legislasi (Baleg) DPR RI akhirnya tetap berangkat ke Jerman dan Inggris untuk
studi banding Rancangan Undang-Undang (RUU) Keinsinyuran.
Kenekatan itu akan meruntuhkan
citra DPR. Selain mereka mendapat banyak sorotan dan kritik, kondisi bangsa
saat ini tidak memungkinkan untuk memperlihatkan kegiatan yang tidak
bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Skandal demi skandal tak hentihentinya menimpa DPR. Mulai percaloan hingga pelesiran. Namun, anggota dewan tidak pernah mau belajar sehingga semakin merusak citra DPR.
Para anggota Baleg seharusnya bisa
menahan diri mengingat tidak sedikit dana yang akan dihabiskan. Anggaran yang
disedot dalam studi banding ke Jerman dan Inggris kali ini sebesar Rp2,3
miliar. Satu jumlah yang cukup fantastis. Dana itu akan ditanggung APBN.
Meski para anggota itu berjanji mempertanggungjawabkan hasil studi banding,
akan melaporkan kepada pimpinan dan publik, serta ingin membuktikan studi
banding ini tidak main-main, dalam situasi yang kurang tepat tindakan ini
justru bisa melukai hati rakyat yang tengah terimpit kesulitan.
Urgensi
Memang, demi kemajuan dituntut
dilakukannya terobosan-terobosan. Namun, studi banding kali ini bukanlah hal
yang mendesak dilakukan. Apalagi bila dihadapkan dengan kondisi masyarakat
yang masih banyak membutuhkan bantuan. Selama ini pembuatan undang-undang
sudah berjalan. Produk perundangan juga sudah banyak tercipta. Hasilnya
menunjukkan kita juga memiliki sejumlah insan yang mumpuni di bidang masing-masing.
Boleh jadi kita ingin menimba
pengalaman lain. Namun, kondisi kedua negara belum tentu mirip dengan negara
kita. Perkembangan keduanya terkait dengan perundang-undangan dan kemajuan
terkait erat dengan dinamika kita. Fakta itu tentu berpengaruh bagi
dipilihnya tempat tujuan. Kegiatan ini dilakukan pastinya untuk meraih
pengetahuan yang jauh lebih baik masih perlu banyak pertimbangan.
Undang-undang disusun terkait dengan
permasalahan dan kondisi yang ada. Pihak yang lebih banyak mengetahui ialah
mereka sendiri. Bukan orang lain. Karena itu, bekal yang lebih dibutuhkan
ialah memahami kondisi objektif dari masyarakat. Akan dihasilkan sejumlah
kebijakan demi kebaikan bersama. Peraturan itu cocok diterapkan di satu
masyarakat, tapi belum tentu untuk tempat lain. Di sini pentingnya memilih
kondisi yang pas untuk bisa dijadikan contoh.
Situasi dan psikologi masyarakat
Indonesia masih membutuhkan bantuan lebih banyak dan realisasi kinerja para
wakilnya tersebut. DPR harus bisa mencerminkan situasi rakyat. Memaksakan
diri untuk menggunakan dana yang kurang urgensinya bukanlah tindakan yang
bijak. Itu bisa melukai hati rakyat.
Peran
Lembaga DPR
Bila dilihat dari kelahirannya, lembaga
legislatif kita memang bersifat elitis dan bukan hasil pilihan dari rakyat.
Sebagaimana kita tahu bahwa atas desakan Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia (BP KNI), pemerintah melalui Wakil Presiden waktu itu menerbitkan
Maklumat Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang memberi kekuasaan legislatif
kepada komite itu. Karena itu, Komite Nasional Indonesia yang semula pembantu
presiden berubah kedudukan menjadi badan perwakilan rakyat. Dengan demikian,
sangat kelihatan bahwa lembaga itu terbentuk lebih karena manuver politik
yang dilancarkan Ketua BP KNI pada saat itu agar kekuasaan beralih dari
presiden ke lembaga itu.
Jadi, tidak mengherankan kalau sampai saat ini hubungan mereka dengan rakyat tidak begitu erat.
Dulu muncul persoalan pada lembaga
legislatif itu melalui tata tertibnya seolah-olah membelenggu para anggota. Semisal
rumitnya prosedur untuk dilakukannya usul inisiatif. Namun, kini justru tata
tertib itu terasa belum bisa mengakomodasi secara optimal berbagai persoalan
yang ada dalam mengantisipasi dinamika organisasi tersebut. Faktor sikap
mental sangat erat hubungannya dengan tata tertib di atas. Mangkirnya banyak
anggota dewan dari sidang-sidang yang diselenggarakan merupakan bukti dari
lemahnya tata tertib yang ada.
Kasus itu seharusnya tidak perlu
terjadi kalau secara moral para legislator itu memiliki tanggung jawab yang
baik. Meskipun itu tidak tertera secara yuridis formal dalam tata tertib,
secara etis mereka sudah harus memahami hak dan kewajiban yang melekat kepada
mereka begitu diangkat menjadi wakil rakyat.
Sebagaimana ide perwakilan politik
yang muncul semenjak zaman Yunani Kuno sebagai dewan kota itu beranjak dari
kepentingan rakyat. Tujuannya waktu itu ialah memengaruhi pembuatan keputusan
pemerintah yang menyangkut kepentingan umum. Kewenangan para wakil rakyat
terbatas hanya pada usaha agar kepentingan rakyat menjadi pertimbangan utama
dalam mengambil keputusan pemerintah. Namun, dalam perkembangannya wakil
rakyat tidak sekadar memengaruhi, tetapi dapat mengontrol pemerintah dan sampai
batas tertentu mendikte hal-hal yang harus dilakukan pemerintah.
Bangun Citra
Paling tidak ada tiga hal
yang berkaitan dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan citra DPR. Pertama,
tipe hubungan antara wakil dan yang diwakilinya hendaknya memakai tipe wakil
sebagai utusan. Dalam tipe ini wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang
diwakili, dalam hal ini rakyat, dan bukan sekadar partai. Dari rakyatlah
mandat diperoleh maka padanya hubungan
psikologis harus dibangun.
Tipe partisan yang selama ini dianut membuat wakil hanya terikat kepada
partai atau organisasi yang mencalonkannya. Hubungan dengan pemilih seolah
lepas setelah proses pemilu usai.
Kedua, partai harus
memperhatikan betul proses rekrutmen kader mereka untuk
dicalonkan sebagai anggota
legislatif. Bila tipe hubungan wakil itu yang dipakai, hanya akan dapat
diwujudkan dengan baik oleh wakil yang benar-benar mengakar dan dikenal konstituennya. Partai mesti
benar-benar menyiapkan calon mereka atau akan kehilangan popularitas.
Ketiga, sehubungan dengan kedua
hal tersebut, sistem pemilu yang dapat mendukung ialah sistem distrik. Dalam
sistem ini peran dan reputasi seorang individu sebagai calon lebih dominan
jika dibandingkan dengan pencalonan oleh partai dengan nomor urut (stelsel
daftar) seperti dalam perwakilan berimbang. Calon mempresentasikan dirinya
sebagai individu. Hubungan antara pemilih dan wakilnya menjadi sangat erat
sebab yang dipilih ialah orang yang benar-benar dikenal. Karena itu,
partai-partai politik tidak berani mencalonkan orang yang tidak populer dalam
distrik (daerah) yang bersangkutan. Suara pemilih bisa lebih efektif
mengontrol terpilih atau tidaknya seorang calon menjadi anggota DPR.
Yang patut diusahakan
ialah berjalannya fungsi lembaga perwakilan itu dengan baik. Hal itu salah
satunya bisa diukur dari sejauh mana mereka yang duduk di kursi-kursi sidang
itu memperjuangkan aspirasi dan realitas masyarakat. Bagaimana mereka
memperjuangkan agar kepentingan konstituen didengar sistem politik untuk
kemudian diramu dalam sebuah produk kebijakan yang berpihak kepada
kepentingan umum tadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar