Nasionalisme
dari Meja Makan
Toto Subandriyo ; Kepala Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kabupaten Tegal
|
SUARA
MERDEKA, 22 November 2012
"Kebijakan
perdagangan Indonesia, terutama pangan, menunjukkan kita telah menjadi negara
sangat liberal."
PRESIDEN Komisi Uni Eropa Jose Manuel Barroso menegaskan bahwa Eropa meminta negara-negara Asia mendorong liberalisasi, khususnya dalam perdagangan dan investasi. Mereka meminta Asia mengurangi hambatan tarif dan nontarif agar pertumbuhan ekonomi dua kawasan tersebut bisa maksimal. Penegasan itu disampaikan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-9 Asia-Eropa di Vientiane Laos, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum lama ini.
Barroso memang mewakili suara
negara-negara anggota Komisi Uni Eropa yang mayoritas negara maju yang
menjadikan liberalisme sebagai napas kegiatan ekonomi. Indonesia meski masih
tergagap-gagap menghadapi era perdagangan global, dalam hal kebijakan perdagangan,
khususnya pangan, telah menjadi negara yang sangat liberal.
Bahkan, terkait kebijakan
pangan, selama ini banyak suara minor dialamatkan kepada pemerintah kita.
Banyak kalangan menuding kita menempuh kebijakan pangan yang sangat liberal.
Lebih liberal dibanding Amerika Serikat, negara nenek moyang liberalisme.
Impor pangan mengalir deras sepanjang tahun menguras devisa negara.
Jujur kita akui, selama ini
banyak ironi melekat pada negara kita. Negara dengan sumber daya alam
melimpah namun mencatatkan defisit neraca perdagangan komoditas pangan yang
fantastis. Komoditas pangan yang diimpor juga beragam, dari garam, bawang
merah, kedelai, gula, beras, daging, hingga singkong.
Bappenas melaporkan defisit
neraca perdagangan komoditas pangan Indonesia pada 2006 sebesar 28,03 juta
dolar AS. Angka tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dolar pada 2011,
atau naik 200 kali lipat hanya dalam waktu lima tahun.
Padahal negara kita memiliki
pesisir sepanjang 95.181 km dan luas perairan 5,7 juta km2. Luas lahan
pertanian lebih dari 17 juta ha dengan jumlah rumah tangga petani (RTP)
lebih dari 25,4 juta. Faktanya, tiap tahun negeri ini mengimpor 1,58 juta ton
garam dan 4,73 juta ton singkong.
Menurut catatan BPS, pada
semester pertama 2011, impor pangan negara kita mencapai 6,35 miliar dollar
AS atau lebih dari Rp 57 triliun. Devisa sebesar itu setara dengan APBD
sebuah kabupaten/kota di Indonesia selama lebih dari 57 tahun. Saat ini
rata-rata APBD kabupaten/kota sekitar Rp 1 triliun.
Kenyataan ini membuka mata kita
bahwa betapa pekerjaan rumah di sektor ketahanan pangan negeri ini masih jauh
dari selesai. Berbagai tantangan hanya dapat dijawab dengan memperkokoh
kedaulatan dan ketahanan pangan yang bertumpu pada produksi dalam negeri.
Premis ini sejalan dengan penegasan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB bahwa
negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia, tidak akan
pernah membuat sejahtera rakyat selama pemenuhan kebutuhan pangan selalu
diimpor.
Ada beberapa langkah yang dapat
ditempuh pemerintah Indonesia untuk memperkuat sektor pangan dan pertanian
menghadapi era globalisasi sekarang ini. Pertama; penguatan mata rantai
produksi, dari hulu, on farm, hingga hilir. Untuk itu perlu jaminan
ketercukupan sarana produksi seperti pupuk, benih unggul, alsintan, serta
dukungan sarana infrastruktur yang memadai seperti jaringan irigasi, jalan,
pelabuhan, dan sebagainya.
Dukungan penguatan produksi
memerlukan akses terhadap permodalan. Karena itu, pemerintah harus
menyediakan beberapa skim kredit berbunga ringan bagi petani. Berbagai
riset teknologi produksi untuk menghasilkan sistem produksi yang lebih
efisien perlu diupayakan oleh lembaga-lembaga riset swasta dan pemerintah.
Selain itu, pemerintah perlu menjamin insentif harga jual yang memadai terhadap
produk yang dihasilkan agar produsen lebih bergairah.
Kedua; penguatan sistem
karantina dan kepabeanan. Upaya ini ditempuh melalui mekanisme special product (SP) dan special
safeguard mechanism (SSM) yang diikuti upaya peningkatan kualitas
produk pangan dalam negeri. Selain itu, perlu lebih memperketat penerapan sanitary and phytosanitary, Codex Alimentarius, dan label halal
bagi produk pangan.
Implementasi dari semua ini
bertumpu pada kriteria ketahanan pangan, pengentasan masyarakat dari
kemiskinan, dan pembangunan pedesaan, yang merupakan isu-isu paling krusial
di negara-negara berkembang.
Ketiga; penguatan nasionalisme.
Rasa nasionalisme harus kembali digelorakan. Perlu disadari dan dipahami oleh
seluruh komponen bangsa, tanpa upaya memadai, globalisasi perdagangan sangat
potensial meruntuhkan bangunan berbangsa dan bernegara. Tragedi itu dapat
kita cegah dengan memperkuat nasionalisme dalam berbagai sendi kehidupan.
Dalam hal pangan, meja makan menjadi contoh paling kecil untuk menggelorakan
rasa nasionalisme itu, yaitu dalam bentuk lebih mencintai produk pangan
bangsa sendiri.
Dalam globalisasi seperti saat
ini keberpihakan terhadap petani menjadi sebuah keharusan etis bagi negara.
Anthony Giddens telah mengingatkan bahwa globalisasi perdagangan tidak membentuk
perkampungan global (global village)
tetapi lebih mirip penjarahan global (global
pillage). Contohnya, pestisida berbahaya dan benih transgenik yang di
negara asal perusahaan multinasional (MNC) telah dilarang namun di
negara-negara berkembang seperti Indonesia justru sedang gencar
diintroduksikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar