Kamis, 08 November 2012

Siklus Korupsi Elektoral


Siklus Korupsi Elektoral
Max Regus ;  Peneliti doktoral The International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda
MEDIA INDONESIA, 06 November 2012



DAHLAN Vs DPR, begitu judul editorial Media Indonesia (27/10) yang lalu.
Itu menjadi bagian dari beberapa fase pertarungan Dahlan Iskan versus DPR dalam kurun waktu terakhir ini. Sebelumnya, ada rasa ketersinggungan anggota DPR atas sikap Dahlan dalam beberapa soal. Dahlan tidak memenuhi undangan DPR. Begitulah selanjutnya, hingga peristiwa Dahlan memperhatikan curhat para koleganya di BUMN: mereka telah menjadi sasaran palak anggota DPR. BUMN menyediakan upeti untuk sejumlah anggota DPR.

Seperti banyak diduga selanjutnya, diskusi dan pertarungan berakhir pada soal cara menyampaikan persoalan, bukan pada substansi masalah yang disampaikan di sana. Para petinggi negara yang menghuni Gedung DPR menyesalkan cara Dahlan dengan mengungkapkan kebiasaan oknum-oknum DPR yang berlaku sebagai tukang palak di BUMN. Kurang lebih, menurut mereka, itu bisa dikatakan sebagai cara yang tidak patut.

Kita ingat kalau dulu di zaman Orde Baru, DPR sering kali disebut dengan istilah tukang stempel, hanya mengekor di belakang pemerintah, sekarang ada sebutan baru tukang palak, merujuk ke kicauan Dahlan! Lumrah jika sebagian dari mereka merasa tersinggung. Namun, perta nyaan sederhananya, apakah perasaan bersalah karena melukai rasa keadilan publik sama besarnya atau lebih besar volumenya ketimbang rasa tersinggung itu? Jangan sampai para anggota dewan terhormat itu hanya memiliki rasa tersinggung, sementara mereka sama sekali tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun di hadapan kegelisahan hati Dahlan. Tentu, hanya pe nguasa yang memiliki kualifikasi kepekaan sosial mumpuni yang bisa menjawab gugatan seperti itu dengan tuntas.

Begitulah selanjutnya, sebagaimana biasanya, substansi dugaan ketidakpatutan yang dilakukan penyelenggara negara menguap begitu saja. Memang, selama ini, banyak yang diduga melakukan korupsi. Sebagiannya sempat diadili. Ada yang bebas. Ada yang masuk bui. Lebih banyak yang tetap menghirup udara bebas meskipun santer dibicarakan mereka tersangkut kasus korupsi mahabesar. Semuanya memiliki kekuasaan, entah politik entah bisnis, meskipun dua ladang itu sulit dipisahkan lagi. Mungkin, begitu sekilas cerita kejahatan korupsi sekaligus masa kelabu demokrasi di Indonesia.

Kulturasi

Apakah ada cerita lain, di negara-negara lain, mirip Indonesia? Tidak perlu menengok ke negeri seberang. Ini kisah negeri kita. Yang semestinya menjadi halaman terakhir dari kisah panjang kerusakan kekuasaan dan politik. Namun, bagaimana kita bisa mengakhiri mimpi buruk ini ketika demokrasi seolah melahirkan kembali kelaliman dalam diri orango orang yang mengambil untung d dari proses-proses politik yang tidak matang? Pada titik ini, tidak terbantahkan, demo krasi memang harus diselamatkan.

Ivan Kolstad dan Arne Wiig, dua peneliti Chr Michielsen Institute (2011) menulis sebuah analisis yang, dalam konteks Indonesia di kekinian, mungkin terdengar menggelikan. Di bawah judul Does Democracy Reduce Corruption?, keduanya memperlihatkan beberapa hal mengejutkan. Ada titik ideal yang harus dicapai. Ini ada dalam hipotesis mereka bahwa pola-pola kehidupan politik demokratis, sekaligus akan menghasilkan pemerintahan yang bersih. Bahasa sederhananya, negara bebas (dari) korupsi.

Namun, keduanya menemukan kenyataan yang agak aneh. Pertama, ada negara yang kurang demokratis, tetapi memiliki kualitas `bersih lingkungan' politik pemerintahan mengagumkan. Singapura diangkat sebagai satu contoh penting. Negara yang berada sepeminum teh dari Indonesia. Kedua, beberapa negara mengklaim demokratis justru terancam bahaya korupsi masif. Entahkah Indonesia salah satunya. Kalau bebas korupsi dijadikan sebagai variabel penting kualitas demokrasi, apakah kategori pertama masih disebut kurang demokratis, dan kategori kedua tetap disebut lebih demokratis?

Kolstad dan Wiig membangun konklusi penting bahwa demokrasi bisa mendobrak jaringan ke jahatan korupsi. Namun, demokrasi dalam garis pemikiran itu tidak sebatas proses yang menonjolkan segenap aktor politik sarat kepentingan sesat-sempit. Demokrasi niscaya merupakan proses mental, budaya, dan cara pandang terhadap publik dan kekuasaan. Demokrasi harus menjadi proses berkebudayaan. 

Menyentuh kesadaran. Kegagalan membangun demokrasi dalam ruang kesadaran dan alur kulturasi akan menyuburkan korupsi. Demokrasi yang berhasil menjadi bagian dari tindakan berkebudayaan akan berpeluang menelikung siasat destruktif jaringan korupsi.

Tiga arah

Kolstad dan Wiig menyimpulkan demokrasi yang berpeluang melumpuhkan korupsi mengandaikan tiga arah tanggung jawab pemerintah. Pertama, vertical accountability. Lembaga politik dan kekuasaan yang merupakan hasil akhir proses demokrasi harus menunjukkan tanggung jawab langsung kepada rakyat. Pemerintah harus bekerja untuk kepentingan rakyat. Begitu ungkapan populisnya. Pemerintah menjunjung rakyat, sebagai atasan langsung.

Kedua, horizontal accountability. Semua lembaga kekuasaan harus bergerak pada jalur check­balances konstruktif. Pada arena ini, semestinya kejahatan korupsi harus dilumpuhkan pada kesempatan pertama. Mereka sama-sama saling mengingatkan tentang setiap detail kekeliruan dan penyimpangan kekuasaan. Bukan malah memperkuat corruption-balances antarlembaga politik kekuasaan. Ketiga, societal accountability. Pemerintah mesti memastikan ruang merdeka untuk semua elemen masyarakat sipil terutama berhubungan dengan kemerdekaan pers, diskusi publik, arena seni dan kebudayaan.

Saat tiga arah akuntabilitas itu menggerakkan energi demokrasi untuk kesejahteraan rakyat, lantas dari mana kejahatan korupsi itu muncul? Ada suasana sosial dan politik-meminjam pandangan A Schedler (2002)--di luar demokrasi dan korupsi--bisa menje laskan perilaku korup para penguasa. Gaya hidup elitis, ideologi politik yang tidak jelas, dan sikap permisif terhadap kelalaian kekuasaan akan membentuk mentalitas politik yang mengancam demokrasi. Itu yang memunculkan sikap sinis publik pada demokrasi. Suasana semacam itu hanya akan menguntungkan pemain politik yang sudah terbiasa menelikung akuntabilitas mereka. Mereka yang memanfaatkan keterpilihan politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan parsial kelompok politik. Sarah Birch, pengajar Universitas Essex UK (2001), menyebut fenomena ini dengan korupsi elektoral (electoral corruption).

Deformula

Beberapa waktu belakangan ini, secara kasatmata, sebenarnya terlihat bagaimana demokrasi elektoral berbanding lurus dengan kejahatan korupsi yang muncul di Indonesia. Pemenang politik pada akhirnya memang segera berada di sekitar sumber finansial pembangunan tanpa batas. Bahkan memiliki wewenang tidak terbatas untuk mengatur sirkulasi budget pembangunan. Mereka yang tersangkut cerita korupsi memiliki jaringan politik yang luas, besar dan kuat. Korupsi muncul dari orang-orang dan segenap kekuatan politik yang memiliki keterhubungan kekuasaan ke dalam demokrasi elektoral.

Runtuhnya tiga arah akuntabilitas segenap lembaga politik dan pemerintahan pada masa kini seolah mempermudah aksi-aksi keji korupsi runtutan yang tidak terhentikan lagi. Kerusakannya langsung terlihat dengan jelas. Juga pada tiga aspek paling penting. Pertama, rakyat yang senantiasa dibuaikan dengan kisah-kisah makro pembangunan. Kedua, lembaga-lembaga kekuasaan yang terbebani korupsi. Ketiga, ruang publik yang terancam kekerasan masif. Kini, ada pembusukan dan perusakan formula-formula politik demokratis. Semua ini sedang mengalir dengan deras karena Indonesia sedang mengalami semacam siklus korupsi elektoral. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar