Siklus Korupsi
Elektoral
Max Regus ; Peneliti
doktoral The International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 06 November 2012
DAHLAN Vs DPR, begitu judul editorial Media Indonesia
(27/10) yang lalu.
Itu menjadi bagian dari beberapa fase pertarungan Dahlan Iskan versus DPR dalam kurun waktu terakhir ini. Sebelumnya, ada rasa ketersinggungan anggota DPR atas sikap Dahlan dalam beberapa soal. Dahlan tidak memenuhi undangan DPR. Begitulah selanjutnya, hingga peristiwa Dahlan memperhatikan curhat para koleganya di BUMN: mereka telah menjadi sasaran palak anggota DPR. BUMN menyediakan upeti untuk sejumlah anggota DPR.
Seperti banyak diduga selanjutnya, diskusi dan pertarungan
berakhir pada soal cara menyampaikan persoalan, bukan pada substansi masalah
yang disampaikan di sana. Para petinggi negara yang menghuni Gedung DPR
menyesalkan cara Dahlan dengan mengungkapkan kebiasaan oknum-oknum DPR yang
berlaku sebagai tukang palak di BUMN. Kurang lebih, menurut mereka, itu bisa
dikatakan sebagai cara yang tidak patut.
Kita ingat kalau dulu di zaman Orde Baru, DPR sering kali
disebut dengan istilah tukang stempel, hanya mengekor di belakang pemerintah,
sekarang ada sebutan baru tukang palak, merujuk ke kicauan Dahlan! Lumrah
jika sebagian dari mereka merasa tersinggung. Namun, perta nyaan
sederhananya, apakah perasaan bersalah karena melukai rasa keadilan publik
sama besarnya atau lebih besar volumenya ketimbang rasa tersinggung itu?
Jangan sampai para anggota dewan terhormat itu hanya memiliki rasa
tersinggung, sementara mereka sama sekali tidak memiliki rasa bersalah
sedikit pun di hadapan kegelisahan hati Dahlan. Tentu, hanya pe nguasa yang
memiliki kualifikasi kepekaan sosial mumpuni yang bisa menjawab gugatan
seperti itu dengan tuntas.
Begitulah selanjutnya, sebagaimana biasanya, substansi
dugaan ketidakpatutan yang dilakukan penyelenggara negara menguap begitu
saja. Memang, selama ini, banyak yang diduga melakukan korupsi. Sebagiannya
sempat diadili. Ada yang bebas. Ada yang masuk bui. Lebih banyak yang tetap
menghirup udara bebas meskipun santer dibicarakan mereka tersangkut kasus
korupsi mahabesar. Semuanya memiliki kekuasaan, entah politik entah bisnis,
meskipun dua ladang itu sulit dipisahkan lagi. Mungkin, begitu sekilas cerita
kejahatan korupsi sekaligus masa kelabu demokrasi di Indonesia.
Kulturasi
Apakah ada cerita lain, di
negara-negara lain, mirip Indonesia? Tidak perlu menengok ke negeri seberang.
Ini kisah negeri kita. Yang semestinya menjadi halaman terakhir dari kisah
panjang kerusakan kekuasaan dan politik. Namun, bagaimana kita bisa
mengakhiri mimpi buruk
ini ketika demokrasi seolah melahirkan kembali kelaliman dalam diri orango
orang yang mengambil untung d dari proses-proses politik yang tidak matang?
Pada titik ini, tidak terbantahkan, demo krasi memang harus diselamatkan.
Ivan Kolstad dan Arne Wiig, dua peneliti Chr Michielsen Institute (2011)
menulis sebuah analisis yang, dalam konteks Indonesia di kekinian, mungkin
terdengar menggelikan. Di bawah judul Does
Democracy Reduce Corruption?, keduanya memperlihatkan beberapa hal
mengejutkan. Ada titik ideal yang harus dicapai. Ini ada dalam hipotesis
mereka bahwa pola-pola kehidupan politik demokratis, sekaligus akan
menghasilkan pemerintahan yang bersih. Bahasa sederhananya, negara bebas
(dari) korupsi.
Namun, keduanya menemukan kenyataan yang agak aneh.
Pertama, ada negara yang kurang demokratis, tetapi memiliki kualitas `bersih
lingkungan' politik pemerintahan mengagumkan. Singapura diangkat sebagai satu
contoh penting. Negara yang berada sepeminum teh dari Indonesia. Kedua,
beberapa negara mengklaim demokratis justru terancam bahaya korupsi masif.
Entahkah Indonesia salah satunya. Kalau bebas korupsi dijadikan sebagai
variabel penting kualitas demokrasi, apakah kategori pertama masih disebut
kurang demokratis, dan kategori kedua tetap disebut lebih demokratis?
Kolstad dan Wiig membangun konklusi penting bahwa
demokrasi bisa mendobrak jaringan ke jahatan korupsi. Namun, demokrasi dalam
garis pemikiran itu tidak sebatas proses yang menonjolkan segenap aktor
politik sarat kepentingan sesat-sempit. Demokrasi niscaya merupakan proses
mental, budaya, dan cara pandang terhadap publik dan kekuasaan. Demokrasi
harus menjadi proses berkebudayaan.
Menyentuh kesadaran. Kegagalan membangun
demokrasi dalam ruang kesadaran dan alur kulturasi akan menyuburkan korupsi.
Demokrasi yang berhasil menjadi bagian dari tindakan berkebudayaan akan
berpeluang menelikung siasat destruktif jaringan korupsi.
Tiga arah
Kolstad dan Wiig menyimpulkan demokrasi yang berpeluang
melumpuhkan korupsi mengandaikan tiga arah tanggung jawab pemerintah.
Pertama, vertical accountability. Lembaga
politik dan kekuasaan yang merupakan hasil akhir proses demokrasi harus
menunjukkan tanggung jawab langsung kepada rakyat. Pemerintah harus bekerja
untuk kepentingan rakyat. Begitu ungkapan populisnya. Pemerintah menjunjung
rakyat, sebagai atasan langsung.
Kedua, horizontal
accountability. Semua lembaga kekuasaan harus bergerak pada jalur checkbalances
konstruktif. Pada arena ini, semestinya kejahatan korupsi harus dilumpuhkan
pada kesempatan pertama. Mereka sama-sama saling mengingatkan tentang setiap
detail kekeliruan dan penyimpangan kekuasaan. Bukan malah memperkuat
corruption-balances antarlembaga politik kekuasaan. Ketiga, societal accountability. Pemerintah mesti
memastikan ruang merdeka untuk semua elemen masyarakat sipil terutama
berhubungan dengan kemerdekaan pers, diskusi publik, arena seni dan
kebudayaan.
Saat tiga arah akuntabilitas itu menggerakkan energi
demokrasi untuk kesejahteraan rakyat, lantas dari mana kejahatan korupsi itu
muncul? Ada suasana sosial dan politik-meminjam pandangan A Schedler
(2002)--di luar demokrasi dan korupsi--bisa menje laskan perilaku korup para
penguasa. Gaya hidup elitis, ideologi politik yang tidak jelas, dan sikap
permisif terhadap kelalaian kekuasaan akan membentuk mentalitas politik yang
mengancam demokrasi. Itu yang memunculkan sikap sinis publik pada demokrasi.
Suasana semacam itu hanya akan menguntungkan pemain politik yang sudah
terbiasa menelikung akuntabilitas mereka. Mereka yang memanfaatkan
keterpilihan politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan parsial kelompok
politik. Sarah Birch, pengajar Universitas Essex UK (2001), menyebut fenomena
ini dengan korupsi elektoral (electoral
corruption).
Deformula
Beberapa waktu belakangan ini, secara kasatmata,
sebenarnya terlihat bagaimana demokrasi elektoral berbanding lurus dengan
kejahatan korupsi yang muncul di Indonesia. Pemenang politik pada akhirnya
memang segera berada di sekitar sumber finansial pembangunan tanpa batas.
Bahkan memiliki wewenang tidak terbatas untuk mengatur sirkulasi budget
pembangunan. Mereka yang tersangkut cerita korupsi memiliki jaringan politik
yang luas, besar dan kuat. Korupsi muncul dari orang-orang dan segenap
kekuatan politik yang memiliki keterhubungan kekuasaan ke dalam demokrasi
elektoral.
Runtuhnya tiga arah akuntabilitas segenap
lembaga politik dan pemerintahan pada masa kini seolah mempermudah aksi-aksi
keji korupsi runtutan yang tidak terhentikan lagi. Kerusakannya langsung
terlihat dengan jelas. Juga pada tiga aspek paling penting. Pertama, rakyat
yang senantiasa dibuaikan dengan kisah-kisah makro pembangunan. Kedua,
lembaga-lembaga kekuasaan yang terbebani korupsi. Ketiga, ruang publik yang
terancam kekerasan masif. Kini, ada pembusukan dan perusakan formula-formula
politik demokratis. Semua ini sedang mengalir dengan deras karena Indonesia
sedang mengalami semacam siklus korupsi elektoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar