Jumat, 16 November 2012

Subsidi BBM yang Sia-Sia


Subsidi BBM yang Sia-Sia
Widya Purnama ;  Dirut PT Pertamina (Persero) Periode 2004-2006
KOMPAS, 16 November 2012

Baru-baru ini media massa banyak memberitakan seputar bahan bakar minyak. Hampir semua bernada sama, yaitu betapa berat beban negara akibat naiknya subsidi BBM dari tahun ke tahun.

Ini bukan kabar baru. Namun, tetap saja ”bau” beban subsidi BBM masih tercium. Tercatat, pada 2012 saja diperkirakan subsidi BBM (Premium, solar, minyak tanah, elpiji) akan mencapai Rp 216 triliun, dengan asumsi rata-rata peningkatan volume BBM 7,5 persen per tahun. Ironisnya, 70 persen dari angka subsidi itu salah sasaran.

Beberapa upaya pembatasan subsidi sudah coba dilakukan, antara lain dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri ESDM No 12/2012. Langkah yang ditempuh, di antaranya pembatasan penggunaan BBM subsidi bagi kendaraan pelat merah dan BUMN/BUMD. Pemerintah juga melarang penggunaan solar bersubsidi pada kendaraan pengangkut sawit dan hasil tambang.

Nyatanya, itu belum membawa hasil yang diharapkan. Pembatasan BBM subsidi pada mobil pegawai negeri, BUMN/BUMD juga tak bisa dikatakan berhasil. Tak ada perangkat negara yang mengontrol dan mengevaluasi pelaksanaannya. Kebijakan itu juga terkesan asal-asalan.

Patut diingat, ketersediaan BBM nonsubsidi (Pertamax) tak tersebar merata. Banyak SPBU di luar Jawa belum menyediakan BBM ”mahal” itu.

Akar Masalah

Walau payung aturan sudah dicanangkan, tetap saja konsumsi BBM nonsubsidi tak pernah naik. Sebaliknya, jumlah pengguna Premium meningkat tajam.

Pemerintah juga telah menggaungkan program konversi BBM ke gas. Lagi-lagi, itu masih sebatas wacana tanpa tahu kapan program itu dimulai, seperti apa tahapannya, bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk melaksanakannya.

Subsidi BBM yang terus membengkak dari tahun ke tahun bisa dilihat dari beberapa sisi. Kenaikan harga minyak dunia akibat iklim geopolitik yang terjadi belakangan ini ditengarai menjadi alasan pertama. Ini diperparah tidak tersedianya cukup cadangan minyak di dalam negeri, serta tingginya pertumbuhan kendaraan (10 persen per tahun).

Di tengah beban subsidi yang terus membengkak, pemerintah dan para pengambil keputusan sepertinya tak siap dengan konsep atau peta jalan diversifikasi energi yang sudah kian mendesak. Ini pula yang jadi pangkal bagaimana sulitnya pemerintah meyakinkan politisi di DPR dan masyarakat akan pentingnya mengurangi subsidi BBM.

Bila pengurangan subsidi tidak juga dilakukan segera, ketahanan BBM nasional negeri ini bakal semakin rentan. Impor BBM pada tahun 2011 saja sudah 60 persen untuk Premium dan 40 persen untuk solar. Itu belum termasuk ancaman meningkatnya pencemaran lingkungan di tengah isu pemanasan global, yang bakal berdampak pada peningkatan biaya kesehatan manusia.

Dalam lima tahun terakhir rata-rata kenaikan biaya subsidi BBM 19 persen per tahun. Jika angka 19 persen kita jadikan acuan, kelak pada 2020 nilai subsidi BBM akan melonjak ke angka Rp 804 triliun.

Patutkah kita membiarkan hal itu terjadi? Tentu saja tidak. Pemerintah sadar akan kewajibannya membiayai pembangunan infrastruktur, sekolah, perumahan, dan sebagainya yang terkait dengan kebutuhan rakyat banyak. Menguapnya dana subsidi itu otomatis menjadikan upaya yang dilakukan pemerintah tersendat. Pemerintah memang kerap mendengungkan pertumbuhan ekonomi kita yang 6,1 persen sebagai gambaran stabilnya pertumbuhan negeri ini. Namun, harus diakui, pertumbuhan itu tak lepas dari subsidi BBM yang luar biasa besar.

Diversifikasi Energi

BBM bukanlah berkah Tuhan yang tak ada batasnya. Jadi apa yang harus kita lakukan?

Pembatasan subsidi BBM sudah seharusnya berjalan dengan tepat. Namun, itu saja tak cukup. Perlu upaya lain yang harus segera dilakukan. Toh, pemerintah sudah mampu melakukan sebuah terobosan saat program konversi minyak tanah ke elpiji pada 2007. Terbukti program itu secara kumulatif mampu memberikan penghematan subsidi Rp 61,6 triliun pada 2012.

Mengonversi BBM tidak mungkin dilakukan secara keseluruhan, seperti konversi minyak tanah ke elpiji. Hal ini lantaran keterbatasan suplai elpiji/LNG atau energi alternatif lainnya serta keterbatasan sarana infrastruktur. Jadi, diversifikasi energi adalah jalan keluar.

Kita punya sumber daya alam luar biasa di luar minyak bumi. Sebut saja batubara atau gas bumi. Kita juga dapat memproduksi bahan bakar hayati penghasil etanol yang dapat mengurangi beban subsidi negara. Beragam jenis bahan bakar ini mampu menggantikan ketergantungan pada BBM bersubsidi. Ketersediaan melimpah, harga pun lebih murah dan bersifat ramah lingkungan.

Tentu ini bukan upaya sekejap. Perlu waktu dalam mengimplementasikan upaya ini. Contoh konversi dari elpiji ke DME (dimethil eter) setidaknya dibutuhkan waktu tujuh tahun. Mulai dari membangun pabrik, menyiapkan sistem proses dan distribusinya, hingga penerapannya.

Mengapa DME? Harga DME yang berbahan baku batubara muda dan gas alam yang banyak terdapat dalam perut bumi Indonesia jauh lebih murah. Harga DME hanya 50 persen dari harga keekonomian elpiji. Dengan demikian, pada akhir 2019 ketika semua pengguna elpiji dan minyak tanah yang masih tersisa berhasil dialihkan ke DME, otomatis pemerintah akan terbebas dari kewajiban menyubsidi elpiji.

Sasaran lainnya adalah mengonversi BBM ke elpiji untuk kendaraan umum dan pengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat. Katakanlah harga keekonomian elpiji telah menyamai harga Premium, hal itu tidaklah masalah. Sebab, besaran subsidi yang diberikan pemerintah hanya berkisar pada angka Rp 1.000, jauh lebih kecil ketimbang subsidi Premium selama ini yang mencapai Rp 2.350 per liter.

Bersamaan itu pula, harga Premium dan solar dinaikkan secara bertahap, Misalkan, Rp 100 per bulan. Pada 2014, besaran subsidi yang jadi beban pemerintah hanya Rp 1.000 per liter.

Bila program ini berhasil dijalankan, kelak pada 2020 subsidi negara atas BBM hanya Rp 90 triliun. Angka ini jauh di bawah prediksi besaran subsidi senilai Rp 804 triliun, bila program penghematan tak segera dilakukan! Walhasil, berkat penghematan sebesar itu pemerintah lebih leluasa membangun infrastruktur kebutuhan rakyat. Alhasil, pemerataan pembangunan ekonomi di seluruh penjuru Nusantara bukan lagi wacana.

Pemerintah fokus pada pembuatan regulasi dan peraturan perundangan untuk mendukung pelaksanaan program ini (terkait kebijaksanaan harga, investasi, dan lainnya). Tidak kalah penting, pemerintah harus aktif menyosialisasikan betapa untung negara dan rakyat Indonesia jika melaksanakan program konversi dan diversifikasi energi. Apalagi program kali ini hanya menyentuh masyarakat menengah atas yang biasanya memiliki pemahaman lebih tinggi akan soal energi ketimbang rakyat kecil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar