Seribu Kapal
(Impian) Nelayan
Oki Lukito ; Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan;
Pengurus
Dewan Kelautan Jawa Timur
|
KOMPAS,
22 November 2012
Pemerintah lewat
Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya merevisi program bantuan seribu
kapal untuk nelayan senilai Rp 1,5 triliun yang digulirkan 2010-2014.
Dari 600 kapal
hibah yang sudah diterima kelompok nelayan, hanya sebagian kecil beroperasi
penuh. Sebagian besar kelompok nelayan tak punya modal, kesulitan alat bantu
penangkapan, menghadapi masalah menyusutnya sumber daya ikan, dan terbatasnya
kemampuan nelayan melaut hingga sekitar 370 kilometer.
Sebagai ilustrasi,
nelayan Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menyerahkan pengoperasian kapal
bantuan presiden kepada pengusaha kapal ikan di Tamperan, Pacitan, Jawa
Timur, karena tak mampu membiayai perawatan kapal dan modal melaut. Nelayan
Tulungagung, sejak menerima kapal hibah setahun lalu, karena kesulitan alat
tangkap berupa rumpon serta modal hanya sebatas melakukan sea trial. Empat kapal hibah untuk
Kelompok Usaha Bersama Mitra Usaha, Green Fish, dan Mina Karya pun mengalami
musibah. Mesinnya terbakar disambar petir secara bersamaan.
Hal ini
mengingatkan saya pada peristiwa tahun 2005. Kapal hibah berbobot mati 20 ton
dari presiden untuk kelompok nelayan Mina Upadi di Dusun Wawaran, Desa
Sidomulyo, Kecamatan Kebonagung, terpaksa dijual karena tidak sanggup
membiayai. Kegagalan kapal hibah untuk nelayan di Pacitan itu sayangnya tidak
pernah dievaluasi agar supaya program kapal hibah selanjutnya bermanfaat dan
tepat sasaran.
Restrukturisasi
Kapal
Program
restrukturisasi kapal ikan menjadi salah satu program pemerintah lewat
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pasca-100 hari pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono. Perahu kecil secara bertahap diganti kapal motor 30-50
ton. Seribu kapal nelayan diprioritaskan untuk nelayan di pantai utara dan
selatan Jawa. Sementara Jawa Timur dipilih merestruktur 13.000 lebih kapal
hingga 2014.
Umumnya nelayan
kecil memang tidak bisa mengoperasikan kapal besar. Semua perlu waktu sebab
mengubah kebiasaan berbeda dengan membalik tangan. Maka, keinginan pemerintah
selama satu dasawarsa untuk mengubah nasib nelayan pantai utara dan selatan
Pulau Jawa belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Kapal hibah
menggunakan marine engine menjadi salah satu kendala bagi nelayan yang selama
ini terbiasa mengoperasikan mesin asal negara China yang mudah dioperasikan
dan dirawat. Kapal dilengkapi fish finder, radio komunikasi, dan cold storage
yang ideal untuk kapal dan nelayan semimodern, sedangkan mayoritas nelayan di
Jawa adalah nelayan tradisional.
Jika kapal dapat
dioperasikan maksimal, pendapatan nelayan meningkat. Selama 7 hari melaut
diasumsikan dapat menjaring 20 ton ikan berbagai jenis, seperti cakalang,
tuna, layur, tenggiri atau kakap senilai Rp 200 juta, sedangkan pengeluaran
untuk biaya solar, pengadaan bekal melaut, pembelian balok es dan air bersih
sebesar Rp 75 juta.
Bukan hanya kapal,
pelabuhan perikanan skala besar dan kecil dilengkapi tempat pelelangan ikan
(TPI) juga dibangun. Harapannya produktivitas dan penghasilan nelayan
meningkat.
Namun, hal itu tak
diikuti pembenahan manajemen pelelangan ikan yang dikuasai pengambek,
pedagang, rentenir, dan juragan perahu. Ikan hasil tangkapan nelayan dibeli
dengan harga murah. Koperasi nelayan penyelenggara lelang umumnya kesulitan
modal.
Siapkan
Untuk Berubah
Pengadaan kapal
sebaiknya tak hanya dihitung dari segi produktivitas, tetapi perlu diiringi
upaya menyiapkan nelayan tradisional untuk bisa menjadi nelayan semimodern.
Nelayan pantura mencari ikan di perairan dengan gelombang relatif kecil dan
tidak bisa begitu saja dialihkan ke samudra dengan gelombang besar.
Jawa Timur
mempunyai pengalaman pahit soal ini. Relokasi nelayan pantura ke pesisir
selatan tahun 2003 gagal. Dari 114 nelayan pantura yang direlokasi ke
Sendangbiru, Kabupaten Malang, hanya satu yang beradaptasi menjadi nelayan
samudra. Demikian pula peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang difasilitasi
pemerintah belum banyak mencerdaskan nelayan. Semua butuh waktu.
Kita mampu
mengadakan kapal hibah, tetapi lupa membangun SDM nelayan. Seperti yang
terjadi selama ini, kita memberi hadiah pelabuhan perikanan yang besar,
tetapi tidak berfungsi karena nelayan tidak diajari bagaimana cara melelang
ikan dan menjalankan usaha koperasi.
Di TPI, pemerintah
tak mempunyai wibawa, seabrek peraturan di pelabuhan perikanan tidak jalan.
Peraturan daerah lelang hanya menjadi gengsi daerah, implementasinya tidak
ada. TPI hanya menjadi tempat penimbangan ikan.
Program Peningkatan
Kesejahteraan Nelayan (PKN) menggulirkan sejumlah bantuan (hibah), seperti
bantuan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan UKMK, dan
program murah untuk 7,87 juta masyarakat miskin di pesisir, diragukan
efektivitasnya karena nelayan menjadi obyek.
Pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir yang pernah diberikan nasibnya sama. Dana bergulir
yang diterima kelompok nelayan tidak bisa dimanfaatkan karena jumlah yang
diterima terlalu kecil dan komersial.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar