Belajar dari
Tetangga Ihwal MRT
Roos Diatmoko ; Anggota DRN Transportasi 2009-2011
|
KOMPAS,
22 November 2012
Kita boleh bangga
bahwa Jakarta pelopor kereta listrik di kawasan ini. Batavia memiliki kereta
listrik atau trem sejak 1899. Ketika kereta komuter tetangga pada 1976 belum
ada, pemerintah kita menghidupkan kembali kereta listrik. Jakarta bahkan
punya gagasan memiliki MRT pada awal dasawarsa 1980-an.
Rasa bangga semu
itulah yang saya alami 20 tahun yang lalu. Dari Stasiun Port Klang, saya naik
railbus. Saat itu perkeretaapian nasional Malaysia belum mengenal kereta
listrik. Kereta Tanah Melayu Berhad (KTMB) mulai mengoperasikan kereta rel
listrik (KRL) komuter pada 1995.
Oktober lalu, saya
naik KRL baru dengan desain Jerman, Tricon Design AG. KRL buatan China itu
merupakan bagian dari 228 unit pesanan bernilai 1,89 miliar ringgit. Merasa
penasaran, saya naik KRL baru seharga 8,3 juta ringgit per unit itu, sekitar
Rp 25 miliar, dengan tiket termurah: 1 ringgit.
Saat KTMB
menghadapi persoalan timbunan KRL tahun 2009, Malaysia memperkenalkan kereta
hibrida dengan lokomotif diesel menarik KRL. Kini KTMB tidak hanya
menggandakan setiap rangkaian KRL komuter dari 3 menjadi 6 unit, Malaysia
juga menyiapkan megaproyek MRT Lembah Klang sepanjang 150 kilometer dengan
nilai 36,6 miliar ringgit, sekitar Rp 113 triliun.
Kenangan pada
railbus dan KRL komuter serta mimpi akan megaproyek MRT Lembah Klang bolehlah
kita jadikan pembelajaran praktis tentang visi transportasi berkelanjutan.
”Busway”
dan ”Subway”
Ketika MRT modern
di Singa- pura beroperasi pada 1988, banyak ekonom menilai bahwa MRT terlalu
mahal untuk Indo- nesia. Dengan pendapatan per kapita masih di bawah 1.000
dollar AS, layakkah kita membangun MRT? Dengan pendapatan kurang dari 5
dollar AS sehari, berapa harga tiket MRT yang terjangkau?
Beberapa solusi
alternatif diusulkan untuk menggantikan rencana MRT Jakarta koridor Blok
M-Kota ketika itu. Kurang lebih tersua 25 studi dan kajian yang telah dibuat.
Dari teknologi O-bahn, aeromovel, hingga kereta rel ringan dengan jalur tiga
tingkat atau monorel. Akhirnya busway dipilih dan beroperasi pada 2005.
Dalam buku Busway,
Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta (2006) disebutkan bahwa teknologi
bus dipilih karena investasinya paling rendah, cepat, dan jangkauannya luas.
Untuk pengoperasian transjakarta, internal rate of return 34,3 persen. Dengan
target, pada 2010 sistem busway menjangkau 240 kilometer untuk 15 koridor,
Jakarta akan mempunyai busway terpanjang di dunia. Menurut kajian sebuah
konsultan, kapasitas angkut maksimum 30.000 penumpang per jam per arah.
Sebagai bandingan, busway TransMilenio Kota Bogota mencapai 40.000 penumpang
per jam per arah.
Dengan busway di
koridor Blok M-Kota, target operasi MRT mundur sampai dengan tahun 2016.
Untungnya, MRT sebagai pola transportasi dengan kapasitas angkut besar tetap
berlanjut. Studi JICA meramalkan bahwa pada 2014 Jakarta akan macet total
karena luas jalan raya sama dengan luas kendaraan. Ada juga kajian Institute for Transportation and
Development Policy (ITDP) bahwa kapasitas busway jauh dari perkiraan
konsultan.
Muncul gagasan baru
untuk mengurai kemacetan: enam ruas jalur jalan tol dalam kota sepanjang 69,7
kilometer. Busway bisa dirancang di bahu jalan. Dalam Pola Transportasi Makro
Jakarta yang disahkan pada 2004, jalan layang tol senilai Rp 41,5 triliun ini
tidak direncanakan.
Sepertinya ada
kesimpulan yang pas antara MRT dan jalan layang tol itu: ”yang direncanakan
lambat-lambat diterapkan, yang diterapkan cepat-cepat direncanakan”. Belajar
dari tahun 2004, gagasan busway bisa menunda subway. Kini mungkin Gubernur
DKI Jokowi terinspirasi dari amsal ”Belajarlah dari masa lalu, hiduplah untuk
masa depan”. Yang terpenting adalah tidak berhenti bertanya: ada apa dengan
investasi MRT?
MRT
dan Tetangga
Masyarakat berhak
belajar. Belajar MRT ke Negeri China mungkin terlalu jauh. Subway China
pertama kali dioperasikan pada 1969. Kini sudah ada 15 kota yang memiliki
MRT, 18 kota sedang membangun, dan 20 kota lainnya masih dalam tahap rencana.
Asal tahu saja, Pemerintah China menyiapkan pendanaan MRT sebesar 4 triliun
RMB atau sekitar Rp 6.000 triliun.
Belajar MRT paling
dekat di Malaysia. Kita bisa melihat integrasi sistem pengangkutan perkotaan
yang dikelola SPNB: dimulai dengan bus RapidKL, monorel, kereta ringan LRT
Kelana Jaya (dulu Putra), sampai LRT Ampang (dulu Star). SPNB telah menambah
jaringan dan armada. Yang terakhir, SPNB menyiapkan megaproyek MRT Lembah
Klang terkait dengan program transformasi ekonomi.
Manfaat dan biaya
proyek MRT senilai Rp 113 triliun dikaji oleh McKinsey. Diperkirakan
pendapatan MRT per tahun 3-4 milyar ringgit. Pada 2020, MRT mampu mengangkut
2 juta penumpang, terdiri dari 11 persen perjalanan memintasi Lembah Klang
dan 64 persen perjalanan ke dan dari kawasan Kota Kuala Lumpur.
Pemerintah Malaysia
menganggap penting kawasan ekonomi kunci nasional (NKEA) di Kuala Lumpur dan
wilayah sekitarnya. NKEA dengan 6 juta penduduk (20 persen penduduk Malaysia)
memberikan kontribusi pendapatan nasional bruto sekitar 30 persen senilai 263
miliar ringgit, sekitar Rp 815 triliun. NKEA menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi Malaysia.
Dalam rancangan
transformasi ekonomi, Malaysia memiliki paradigma baru. Urbanisasi bukan
sebagai momok yang menakutkan, melainkan sebagai magnet yang memiliki daya
pertumbuhan ekonomi. Dengan urbanisasi, produktivitas meningkat. Justru
dibuat kawasan ekonomi bagi sekitar 100 perusahaan global. Dengan pelayanan
publik yang baik, pendapatan akan meningkat. Rancangan transformasi ekonomi
pada 2020 menambah pendapatan minimal 40 miliar ringgit dan 100.000
pekerjaan. Melalui proyek MRT, dampak potensi pendapatan pada tahun 2020
sekitar 21 miliar ringgit.
MRT Jakarta mungkin
belum melengkapi kajian manfaat sebagaimana rancangan transformasi ekonomi
Malaysia. Namun, dari studi MRI Jepang tentang MRT Jakarta, pada Kota Ho Chi
Minh dan Hanoi terdapat fakta yang menarik.
Economic
internal rate of return (EIRR)
MRT Jakarta hanya 7 persen, sedangkan Kota Ho Chi Minh Lintas 1 mencapai 20
persen. Pinjaman lunak diperlukan untuk EIRR yang sangat rendah dan tidak
layak ekonomis. Padahal, kondisi pinjaman MRT Kota Ho Chi Minh hampir sama,
83 persen didanai dari step loan yen
Jepang.
Untuk proyek MRT
Kota Ho Chi Minh sepanjang 19,7 kilometer, bawah tanah 2,6 kilometer, 14
stasiun, 3 stasiun bawah tanah, nilainya 240 miliar yen. Adapun MRT Jakarta
sepanjang 15,7 kilometer, 6 stasiun bawah tanah dari 13 stasiun bernilai 144
miliar yen. Ternyata, biaya MRT Jakarta yang dianggap mahal masih lebih murah
dibandingkan dengan MRT Vietnam yang kondisi ekonominya masih tertinggal.
Haruskah Indonesia dengan kelas menengah yang makin meningkat belajar dari
MRT Vietnam? ●
|
ngasih datanya salah: line 1 di ho chi minh yg panjangnya 19,7 km itu biayanya cuma 89 milyard yen bukan 244 milyard yen. line 2 yg 11,7 km biayanya hanya 43 milyard yen. search saja di google, dasar koruptor ... penipu. kesimpulan MRT disini jauh lebih mahal !!!
BalasHapus