Kamis, 15 November 2012

Saling Ancam Buruh-Pengusaha


Saling Ancam Buruh-Pengusaha
Rahmat Pramulya ;  Dosen dan Peneliti di Universitas Teuku Umar,
Meulaboh, Aceh Barat
SUARA KARYA, 13 November 2012


Tebar ancaman terjadi antara buruh dan pengusaha. Buruh terus memperjuangkan segala kepentingannya mulai dari standar hidup layak, upah besar, kepastian kerja, hingga kesejahteraan yang lebih baik. Demonstrasi sering menjadi jalan pintas untuk menuntut pengusaha dan pemerintah. Mogok kerja juga bergulir sebagai langkah lain yang menunjukkan aksi protes. Lembaga tripartit (pengusaha, buruh, pemerintah) tak lagi bisa diharapkan.
Pengusaha pun akhirnya balas mengancam. Mogok industri! Jika ini terjadi maka segala kegiatan produksi akan terhenti, tak ada barang produksi, buruh menganggur, tak ada pendapatan/upah. Maka goncangan ekonomi akan melanda negeri ini.
Mengapa soal upah, buruh sering bergejolak? Begitu pelikkah soal upah? Dimana sejatinya posisi buruh diletakkan dalam konteks pembangunan dan industrialisasi?
Dalam pertemuan Industrial Relation Research Association di Boston, Amerika Serikat (2000), Joseph Stiglitz menyampaikan kritik atas cara pandang para ekonom liberal yang melihat buruh sebagai alat produksi semata. Stiglitz menyarankan cara pandang baru yang lebih memuliakan buruh, baik melihat buruh sebagai pemangku kepentingan maupun jasa buruh menciptakan masyarakat madani dan standarisasi pekerja. Kritik tersebut dilontarkan Stiglitz lantaran besarnya tekanan terhadap buruh dalam relasi dengan negara dan pasar yang selama ini terjadi.
Menjadi buruh (karyawan rendahan) tentu bukan impian. Tingginya jumlah buruh tidak berarti profesi ini disukai oleh banyak orang. Ini lantaran pekerjaan sebagai buruh tidak menyediakan kehidupan yang layak. Upah rendah, kondisi kerja buruk, jam kerja kelewat panjang, jaminan sosial tidak memadai, jaminan hukum tidak pasti, jaminan kesehatan dan mutu keselamatan kerja yang jauh dari kondisi ideal masih menjadi masalah. Peraturan perundangan yang ada justru kian mempersempit ruang gerak perjuangan nasib buruh dan kian berorientasi pada stabilitas produksi yang menguntungkan pemerintah dan pengusaha.
Selama ini buruh tidak ditempatkan sebagai salah satu elemen penting dalam proses produksi yang harus diperhatikan hak-haknya, akan tetapi ditempatkan sebagai sekedar skrup dari mesin produksi. Tuntutan kenaikan upah buruh sering berbenturan dengan kepentingan "upah rendah sebagai keuntungan komparatif".
Upah rendah justru dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dalam rangka maksimalisasi rente atau keuntungan. Oleh karena itu posisi buruh menjadi lemah. "Pahlawan industri" ini pun terus tergoyang kesejahteraannya lantaran berbagai perubahan baik dalam konteks relasinya dengan perusahaan maupun adanya perubahan regulasi.
Soal yang seringkali menjadi perdebatan adalah menjadi tanggung jawab siapa kesejahteraan buruh. Perusahaankah atau pemerintah?
Buruh adalah tenaga kerja yang bekerja pada pihak perusahaan. Kewajiban buruh adalah bekerja melaksanakan tugasnya sesuai dengan deskripsi tugas kerja yang telah ia sepakati bersama pihak perusahaan dan ia berhak mendapatkan upah yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Di luar upah yang telah disepakati dalam transaksi kontrak kerja, mestinya buruh tidak berhak untuk menuntut perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya.
Idealnya pengusaha hanya dituntut tanggung jawab sebatas membayar upah yang telah dijanjikan atau disepakatinya. Akan menjadi sulit jika pengusaha dituntut untuk memikul beban jaminan sosial para karyawannya. Sebab jaminan sosial terkait dengan masalah kesejahteraan.
Jika telah berbicara masalah kesejahteraan, maka negaralah pihak yang harus bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bagi warga negaranya (termasuk dalam hal ini buruh). Dengan tidak dibebani urusan jaminan sosial ini, diharapkan perusahaan dapat bekerja lebih tenang dan lancar sehingga aktivitas ekonomi akan mengalami pertumbuhan yang lebih baik.
Dua masalah yang menjadi beban hidup para buruh selain sandang, pangan, papan adalah pendanaan pendidikan dan kesehatan. Tuntutan kebutuhan sosial yang berbentuk biaya anak sekolah mahal, biaya dokter dan rumah sakit serta obat mahal, dan lain sebagainya itu mau tidak mau sering mendesak mereka berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji.
Padahal sejatinya dua hal tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi negara. Sebab kedua sektor vital itu termasuk dalam kategori pemeliharaan "kemashlahatan" umum. Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negara (termasuk dalam hal ini para buruh).
Demikian pula pendidikan, negara mestinya yang harus bertanggung jawab mengadakan dan menanganinya agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa mereka dibebani dengan momok berupa mahalnya biaya pendidikan seperti yang saat ini kita rasakan.
Namun pada kenyataannya, selama ini pemerintah tidak menjadikan urusan jaminan kesejahteraan masyarakat sebagai tanggung jawab negara, melainkan juga sebagai tanggung jawab lembaga-lembaga non-pemerintah seperti yayasan-yayasan, juga perusahaan-perusahaan. Merekalah yang men-support keterbatasan pemerintah dalam urusan tersebut.
Hak atas pendidikan yang layak, kesehatan, kesejahteraan hidup, dan lain-lain dibebankan oleh negara kepada perusahaan. Setidaknya perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan buruhnya, seperti hak memperoleh pendidikan dan kesehatan, hak cuti, bahkan setelah keluar pun (baik akibat PHK atau mengundurkan diri) para buruh menuntut uang penghargaan, ganti rugi dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar