Kamis, 15 November 2012

Memeriksa Iklan Diskon TKI


Memeriksa Iklan Diskon TKI
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
SUARA KARYA, 13 November 2012


Siapa pun akan terusik dengan iklan Indonesian Maids on Sale! Apalagi, ada diskon 40 persen. Bayangkan! 'Barang' sudah diobral, masih dijual murah. Sayangnya, ia bukan barang, tetapi manusia. Tak ayal, Anis Hidayah, pegiat buruh, menumpahkan kekesalannya di akun Twitter-nya seraya mengutuk Malaysia dengan sebutan brutal dan biadab. Tak berhenti di sini, aktivis Migrant Care ini juga bersuara keras di TV Metro, sehingga orang ramai turut meluapkan kejengkelan mereka atas iklan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Dari sini, amarah banyak pihak bermula.
Bagaimanapun, media sosial Twitter telah berjasa menyebarkan kasus ini. Malah tak perlu waktu lama, orang nomor satu di institusi terkait, seperti Menlu Marti Natalegawa, Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Ketua BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Jumhur Hidayat, ikut bersuara. Mereka pun telah menyatakan sikap secara terang-benderang.
Pada waktu yang sama, Anifah Aman, Menlu Malaysia, turut menyesalkan kasus tersebut dan menganggapnya telah mengusik rasa kemanusiaan. Ditambah lagi, Datuk Syed Monshe Afdzruddin, Dubes Malalysia di Jakarta, pun menyatakan bahwa iklan itu liar.
Antisipasi
Pada akhirnya, janji pihak terkait untuk memburu tersangka Rubini telah berhasil. Kita menunggu lebih jauh penyidikan polisi terhadap motif warga Malaysia berkebangsaan India ini. Kecurigaan banyak pegiat buruh migran bahwa agensi ini menyebarkan iklan sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan setelah kran pengiriman pembantu dibuka dan pada gilirannya pintu terbuka bagi perdagangan manusia. Pendek kata, siapa pun harus mendorong aparat berwenang untuk bertindak tegas terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan.
Keberhasilan pemilik akun @TKI di Malaysia memunggah gambar kantor penyalur Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) mengejutkan banyak pihak. Ternyata selebaran yang beralamat lengkap dan menyertakan tiga nomor telepon itu bertempat di kedai pangkas rambut. Padahal, dengan jelas selebaran ini juga menyertakan nama perusahaan, Smart Labour Servince Sdn Bhd, yang menunjukkan keberadaannya terdaftar secara resmi.
Sementara Rubini, staf agen, tak lagi bisa dihubungi. Menurut Agensi Berita Malaysia, Bernama, dari tiga nomor kontak, dua nomor menjawab dengan kotak pesan suara. Tentu pihak kepolisian Malaysia, Polis Diraja Malaysia diharapkan bekerja keras untuk dapat menyeret pelaku, meskipun penyalur bisa berkilah bahwa iklan yang dimaksud tidak dibuat untuk mengolok-olok martabat pekerja Indonesia.
Namun, media massa Malaysia tidak menempatkan isu tersebut di halaman depan. Berbeda dengan media Indonesia, yang menjadikannya sebagai berita utama dengan judul yang beraneka ragam, seperti TKI Tidak Dijual (Jurnal Nasional) dan Iklan Malaysia Lecehkan Indonesia (Seputar Indonesia). Harian Metro, koran terbesar di Malaysia, menurunkan berita 'Siasat Iklan Jual Orang'. Chamil Wariya, Wakil Ketua Iswami (Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia) meminta pihak aparat menindak tegas pelaku karena dianggap bisa memicu perdagangan manusia (human trafficking).
Kita juga perlu melihat isu ini dengan seimbang. Becermin pada surat Rieke Pitaloka, anggota DPR dari Komisi IX, politisi dari PDIP ini meyakini itikad baik Pemerintah Malaysia untuk menjaga hubungan baik kedua negara. Oleh karena itu, pemeran Oneng dalam sinetron Bajaj Bajuri ini meminta negeri jiran untuk menarik iklan tersebut. Apa yang dilakukan Rieke tentu perlu didukung karena perbuatan tak bermoral ini harus dilihat sebagai perbuatan seseorang atau satu perusahaan dan pada waktu yang sama kita harus melihat bahwa hubungan kedua negara ini harus senantiasa berada dalam koridor yang baik.
Mengingat hubungan kedua negara acapkali berada pada tubir jurang, kita harus betul-betul berhati-hati. Betapa mudah selembar kertas pengumuman iklan mengusik hubungan antara dua negara. Tentu Malaysia tidak bisa lepas tangan dengan menyatakan bahwa iklan itu liar, karena ia berada dalam wilayah kekuasaannya, sehingga aparat yang berwenang bisa menghukum pelaku. Namun, kita tidak perlu terlalu emosional seraya mengungkit dosa-dosa yang telah dilakukan oleh negara tetangga tanpa membuka diri bagi cara pandang baru terkait sengketa banyak isu, seperti klaim kebudayaan dan batas wilayah.
Bagaimanapun, kita telah mempercayai pemerintah dan wakil rakyat untuk menyelesaikan masalah yang menimpa warganya, termasuk pekerja migran yang mencari nafkah di negara bekas jajahan Inggris ini. Demikian pula, sikap kritis LSM, seperti Migrant Care, mengingatkan kita semua bahwa kita harus memasang telinga dan membuka mata terhadap saudara kita yang bekerja di negeri orang. Namun, melampiaskan amarah dengan sumpah-serapah, kita telah menutup pintu untuk menyelesaikan masalah. Perlu diketahui bahwa Migrant Care juga bekerja sama dengan LSM serupa di Malaysia untuk membela hak-hak buruh. Pendek kata, hak-hak buruh itu melekat pada manusia di manapun ia berada.
Akhirnya, mengingat kasus iklan ini menggambarkan praktik perbudakan, sudah saatnya kita memikirkan nasib pekerja perempuan Indonesia tersebut. Apalagi, BNP2TKI sendiri telah mengaskan bahwa pengiriman tenaga kerja sektor PLRT akan dihentikan secara bertahap hingga 2017. Pekerjaan besar ini tidak mudah, karena melibatkan banyak pihak berwenang dan memerlukan kesadaran masyarakat itu sendiri untuk bisa memahaminya. Dengan perhatian banyak pihak terhadap isu kemanusiaan, kita diharapkan makin mempunyai banyak tenaga untuk mendampingi para TKI agar tidak jatuh ke tangan-tangan penjahat, yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar