Jumat, 02 November 2012

Bahaya Laten Otoritarianisme


Bahaya Laten Otoritarianisme
W Riawan Tjandra ;  Direktur Program Pascasarjana
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS, 02 November 2012


RUU Keamanan Nasional yang sedang dipersiapkan oleh pembentuk UU bukan saja berpotensi menghadang arus demokrasi, melainkan juga akan menabrak sistem ketatanegaraan yang telah dibangun.
Hal itu terlihat dari beberapa konstruksi hukum yang terdapat dalam RUU tersebut. Pertama, seharusnya RUU Keamanan Nasional (Kamnas) lebih fokus pada pengaturan wilayah abu-abu, yakni soal pengerahan kepolisian dan TNI. Selama ini perbantuan tenaga antara TNI dan Polri belum jelas mekanismenya. Namun, akibat substansi RUU Kamnas yang terkesan memaksakan mengatur sekaligus seluruh situasi kamnas, menyebabkan RUU tersebut tak memiliki fokus yang jelas.
Kedua, kecurigaan adanya upaya revitalisasi otoritarianisme gaya baru muncul karena adanya delegasi wewenang yang sangat besar dalam bentuk diskresi wewenang mutlak kepada presiden dan gubernur dalam menangani situasi kamnas dan daerah. Upaya mengonsentrasikan kewenangan mutlak kepada gubernur dalam menangani situasi kamnas dinilai berlebihan. Sebab, hal itu sudah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah (UU No 32/2004).
Di sisi lain, kewenangan untuk mengatasi keadaan darurat yang diberikan kepada presiden, yang nyaris menyerupai diskresi tanpa batas, berpotensi menghadirkan kembali kekuasaan otoritarianisme gaya baru atas nama potensi ancaman kamnas. Apalagi, RUU Kamnas memberikan definisi stipulatif yang multitafsir terhadap makna kamnas karena ingin memasukkan semua aspek kehidupan mulai dari ancaman bersenjata hingga penanganan bencana.
Tabrak Sistem Demokrasi
Sekuritisasi kehidupan sosial secara ekstrem terlihat dari kewenangan khusus TNI dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan penangkapan dan penyadapan. Dalam sistem ketatanegaraan modern yang ditopang pilar-pilar demokrasi dan perlindungan HAM, kewenangan itu hanya bisa dan boleh dilakukan aparat penegak hukum, yakni, polisi, jaksa, dan lembaga penegak hukum lainnya yang telah ditetapkan UU. Dalam konteks ini, BIN dan TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga keliru bila diberikan kewenangan yudisial.
RUU Kamnas justru harus mengatur penanganan masalah, bukan membangun sistem jangka panjang yang berpotensi menimbulkan ancaman atas kebebasan dan demokrasi. Berkaca pada pengalaman negara-negara demokrasi yang sudah maju, pengaturan kamnas mestinya lebih mengutamakan perlindungan daripada pembangunan sistem kamnas, serta penegasan tanggung jawab negara daripada kriminalisasi warga negara.
Pasal 17 (4) RUU Kamnas, yang mengatur bahwa terhadap adanya ancaman potensial dan nonpotensial akan diatur oleh peraturan presiden, merupakan sistem delegasi perundang-undangan tak terbatas kepada eksekutif. Ini berpotensi memberikan ruang bagi rezim yang berkuasa untuk menggunakan RUU Kamnas sebagai senjata guna menghabisi oposisi dan aksi-aksi protes.
RUU Kamnas, yang juga mengatur bahwa ketidaksetujuan terhadap regulasi atau aturan yang dibuat pemerintah bisa dikategorikan ancaman kamnas, sama saja sebagai bentuk pemberangusan terhadap semangat kebebasan menyampaikan pendapat. Hal itu terlihat dari Pasal 17 Ayat 2 butir (9), yang intinya mengatur mengenai ancaman berupa diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.Ketentuan ini justru menabrak sistem demokrasi konstitusional kita.
Maka, kini bukan hanya kekhawatiran bangkitnya otoritarianisme dari sebuah UU, regulasi itu juga berpotensi membawa pada diskontitusionalitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar