“Quo Vadis”
RUU Kamnas
Trimedya Panjaitan; Wakil Ketua Pansus RUU Kamnas;
Anggota
Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P
|
KOMPAS,
12 November 2012
Pemerintah akhirnya
merevisi naskah RUU tentang Keamanan Nasional. Namun, revisi tersebut tidak
signifikan. Substansi RUU Kamnas tetap berbahaya dan mengancam kebebasan dan
supremasi sipil.
Naskah
RUU Keamanan Nasional (Kamnas) tertanggal 16 Oktober 2012 itu disampaikan
pemerintah dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas,
Selasa, 23 Oktober 2012. Dalam naskah RUU Kamnas terakhir ini terdapat
perubahan dibandingkan sebelumnya, yaitu semula terdiri atas 60 pasal jadi 55
pasal. Namun, setelah dicermati, revisi ini tidak mengubah karakter dasar RUU
Kamnas yang kental nuansa sekuritisasinya.
Masih
Mengancam
Rumusan
tentang kamnas dan ancaman terhadap kamnas masih luas dan multitafsir (Pasal
1 Ayat 1 dan 2). Sementara tujuan kamnas menekankan pada ”keberlangsungan
pembangunan nasional” (Pasal 3). Hal ini memberikan ruang untuk penafsiran
subyektif dari penyelenggara kamnas. Bahkan, kritik atau unjuk rasa memprotes
kebijakan pemerintah bisa dikategorikan ancaman.
Luasnya
definisi ancaman terlihat lagi pada pengaturan jenis ancaman (Pasal 17), yang
terdiri dari ancaman militer, ancaman bersenjata, dan ancaman tidak
bersenjata. Pada kategori ketiga tercakup jenis ancaman aktual, seperti
pelanggaran wilayah perbatasan, konflik horizontal dan komunal, serta
anarkisme. Tetapi, diatur juga jenis ancaman nan abstrak, seperti ideologi
radikalisme, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, sampai
diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi.
Mengualifikasi
ideologi radikalisme sebagai ancaman jelas suatu kemunduran. Upaya mengontrol
pikiran atau ideologi masyarakat/kelompok masyarakat ini bertentangan dengan
konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Dimasukkannya
diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi sebagai ancaman akan
mengebiri fungsi legislasi parlemen.
Luasnya
jenis ancaman ini praktis mengancam semua kekuatan di luar eksekutif. Apalagi
dikaitkan dengan penempatan TNI sebagai unsur utama penyelenggara kamnas
(Pasal 20). TNI dalam posisi yang leading dibandingkan Polri dalam
penyelenggaraan kamnas. Paradigma ini akan mengembalikan peran militer dalam
penanganan persoalan sosial kemasyarakatan.
RUU
Kamnas juga tetap memasukkan tertib sipil sebagai salah satu status keadaan
kamnas (Pasal 10 Butir d). Pada status ini, Presiden bisa mengerahkan TNI
tanpa perlu persetujuan DPR. Padahal, dalam kondisi tertib sipil belum
terjadi peristiwa atau kondisi yang abnormal sehingga penanganannya masih
bisa dilakukan secara normal oleh institusi yang ada, yaitu Polri.
Memang,
dalam menyelenggarakan kamnas, Presiden dibantu Dewan Keamanan Nasional
(Pasal 23). Tetapi DKN diketuai Presiden. DKN yang punya wewenang merumuskan
strategi kamnas sampai mengendalikan penyelenggaraannya adalah ”tangan” dari
Presiden. Praktis, Presiden sendiri yang merumuskan strategi kamnas sekaligus
mengendalikannya. Tak ada ruang bagi DPR mengontrol kewenangan Presiden
mengerahkan TNI dalam status tertib sipil.
Masih
panjang daftar pasal RUU Kamnas yang ”mengancam”. Tetapi uraian di atas sudah
bisa menggambarkan betapa masih berbahayanya RUU Kamnas bagi kebebasan dan
supremasi sipil. Hal ini karena revisi yang dilakukan pemerintah sekadar
formalitas untuk seolah-olah memenuhi permintaan DPR.
DPR,
melalui surat pimpinan DPR tanggal 11 April 2012, telah mengembalikan RUU
Kamnas kepada pemerintah. Surat pimpinan Dewan itu meneruskan hasil Rapat
Pleno Pansus RUU Kamnas pada 20 Maret 2012 yang memutuskan mengembalikan RUU
Kamnas kepada pemerintah untuk dilakukan penyempurnaan, baik dari sisi naskah
RUU, naskah penjelasan dan naskah akademik, maupun dari sisi koordinasi dan
sosialisasi di internal pemerintah.
Keengganan
merevisi RUU Kamnas sudah terlihat dari tanggapan pemerintah atas surat
pimpinan DPR. Presiden, melalui surat tertanggal 9 Mei 2012, menyampaikan
kembali RUU tersebut kepada DPR tanpa melakukan penyempurnaan. Tanpa
perubahan satu titik-koma pun.
Harus
Ditarik
DPR,
dalam hal ini Pansus RUU Kamnas, seharusnya saat itu bisa langsung mengembalikan
lagi RUU tersebut kepada pemerintah. Namun, konstelasi politik berubah. Jika
dalam rapat pleno tanggal 20 Maret 2012 ada tujuh fraksi setuju mengembalikan
RUU Kamnas kepada pemerintah dan hanya dua fraksi yang sepakat RUU dibahas,
dalam rapat pleno 10 Juli 2012 tinggal tiga fraksi yang konsisten untuk
mengembalikan RUU Kamnas.
Kini,
setelah akhirnya pemerintah merevisi RUU Kamnas, tetapi hanya bersifat
kosmetik belaka, Pansus harus mengambil sikap. Penulis berpandangan, langkah
yang tepat adalah mengembalikan lagi RUU ini kepada pemerintah untuk
dilakukan revisi total. Atau, jika merujuk pada Peraturan DPR Nomor 3 Tahun
2012 tentang Tata Cara Penarikan RUU, meminta pemerintah untuk menarik RUU
tersebut.
Mestinya,
sesuai amanat reformasi, tidak ada tempat bagi RUU yang mengancam kebebasan
dan supremasi sipil! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar