Senin, 12 November 2012

Mengefektifkan Otonomi


Mengefektifkan Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ;  Anggota DPOD RI; Guru Besar FISIP UI dan UMJ
KOMPAS, 12 November 2012



Menyusul pembahasan draf UU revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dibahas di DPR, di masyarakat terbentuk diskursus otonomi yang menghangat. Namun, diskursus tersebut justru menunjukkan bahwa praktik otonomi dan pemerintahan daerah di Indonesia tidak efektif (membumi).
Bahkan bukan saja terkait pemerintahan daerah, menyangkut pemerintahan negara bangsa Indonesia sebagai instrumen untuk meraih berbagai tujuan bangsa pun masih dirasakan tumpul. Terdapat kesenjangan antara elemen substansial dan alat-alat negara.
Namun, yang amat disayangkan adalah bahwa diskursus tersebut seperti kehilangan rohnya. Kita sudah tahu kurikulum buruk, merosotnya kinerja pertanian dibandingkan dengan tata guna lahan, pengairan yang terancam, tetapi perdebatan instrumen pemerintahan yang mengerjakan soal-soal tersebut agar efektif seakan berada di ruang hampa. Perdebatan otonomi daerah dan pemerintahan daerah tidak membumi.
 Presiden, Sang Konduktor
Dalam sebuah negara-bangsa, desentralisasi tidak hadir sebagai satu-satunya instrumen. Instrumen negara-bangsa yang lain adalah, pertama, sentralisasi, di mana elemen pemerintah pusat dan aparatusnya di pusat pemerintahan bekerja. Elemen inilah yang bertanggung jawab secara akumulatif keseluruhan total kinerja pemerintahan.
Kedua, elemen dekonsentrasi, masih seirama dengan sentralisasi, hanya saja ditempatkan di daerah. Tidak mungkin sebuah negara-bangsa dengan penduduk besar dan geografi yang luas semua hal dikendalikan hanya dari pusat pemerintahan. Untuk itu harus ada orang-orang pusat di daerah. Mereka bertugas memberikan pelayanan, manajemen pembangunan nasional, dan mengawasi perilaku warga agar sejalan dengan kebijakan nasional.
Ketiga, elemen semiotonom yang dibentuk oleh pemerintah pusat agar operasi langsung pelayanan publik dapat lebih efektif dan sesuai. Munculnya BUMN, otorita, dan badan-badan independen pemerintah pusat adalah dalam rangka tujuan ini.
Keempat, elemen desentralisasi, yakni pemerintahan daerah dengan otonominya. Elemen ini yang mengakomodasi tuntutan dan aspirasi lokal lebih terakomodasi dalam pemerintahan sehingga keputusan-keputusan politik lokal muncul. Terdapat hukum lokal yang mampu dibuat oleh masyarakatnya sendiri melalui badan-badan pemerintahan daerah yang dibentuk. Namun, otonomi ini tunduk pada hukum nasional. Tidak boleh bertentangan secara prinsip meskipun menampung keberagaman sesuai area urusan yang diotonomikan.
Keempat elemen tersebut ada dalam ranah pemerintahan nasional (eksekutif). Oleh karena itu, fungsinya adalah dalam rangka pelayanan publik, manajemen pembangunan, dan pemerintahan bukan fungsi legislatif dan yudikatif yang tidak terkait dengan ketiga hal tersebut. Tidak ada otonomi di luar bidang eksekutif. Tidak ada sentralisasi, dekonsentrasi, dan delegasi di luar bidang eksekutif untuk kepentingan pelayanan publik, manajemen pembangunan dan pemerintahan. Dengan demikian, adanya DPRD adalah dalam rangka pemerintahan di daerah.
Dalam hal ini, kepala pemerintahan adalah konduktor atau pengarah dan pengendali semua elemen tersebut. Jika tak efektif, Presiden harus mampu menciumnya untuk ditangani. Jika terjadi kesenjangan antara otonomi dan tujuan-tujuan substansial salah satu bidang, katakanlah pertanian dan tata guna lahan, maka harus dikoreksi oleh kepala pemerintahan. Begitu pun yang menyangkut instrumen lainnya.
Fragmentasi
John D Legge pada 1950-an menilai bahwa Indonesia dicirikan oleh fragmentasi sosial yang amat tinggi. Akibatnya, fragmentasi politik pun terjadi. Dalam kondisi demikian, Hindia Belanda mengadopsi sistem pemerintahan yang terintegrasi untuk menguasai tanah koloni Indonesia. Sesungguhnya, sejak kemerdekaan pun sistem tersebut terus diadopsi dan mengalami pasang surut.
Derajat kekuatan sistem tersebut terjadi di awal kemerdekaan, kemudian surut pada masa liberalisme 1950-an akhir, menguat kembali pada masa Soekarno sampai berakhirnya rezim Soeharto. Kini sistem tersebut mengalami surut kembali, di mana terjadi fragmentasi politik yang cukup tinggi yang masuk dalam area formal bangun NKRI.
Hubungan pusat-daerah menggelembung sejak UU No 22/1999 hasil reformasi berlaku, di mana di tingkat kabupaten/kota penyerahan urusan dilakukan secara umum dan luas. Kabupaten/kota berubah status otonominya betul-betul murni tanpa diikat dengan status wilayah administrasi. Sistem fragmentasi ini dilanjutkan pada masa UU No 32/2004 yang sekarang berlaku. Sistem integrasi hanya dipertahankan di provinsi. Akomodasi fragmentasi politik dalam bangun NKRI diperkuat dengan pilkada langsung.
Apa pun hasil reformasi tata instrumen pemerintahan itu, yang terpenting apakah soal pendidikan, pertanian dan tata guna lahan, pengairan, katakanlah, dapat diatasi secara efektif oleh instrumen-instrumen NKRI secara bersamaan-sinergis dan harmonis sehingga tidak terbengkalai berbagai persoalan anak bangsa. Apakah sang konduktor, dalam hal ini Presiden RI, memahami adanya gap yang terjadi? Kemudian, langkah-langkah strategis apa agar kesenjangan tersebut dapat diminimalisasi?
Memang Presiden tidak dapat bertindak sendiri untuk mengatasi soal ini, tetapi kesadaran bangsa Indonesia juga menentukan. Apakah instrumen-instrumen dalam NKRI diterima? Jangan-jangan sebelum membahas efektivitas keempat elemen tersebut, kita malah mempertanyakan NKRI itu sendiri: apakah terus NKRI kita yakini dan sepakati sebagai bentuk negara yang ideal untuk Indonesia kini dan ke depan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar