|
Gizi Buruk
sebagai Aib
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi
Masyarakat FEMA IPB
|
KOMPAS,
12 November 2012
|
Aib berarti sesuatu yang
memalukan. Siapa pun yang menyandang aib akan berusaha menutupinya agar tidak
menyebar.
Kasus
gizi buruk di Bogor (Kompas, 1/11/2012) kembali menyentak kita. Ternyata ada
orangtua yang merasa malu menimbangkan anaknya di posyandu karena anaknya
kurus dan pertumbuhannya terganggu.
Keadaan
terus berlanjut, anak yang semula hanya berstatus gizi kurang semakin parah
dan akhirnya merosot ke status gizi buruk. Barulah kemudian kader posyandu,
bidan, atau LSM merujuknya untuk dirawat intensif. Namun, keadaan sering
telanjur parah sehingga anak bergizi buruk dapat menemui ajalnya.
Kepada
pemerintah, gizi buruk memang sebaiknya jangan dianggap sebagai aib.
Jadikanlah cambuk agar tidak berulang. Munculnya kasus-kasus gizi buruk
secara sporadis menunjukkan belum efektifnya sistem pemantauan gizi anak.
Posyandu adalah ujung tombak yang mengawasi pertumbuhan anak di masyarakat.
Namun, posyandu kini seperti pepatah ”hidup segan mati tak mau”. Rencana
pemerintah untuk memberdayakan posyandu ternyata masih wacana.
Jumlah
posyandu saat ini mencapai 242.124 unit, tetapi diperkirakan hanya 40 persen
yang melaksanakan fungsi dengan baik. Pemberdayaan posyandu harus didukung dana
pemerintah, terutama untuk insentif kader, agar kader lebih berkomitmen
menjalankan tugasnya.
Sarana
pendukung posyandu masih sangat minim. Tempat penyelenggaraan posyandu bisa
di mana saja karena jarang yang memiliki tempat permanen. Akibatnya, acara
kunjungan ke posyandu menjadi tidak nyaman. Jadi, pantas saja kalau tingkat
partisipasi semakin turun.
Media
penyuluhan gizi seperti poster dan brosur jarang ditemukan. Yang lebih
memprihatinkan, kartu menuju sehat (KMS) yang menjadi sumber informasi tumbuh
kembang anak ternyata tidak mencukupi jumlahnya. Padahal, harga KMS hanya Rp
2.500 per eksemplar. Intinya, posyandu sebagai andalan pemerintah untuk
menanggulangi persoalan gizi masyarakat ternyata berjalan tertatih-tatih.
Makanan
tambahan yang disediakan kebanyakan posyandu di Tanah Air kebanyakan bubur
kacang hijau. Maka, ketika menjadi juri Lomba Posyandu Tumbuh-Aktif-Tanggap
Tingkat Nasional di Jakarta, pertengahan Oktober 2012, saya angkat topi
terhadap perwakilan posyandu Yogyakarta (diwakili tim Kabupaten Kulon Progo).
Kader-kadernya setiap bulan menyediakan makanan lengkap (meal, bukan snack) untuk
anak-anak balita yang datang.
Data
statistik menunjukkan, angka gizi kurang/gizi buruk di Yogyakarta termasuk
rendah, demikian pula dengan angka kematian bayi. Inilah cermin kualitas
sumber daya manusia yang menjadi impian bangsa kita.
Oleh
sebab itu, saya mengusulkan anak-anak peserta posyandu mendapat bantuan
pangan yang mencukupi 30 persen dari angka kecukupan gizi anak balita.
Mengapa demikian?
Fenomena
masalah gizi, menurut Badan PBB untuk Anak- anak (Unicef), berakar dari
kemiskinan yang menyebabkan keluarga-keluarga miskin tidak mampu mengakses
pangan secara cukup. Pada hakikatnya, orang miskin tidak perlu penyuluhan
gizi muluk-muluk. Yang lebih penting adalah mereka bisa mengakses pangan
murah.
Munculnya
kembali anak balita bergizi buruk adalah wujud kurangnya perhatian pemerintah
daerah, dalam hal ini instansi kesehatan, menyikapi data pemantauan status
gizi yang menjadi bagian dari Food and Nutrition Surveillance System.
Penelitian kami tentang implementasi program gizi tahun 2007 menunjukkan bahwa
kelemahan utama program posyandu adalah dalam hal penyuluhan gizi dan
pemberian makanan tambahan (PMT). Tampaknya anak balita Indonesia selama ini
lebih banyak ditimbang dan diimunisasi saja. Pantas kalau korban gizi buruk
terus berjatuhan.
Penelitian
oleh Muhammad Aries (2006) dengan menggunakan data tahun 2003 mengungkapkan
bahwa kerugian ekonomi akibat kurang gizi pada anak balita Rp 6,04 triliun
sampai Rp 25,26 triliun. Tahun 2003 total anggaran untuk perbaikan gizi
adalah Rp 550,16 miliar atau hanya 0,03 persen terhadap pendapatan domestik
bruto Indonesia. Rata-rata anggaran untuk PMT per provinsi hanya Rp 8,94
miliar. Kerugian akibat gizi buruk adalah rendahnya kemampuan kognitif dan
rendahnya produktivitas kerja.
Investasi
di bidang gizi adalah investasi berdurasi panjang, karena itu dampaknya
mungkin baru akan muncul setelah beberapa dekade. Maka, gizi perlu menjadi
indikator keberhasilan pembangunan terkait program pengentasan orang miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar