|
Pahlawan di
Negeri Korup
Munawir Aziz ; Alumnus Center for Religious and
Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
|
SUARA
MERDEKA, 10 November 2012
|
KORUPSI jadi wabah yang terus
memburu korban dan menyusup dalam mental manusia Indonesia. Mental koruptif
warga negeri ini sudah mencapai titik akut. Pemegang kuasa, dari pucuk
tertinggi sampai struktur desa, sering tergoda mempraktikkan korupsi.
Tindakan koruptif seolah-olah menjadi watak, mekanisme berpikir, dan strategi
bekerja yang mengesampingkan sikap kreatif.
Mekanisme kerja manusia
koruptif mendasarkan pada struktur berpikir instan yang merasuk dalam pikiran
dan tubuh. Mental dan skema kerja semacam itu menghapus kreativitas untuk
menjadi manusia produktif.
Usaha-usaha untuk membuka kedok
koruptor seringi terhambat oleh kepentingan antarkepentingan. Politisasi
hukum membuat gerakan pemberantasan korupsi mati suri. Dari hiruk-pikuk kasus
korupsi, kasus Hambalang saat ini menjadi isu paling seksi karena terkait
dengan politikus yang digadhang-gadhang tampil sebagai capres mendatang: Anas
Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng; atau menghantam jejaring politik
partai penguasa.
Di sisi lain, langkah Menteri
Dahlan Iskan untuk membeber nama anggota DPR pemeras BUMN, merupakan babak
baru dalam pemberantasan korupsi. Dahlan berusaha membereskan ’’rumah
sendiri’’ yang selama ini menjadi sapi perah politikus Senayan. Kendati
strategi Dahlan dalam berkonfrontasi dengan wakil rakyat menjadi berita panas
di media, keberanian Dahlan perlu diapresiasi meski perlu dibarengi dengan
kinerja BUMN dalam langkah pemberantasan korupsi di internal birokrasi.
Tragedi Korupsi
Sikap korupsi jadi pertaruhan
di persimpangan jalan reformasi birokrasi di negeri: perjuangan melawan
kemungkaran korupsi diteruskan, atau disumbat dengan rekayasa kriminalisasi
pejuang antikorupsi?
Perjuangan antikorupsi yang
menggelora dalam iklim reformasi pasca-1998 penting untuk terus didukung.
Mental koruptif yang mengidap dalam imajinasi manusia Indonesia harus
dibongkar, meski berbenturan dengan risiko dan pengorbanan.
Kasus korupsi yang menjadi
konflik antarpejabat, perdebatan pegiat hukum, dan isu politik di ranah
elite, penting untuk segera dicari titik terangnya. Saat ini, Indonesia
sedang membutuhkan pahlawan antikorupsi. Tidak cukup hanya KPK sebagai
lembaga pemberantas koruptor, tapi juga perlu dukungan pahlawan-pahlawan
antikorupsi di berbagai instansi lintas geografis.
Pahlawan kemerdekaan dan
kebangsaan negeri ini sudah sedemikian banyak, namun pahlawan antikorupsi
belum diikrarkan. Pahlawan antikorupsi akan berjuang dengan mental asketis,
analisis progresif, dan kerja revolusioner. Aktivis dan pejuang antikorupsi
hadir untuk memberi perhatian dan kesaksian narasi sejarah perselingkuhan
uang-kuasa.
Mental koruptif manusia
Indonesia sudah saatnya dirombak dengan imajinasi dan cara berpikir yang
lebih segar. Membaca manusia Indonesia dewasa ini adalah membaca tubuh
korupsi, kepala konflik, tangan rekayasa, dan kaki dusta. Kasus korupsi yang
menghantam manusia dewasa ini, merupakan cermin refleksi masa lalu, membaca
masa kini, dan menerka masa depan.
Pahlawan Asketis
Indonesia seolah menjadi
panggung pertunjukan rekayasa hukum yang rumit, pelik, dan melibatkan banyak
elite politik. Orientasi pejabat negeri ini sering berujung akumulasi
keuntungan dan penumpukan kekayaan. Pahlawan korupsi yang berjiwa asketis dan
bekerja progresif sangat dirindukan.
Keith Foulcer (2008) melukiskan
bagaimana pahlawan dan para pendiri negeri ini berani memperjuangkan impian
yang pada waktu itu hampir mustahil tercapai. Perjuangan hidup pejuang
kemerdekaan didasari asketisme politik dan visi kebudayaan yang konkret.
Dalam risetnya tentang politik bahasa dan kemerdekaan Indonesia, Foulcer mengungkap
sikap pejuang pada masa persiapan kemerdekaan yang rela kejar-kejaran dengan
militer kolonial agar tak tertangkap ketika memberi semangat pemuda di
beberapa wilayah.
Pejuang semisal Bung Karno,
Hatta, Yamin, Armijn Pane dan beberapa tokoh lain yang ngotot untuk memakai
Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk memperjuangkan cita-cita besar
kemerdekaan.
Sikap asketis pahlawan
kemerdekaan menjadi refleksi untuk membaca tokoh Indonesia dewasa ini. Cindy
Adams (1965) dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Masyarakat Indonesia,
mengisahkan bagaimana Soekarno hidup dengan uang terbatas ketika
mengorganisasi pemuda. Bahkan menantu HOS Tjokroaminoto ini hidup dengan
sedikit dana untuk menghidupi keluarga dan membiayai perjalanan serta kerja
sosial mencerdaskan pemuda.
Bung Karno dan tokoh-tokoh lain
juga sering iuran untuk membiayai perjuangan. Bagaimana kondisi manusia
Indonesia mutakhir? Sikap asketis susah ditemukan dalam laku-ilmu manusia
negeri ini. Pahlawan yang punya mental asketis, visi antikorupsi, dan keberanian
bertindak sedang dinanti. Rekayasa hukum, konflik elite, dan skandal korupsi
di negeri ini membutuhkan pahlawan penyelamat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar