|
Kegagapan Sikapi
“TKI on Sale”
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti pada Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan
Universitas
Paramadina Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 10 November 2012
|
"Sejujurnya, mengirimkan TKI ke luar negeri amat memalukan
karena kita seperti merendahkan harkat dan martabat"
SETELAH masyarakat Indonesia
gerah berkait pemberitaan tentang iklan ’’TKI on Sale’’ di Malaysia, kini
publik kembali terusik dengan kasus serupa yang terjadi di Singapura. Di
negara itu, tepatnya di Mal Bukit Timah Plaza, ditemukan banyak reklame
tentang penawaran pekerja rumah tangga (TKI) asal Jawa. Siapa yang harus
dipersalahkan dengan kondisi semacam itu?
Selama ini, pemerintah memang
menjadikan TKI sebagai industri yang bisa menghasilkan aset, atau merupakan
investasi besar bagi negara. Seolah-olah ingin menghargai, pemerintah
menyebutnya pahlawan devisa. Dalam terma resmi, pemerintah juga mengganti
istilah TKW yang dikirim sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dengan sebutan
penata laksana rumah tangga (PLRT).
Benarkah pemerintah sudah
memberi perlindungan maksimal kepada TKI yang bekerja di luar negeri?
Benarkah pemerintah senyatanya menghargai mereka, antara lain membantu mereka
yang tertimpa masalah di negara tujuan, tak sekadar menyanjung dengan sebutan
pahlawan devisa atau mengganti sebutan pembantu rumah tangga dengan penata
laksana rumah tangga?
Sejujurnya, mengirim TKI ke
luar negeri sangat memalukan karena harkat dan martabat Indonesia sebagai
bangsa merdeka seperti direndahkan. Terlebih bila yang dikirim adalah tenaga
yang kurang, bahkan tidak terdidik (unskill labour). Tentu menjadi tantangan
bagi pemerintah untuk membuka peluang kerja lebih luas lagi di negara
sendiri.
Ada dua cara yang lazim
ditempuh TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Pertama; lewat jalur formal,
yang dikelola biro penyalur tenaga kerja, dan seizin pemerintah. Kedua;
melalui jalur ilegal, dan ada pihak tertentu, sebagian besar justru warga
Indonesia, yang menjadi calon ’’menyelundupkan’’ tenaga kerja kita
lewat jalur laut atau darat.
Pemberangkatan lewat cara kedua
itulah yang kadang bermasalah. Ketika tenaga kerja kita mengalami kekerasan,
ia berada di posisi lemah. Negara penerima akan menyalahkan karena TKI itu
masuk secara ilegal. Belum lagi semua dokumen dipalsukan sehingga
pemerintah kita kesulitan melacak dan memberi bantuan. Sudah bukan rahasia
lagi, semua data TKI yang diberangkatkan secara ilegal biasanya dipalsukan.
Dari nama, tangga/ tempat lahir, hingga daerah asal, semua dipalsukan oleh
calo.
Di sisi lain, pemerintah
kita dinilai lembek ketika ada TKI yang mendapat perlakuan tidak
menyenangkan, bahkan lebih dari itu, semisal penganiayaan, pelecehan seks
untuk TKW, pelanggaran kontrak kerja dan sebagainya. Padahal notabene negara
diuntungkan oleh buruh migran itu karena menjadi sumber devisa dalam jumlah
besar bagi negara.
Semestinya ada kebijakan
pemerintah yang benar-benar bisa menjamin keberadaan buruh migran di luar
negeri, apalagi bermukim dalam waktu lama. Dari sisi ini, setidak-tidaknya
pemerintah perlu mengambil tiga tindakan ketika menelurkan kebijakan baru
bagi TKI yang ingin bekerja di luar negeri.
Pertama; harus berkoordinasi
dengan perwakilan negara kita di luar negeri, seperti kedubes, yang bertugas
antara lain mendata, mengayomi, atau memantau keberadaan TKI di negara
tujuan. Kedua; wajib memberikan bantuan hukum bila ada TKI tersangkut masalah
hukum. Ketiga; negara harus mengusut tuntas kekerasan, atau pelanggaran
HAM.
Tiga hal itu harus menjadi
prinsip, tekad, dan benar-benar dijalankan, bukan sekadar retorika. Selama
ini tradisi dan budaya negeri ini hanya komprehensif dalam dataran wacana dan
peraturan, namun di lapangan tak sesuai dengan teori. Pemerintah harus dapat
membuktikan ada kesamaan antara teori/ regulasi dan praktik, terutama
menyangkut persoalan TKI.
Peluang Kerja
Pemerintah juga harus menjamin
akan mengimplementasikan tindakan itu sesuai dengan tuntutan dan keinginan
masyarakat luas. Selama ini masyarakat menganggap pemerintah kurang sigap,
bahkan tidak berani, menghadapi negara-negara tempat buruh migran kita
mengalami kasus kekerasan atau pelanggaran HAM.
Seandainya tidak mampu
melindungi secara maksimal TKI informal di luar negeri, sebaiknya pemerintah
menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, kecuali tenaga terdidik
semisal perawat, guru, dosen, dan sebagainya. Selain itu, membuka peluang
kerja seluas-luasanya di dalam negeri sehingga keberadaan pemerintah
dirasakan manfaatnya oleh warga negara.
Seharusnya, memang seperti itu
tugas dan fungsi negara, yaitu mengatur dan menjamin kesejahteraan, serta
keselamatan warga negara dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan,
bahkan kebodohan dan kemiskinan. Terlebih bila mengacu UUD 1945, negara
kita menganut sistem negara kesejahteraan.
Karena itu, pemerintah juga
mempunyai tugas dan kewajiban menyejahterakan kehidupan warga negara,
salah satu implementasinya adalah memberikan peluang kerja seluas-luasnya di
negeri sendiri.
Menyangkut regulasi TKI, sudah
saatnya pemerintah memperbaiki sistem ketenagakerjaan dengan banyak belajar
dari kasus yang merugikan tenaga kerja Indonesia. Perubahan kadang terjadi
karena ada keinginan dan upaya memperbaiki, belajar dari kasus yang pernah
terjadi. Sebaliknya, sebuah bangsa dikatakan teramat bodoh bila membiarkan,
bahkan tidak bisa mengambil pelajaran dari kejadian merugikan sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar