Selasa, 13 November 2012

Kegagapan Sikapi “TKI on Sale”


Kegagapan Sikapi “TKI on Sale”
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 10 November 2012



"Sejujurnya, mengirimkan TKI ke luar negeri amat memalukan karena kita seperti merendahkan harkat dan martabat"

SETELAH masyarakat Indonesia gerah berkait pemberitaan tentang iklan ’’TKI on Sale’’ di Malaysia, kini publik kembali terusik dengan kasus serupa yang terjadi di Singapura. Di negara itu, tepatnya di Mal Bukit Timah Plaza, ditemukan banyak reklame tentang penawaran pekerja rumah tangga (TKI) asal Jawa. Siapa yang harus dipersalahkan dengan kondisi semacam itu?

Selama ini, pemerintah memang menjadikan TKI sebagai industri yang bisa menghasilkan aset, atau merupakan investasi besar bagi negara. Seolah-olah ingin menghargai, pemerintah menyebutnya pahlawan devisa. Dalam terma resmi, pemerintah juga mengganti istilah TKW yang dikirim sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dengan sebutan penata laksana rumah tangga (PLRT).

Benarkah pemerintah sudah memberi perlindungan maksimal kepada TKI yang bekerja di luar negeri? Benarkah pemerintah senyatanya menghargai mereka, antara lain membantu mereka yang tertimpa masalah di negara tujuan, tak sekadar menyanjung dengan sebutan pahlawan devisa atau mengganti sebutan pembantu rumah tangga dengan penata laksana rumah tangga?

Sejujurnya, mengirim TKI ke luar negeri sangat memalukan karena harkat dan martabat Indonesia sebagai bangsa merdeka seperti direndahkan. Terlebih bila yang dikirim adalah tenaga yang kurang, bahkan tidak terdidik (unskill labour). Tentu menjadi tantangan bagi pemerintah untuk membuka peluang kerja lebih luas lagi di negara sendiri.

Ada dua cara yang lazim ditempuh TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Pertama; lewat jalur formal, yang dikelola biro penyalur tenaga kerja, dan seizin pemerintah. Kedua;  melalui jalur ilegal, dan ada pihak tertentu, sebagian besar justru warga Indonesia, yang menjadi calon ’’menyelundupkan’’ tenaga kerja kita lewat  jalur laut atau darat.

Pemberangkatan lewat cara kedua itulah yang kadang bermasalah. Ketika tenaga kerja kita mengalami kekerasan, ia berada di posisi lemah. Negara penerima akan menyalahkan karena TKI itu masuk secara ilegal. Belum lagi  semua dokumen dipalsukan sehingga pemerintah kita kesulitan melacak dan memberi bantuan. Sudah bukan rahasia lagi, semua data TKI yang diberangkatkan secara ilegal biasanya dipalsukan. Dari nama, tangga/ tempat lahir, hingga daerah asal, semua dipalsukan oleh calo.

Di sisi lain, pemerintah kita  dinilai lembek ketika ada TKI yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan, bahkan lebih dari itu, semisal penganiayaan, pelecehan seks untuk TKW, pelanggaran kontrak kerja dan sebagainya. Padahal notabene negara diuntungkan oleh buruh migran itu karena menjadi sumber devisa dalam jumlah besar bagi negara.

Semestinya ada kebijakan pemerintah yang benar-benar bisa menjamin keberadaan buruh migran di luar negeri, apalagi bermukim dalam waktu lama. Dari sisi ini, setidak-tidaknya pemerintah perlu mengambil tiga tindakan ketika menelurkan kebijakan baru bagi TKI yang ingin bekerja di luar negeri.

Pertama; harus berkoordinasi dengan perwakilan negara kita di luar negeri, seperti kedubes, yang bertugas antara lain mendata, mengayomi, atau memantau keberadaan TKI di negara tujuan. Kedua; wajib memberikan bantuan hukum bila ada TKI tersangkut masalah hukum. Ketiga; negara harus mengusut tuntas kekerasan, atau  pelanggaran HAM.

Tiga hal itu harus menjadi prinsip, tekad, dan benar-benar dijalankan, bukan sekadar retorika. Selama ini tradisi dan budaya negeri ini hanya komprehensif dalam dataran wacana dan peraturan, namun di lapangan tak sesuai dengan teori. Pemerintah harus dapat membuktikan ada kesamaan antara teori/ regulasi dan praktik,  terutama menyangkut persoalan TKI.

Peluang Kerja

Pemerintah juga harus menjamin akan mengimplementasikan tindakan itu sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat luas. Selama ini masyarakat menganggap pemerintah kurang sigap, bahkan tidak berani, menghadapi negara-negara tempat buruh migran kita mengalami kasus kekerasan atau pelanggaran HAM.

Seandainya tidak mampu melindungi secara maksimal TKI informal di luar negeri, sebaiknya pemerintah menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, kecuali tenaga terdidik semisal perawat, guru, dosen, dan sebagainya. Selain itu, membuka peluang kerja seluas-luasanya di dalam negeri sehingga keberadaan pemerintah dirasakan manfaatnya oleh warga negara.

Seharusnya, memang seperti itu tugas dan fungsi negara, yaitu mengatur dan menjamin kesejahteraan, serta keselamatan warga negara dari segala kejahatan, pelanggaran HAM, penjajahan, bahkan kebodohan dan kemiskinan. Terlebih bila mengacu UUD 1945, negara kita  menganut sistem negara kesejahteraan.
Karena itu, pemerintah juga mempunyai  tugas dan kewajiban menyejahterakan kehidupan warga negara, salah satu implementasinya adalah memberikan peluang kerja seluas-luasnya di negeri sendiri.

Menyangkut regulasi TKI, sudah saatnya pemerintah memperbaiki sistem ketenagakerjaan dengan banyak belajar dari kasus yang merugikan tenaga kerja Indonesia. Perubahan kadang terjadi karena ada keinginan dan upaya memperbaiki, belajar dari kasus yang pernah terjadi. Sebaliknya, sebuah bangsa dikatakan teramat bodoh bila membiarkan, bahkan tidak bisa mengambil pelajaran dari kejadian merugikan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar