|
Pahlawan untuk
Pahlawan
Mariyadi Faqih ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum Di PPS Unibraw
|
SUARA
KARYA, 12 November 2012
|
Sosok manusia
ditugaskan jadi aktor sejarah yang wajib saling bersama dalam membangun
toleransi dan kooperatifnya. Sayangnya, banyak manusia yang menjatuhkan opsi
menolak jadi pahlawan ini, dan lebih suka menjadi pelanggar, perusak, dan
produsen perilaku yang merugikan hak-hak manusia lain. Mereka ini sukanya
mencabut kedamaian dan keharmonisan sosial, atau menghadirkan keterjajahan
bagi sesamanya.
Mereka itu sudah
diingatkan oleh adagium bahwa 'penjajahan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih
menyakitkan dan menyengsarakan dibandingkan dijajah bangsa lain.' Perbudakan
oleh bangsa sendiri itu jauh lebih menestapakan dan mendehumanisasikan
dibandingkan dijajah bangsa lain.
Tentu
saja, dalam bentuk apa pun, yang namanya penjajahan atau perbudakan, tetaplah
sebagai perilaku yang bermodus dehumanistik, cermin kesewenang-wenangan, dan
kejahatan yang mencabik-cabik harkat kemanusiaan, yang seharusnya dijadikan
musuh bersama (common enemy) oleh setiap manusia dan bangsa mana pun di muka
bumi, apalagi jika itu dilakukan oleh bangsa sendiri.
Pertama,
bangsa sendiri itu seharusnya berdiri di garis depan penjagaan atau
perlindungan citra dari segala bentuk penyakit bertajuk penindasan. Kedua,
bangsa sendiri adalah saudara se-nation yang seharusnya memahami kesulitan
yang diderita saudaranya, dan bukannya justru menciptakan sumber malapekata
kemanusiaan dan nasional. Ketiga, sesama anak bangsa ini lebih tahu kondisi
ketidakberdayaan yang menimpa sesamanya, yang seharusnya diberdayakan, dan
bukannya diperdaya secara sistemik dan masif.
Mereka
yang dinafikan keberdayaannya ini adalah cermin pahlawan dalam ketertindasan.
UDHR (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 4 menyebutkan tidak
seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan
budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.
Dalam
Pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga
disebutkan bahwa hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi dan
mendapat persamaan di hadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan
oleh siapa pun.
Dari
Deklarasi Universal dan UU HAM tersebut, maka segala bentuk perbudakan
tergolong pelecehan dan pengamputasian martabat kemanusiaan. Termasuk,
memperdagangkan manusia (trafficking) yang sangat dikutuk dan dilarang.
Masalahnya, mengapa memperdagangkan manusia identik dengan perbudakan?
Dalam
trafficking, ada penjinakan kemerdekaan, pemasungan kebebasan, penafian
ekspresi, perampasan berinovasi, dan penghilangan hak memilih, di samping
komulasi berbagai bentuk pezaliman yang diabsahkan oleh pebisnis atau
pedagangnya. Mereka yang terlibat dalam trafficking sama artinya telah atau
sedang menjerumuskan para pahlawan dalam lingkaran ketidakberdayaan, keteraniayaan,
dan ketertindasan luar biasa.
Penjerumusan
pahlawan dalam lingkaran setan ketidakberdayaan dan keteraniayaan seperti
yang kini sedang menimpa sebagian perempuan Indonesia, adalah bentuk lain
dari perbudakan gaya baru atau neokolonialisme yang diabsahkan oleh kaum
sindikat. Komunitas bajingan atau pedagang dehumanisasi ini diduga
menggunakan jalur birokrasi kotor atau korporasi PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga
Kerja Indonesia) plat hitam yang berkolaborasi dengan oknum aparat dan
birokrat, serta sindikat-sindikat internasional untuk memperdagangkan
perempuan. Realitas ketidakberdayaan pahlawan itu disebut oleh Meutia Hatta
Swasono sebagai 'tidak ada yang lebih kejam di dunia ini kecuali para pelaku
kejahatan perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak)'. Masalah perdagangan
perempuan dan anak-anak masalah serius yang harus ditangani secara
profesional. Pasalnya, Indonesia masih ditempatkan sebagai negara pemasok
dalam jaringan perdagangan perempuan dan anak-anak ke banyak negara di dunia.
Perdagangan anak dan perempuan tidak hanya terjadi di satu wilayah, hampir
seluruh wilayah tidak luput dari sindikat perdagangan perempuan dan
anak-anak.
Faktanya,
Indonesia menjadi salah satu negara pemasok utama perdagangan perempuan dan
anak-anak tersebut. Tidak hanya ke Singapura, Malaysia, dan negara ASEAN
saja. Bahkan, di Eropa pun ditemukan banyak perempuan Indonesia dijual untuk
perkawinan pesanan dengan orang usia lanjut. Bisnis perdagangan perempuan dan
anak-anak sekarang ini menduduki peringkat ketiga dunia setelah perdagangan
senjata dan obat-obatan psikotropika dari segi keuntungan yang didapat.
Ironisnya,
jaringan perdagangan perempuan itu sulit diurai dan diberantas akibat oknum
bangsa yang tega mengabsahkan saudara sebangsa sebagai budak. Mereka mengail
keuntungan besar dan terus menebar jala untuk pundi-pundinya.
Proklamator Soekarno
mengingatkan bahwa "kita harus lawan setiap bentuk penjajahan, bekerja
keras melawan kemalasan, bebaskan diri dari kebodohan, dan merdekakan diri
dari status sebagai bangsa budak yang diperbudak bangsa lain." Tugas
kita menempatkan setiap bentuk perbudakan sebagai musuh bersama.
Kita wajib mendisain
diri menjadi pahlawan tidak boleh membiarkan para pekerja Indonesia, yang
sejatinya adalah pahlawan bangsa dan keluarga, dijadikan komoditas seksual,
iklan produk politik penindasan, diskriminasi, dan berbagai sikap dan
perilaku oknum elitis yang melecehkan harkat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar