Selasa, 13 November 2012

Pahlawan untuk Pahlawan


Pahlawan untuk Pahlawan
Mariyadi Faqih ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum Di PPS Unibraw
SUARA KARYA, 12 November 2012

  
Sosok manusia ditugaskan jadi aktor sejarah yang wajib saling bersama dalam membangun toleransi dan kooperatifnya. Sayangnya, banyak manusia yang menjatuhkan opsi menolak jadi pahlawan ini, dan lebih suka menjadi pelanggar, perusak, dan produsen perilaku yang merugikan hak-hak manusia lain. Mereka ini sukanya mencabut kedamaian dan keharmonisan sosial, atau menghadirkan keterjajahan bagi sesamanya.
Mereka itu sudah diingatkan oleh adagium bahwa 'penjajahan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih menyakitkan dan menyengsarakan dibandingkan dijajah bangsa lain.' Perbudakan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih menestapakan dan mendehumanisasikan dibandingkan dijajah bangsa lain.
Tentu saja, dalam bentuk apa pun, yang namanya penjajahan atau perbudakan, tetaplah sebagai perilaku yang bermodus dehumanistik, cermin kesewenang-wenangan, dan kejahatan yang mencabik-cabik harkat kemanusiaan, yang seharusnya dijadikan musuh bersama (common enemy) oleh setiap manusia dan bangsa mana pun di muka bumi, apalagi jika itu dilakukan oleh bangsa sendiri.
Pertama, bangsa sendiri itu seharusnya berdiri di garis depan penjagaan atau perlindungan citra dari segala bentuk penyakit bertajuk penindasan. Kedua, bangsa sendiri adalah saudara se-nation yang seharusnya memahami kesulitan yang diderita saudaranya, dan bukannya justru menciptakan sumber malapekata kemanusiaan dan nasional. Ketiga, sesama anak bangsa ini lebih tahu kondisi ketidakberdayaan yang menimpa sesamanya, yang seharusnya diberdayakan, dan bukannya diperdaya secara sistemik dan masif.
Mereka yang dinafikan keberdayaannya ini adalah cermin pahlawan dalam ketertindasan. UDHR (Universal Declaration of Human Rights) Pasal 4 menyebutkan tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.
Dalam Pasal 4 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga disebutkan bahwa hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi dan mendapat persamaan di hadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Dari Deklarasi Universal dan UU HAM tersebut, maka segala bentuk perbudakan tergolong pelecehan dan pengamputasian martabat kemanusiaan. Termasuk, memperdagangkan manusia (trafficking) yang sangat dikutuk dan dilarang. Masalahnya, mengapa memperdagangkan manusia identik dengan perbudakan?
Dalam trafficking, ada penjinakan kemerdekaan, pemasungan kebebasan, penafian ekspresi, perampasan berinovasi, dan penghilangan hak memilih, di samping komulasi berbagai bentuk pezaliman yang diabsahkan oleh pebisnis atau pedagangnya. Mereka yang terlibat dalam trafficking sama artinya telah atau sedang menjerumuskan para pahlawan dalam lingkaran ketidakberdayaan, keteraniayaan, dan ketertindasan luar biasa.
Penjerumusan pahlawan dalam lingkaran setan ketidakberdayaan dan keteraniayaan seperti yang kini sedang menimpa sebagian perempuan Indonesia, adalah bentuk lain dari perbudakan gaya baru atau neokolonialisme yang diabsahkan oleh kaum sindikat. Komunitas bajingan atau pedagang dehumanisasi ini diduga menggunakan jalur birokrasi kotor atau korporasi PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia) plat hitam yang berkolaborasi dengan oknum aparat dan birokrat, serta sindikat-sindikat internasional untuk memperdagangkan perempuan. Realitas ketidakberdayaan pahlawan itu disebut oleh Meutia Hatta Swasono sebagai 'tidak ada yang lebih kejam di dunia ini kecuali para pelaku kejahatan perdagangan manusia (perempuan dan anak-anak)'. Masalah perdagangan perempuan dan anak-anak masalah serius yang harus ditangani secara profesional. Pasalnya, Indonesia masih ditempatkan sebagai negara pemasok dalam jaringan perdagangan perempuan dan anak-anak ke banyak negara di dunia. Perdagangan anak dan perempuan tidak hanya terjadi di satu wilayah, hampir seluruh wilayah tidak luput dari sindikat perdagangan perempuan dan anak-anak.
Faktanya, Indonesia menjadi salah satu negara pemasok utama perdagangan perempuan dan anak-anak tersebut. Tidak hanya ke Singapura, Malaysia, dan negara ASEAN saja. Bahkan, di Eropa pun ditemukan banyak perempuan Indonesia dijual untuk perkawinan pesanan dengan orang usia lanjut. Bisnis perdagangan perempuan dan anak-anak sekarang ini menduduki peringkat ketiga dunia setelah perdagangan senjata dan obat-obatan psikotropika dari segi keuntungan yang didapat.
Ironisnya, jaringan perdagangan perempuan itu sulit diurai dan diberantas akibat oknum bangsa yang tega mengabsahkan saudara sebangsa sebagai budak. Mereka mengail keuntungan besar dan terus menebar jala untuk pundi-pundinya.
Proklamator Soekarno mengingatkan bahwa "kita harus lawan setiap bentuk penjajahan, bekerja keras melawan kemalasan, bebaskan diri dari kebodohan, dan merdekakan diri dari status sebagai bangsa budak yang diperbudak bangsa lain." Tugas kita menempatkan setiap bentuk perbudakan sebagai musuh bersama.
Kita wajib mendisain diri menjadi pahlawan tidak boleh membiarkan para pekerja Indonesia, yang sejatinya adalah pahlawan bangsa dan keluarga, dijadikan komoditas seksual, iklan produk politik penindasan, diskriminasi, dan berbagai sikap dan perilaku oknum elitis yang melecehkan harkat bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar