Kamis, 22 November 2012

Nestapa Kemanusiaan Gaza


Nestapa Kemanusiaan Gaza
Andi Purwono ;  Dosen Hubungan Internasional,
Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 21 November 2012


SERANGAN roket Palestina dan pengeboman Israel atas Gaza terus berlanjut sehingga ratusan korban sipil terus berjatuhan. Protes antiperang dan kecaman di berbagai negara bermunculan, namun Presiden Amerika Serikat Barrack Obama menyebut aksi Israel sebagai hak membela diri. 

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun mengucap terima kasih kepada Amerika atas bantuan sistem pertahanan Iron Dome (sistem pertahanan rudal untuk ancaman roket jarak pendek) yang sukses memayungi warga Israel dari roket Hamas di Gaza. Mengapa nestapa Gaza berulang dan siapa saja yang bertanggung jawab?

Perang selalu menjadi fenomena rumit, baik dari sisi penyebab maupun implikasinya. Hakiki nestapa Gaza sebagai bagian dari konflik Palestina-Israel berawal dari perebutan wilayah Palestina oleh dua bangsa (Arab Palestina dan Yahudi). Bertumpang-tindih dengan klaim sejarah dan agama, dendam dan hasrat saling meniadakan, serta dukungan dan kepentingan berbeda banyak negara besar, konflik menjadi rumit dan susah diurai. 

Tulisan ini hendak menyampaikan gagasan bahwa pelanggaran terhadap prinsip dan aturan perang turut berkontribusi pada kelatenan konflik, termasuk kejatuhan banyak korban sipil. Secara jernih kita melihat bahwa kedua belah pihak bertanggung jawab atas pelanggaran krusial yang berujung nestapa Gaza. 
Pelanggaran pertama terkait dengan prinsip pembedaan (distinction) dalam perang. Pembedaan paling mendasar adalah antara pasukan dan nonpasukan (warga sipil). Sejak lama catatan konflik menunjukkan deret panjang tindakan kedua pihak yang membabi-buta dalam serangan masing-masing. 

Pelanggaran Prinsip

Banyak pihak di Palestina tak lagi menjadikan tank dan tentara Israel sebagai target tetapi juga menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Bom bunuh diri, bom mobil, hingga peluncuran roket acap mengenai warga sipil. Indoktrinasi surga bagi "pengantin" bom bunuh diri turut berkontribusi. 

Akibatnya, justru bumerang yang didapat, Israel selalu membalas lebih dahsyat dan berdalih serangan dilancarkan dalam kerangka pembelaan diri. Bahkan dalam versi Israel, Gaza masih terus diblokade demi alasan keamanan nasional. Nalar perang seperti itu juga bisa kita cermati dalam aksi militer Israel pada bulan ini yang tegas berlabel Operation Pillars of Defense (Pilar Pertahanan).

Namun dari sisi Israel, tanggung jawab juga harus diminta karena serangan tidak akurat semata-mata kepada kekuatan militer Hamas di Gaza tetapi juga properti sipil. Bahkan 6 wartawan menjadi korban.  Dalam perang sebelumnya ditemukan penggunaan senjata terlarang, yaitu cluster bomb (bom tandan, yaitu bom besar yang berisi banyak bom kecil yang akan menyebar dan meledak) dan juga bom fospor. Keduanya nyata-nyata telah menimbulkan banyak korban sipil. 

Kedua; terkait dengan prinsip pertama adalah pelanggaran prinsip pembatasan dan proporsional dalam kerangka keperluan militer. Serangan dalam perang hanya boleh digelar secara proporsional dengan tujuan melemahkan atau mengalahkan kekuatan militer musuh namun tidak boleh menghancurkan person dan instalasi nonmiliter. Menghadapi katapel dan lemparan batu  remaja Palestina dengan senapan dan tank  hakikatnya bagian dari pelanggaran prinsip ini. Pada perang sebelumnya melalui agresi darat terlihat jelas over acting Israel menyerang tanpa ampun dan meluluhlantakkan Gaza seperti laiknya pamer kekuatan. 

Pelanggaran perang kali ini terjadi seperti penyerangan pembangkit listrik kedua pihak. Publikasi video serangan udara Israel terhadap komandan tertinggi kelompok militan Islamis Hamas, Ahmed al-Jaabari dalam perjalanan mobil di kota Gaza juga justru menimbulkan kesan berlebihan itu. 

Pada hari keenam serangan dikabarkan bahwa rumah sakit bantuan rakyat Indonesia di Gaza juga tidak luput dari serangan. Jubir Kemenlu China Hua Chunying seperti dilansir Reuters pada Senin (19/11/12) mengecam penggunaan kekuatan secara berlebihan yang menyebabkan kematian dan luka-luka di kalangan rakyat biasa. Meski menyalahkan Iran dan Hamas atas serangan roket ke Israel, Menlu Inggris William Hague menyebut rencana gempuran darat atas Jalur Gaza akan menghilangkan kepercayaan dan dukungan negara lain terhadap Israel. 

Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip itu sejatinya merupakan pengabaian terhadap apa yang diperjuangkan masyarakat internasional melalui hukum humaniter. Bersumber utama pada 4 Konvensi Jenewa (Geneva Convention) 1949 yang diratifikasi 194 negara beserta Protokol Tambahan, hukum ini bertujuan mulia meminimalisasi penderitaan dan kerugian yang diakibatkan perang. 

Sejarah mencatat bahwa pengetahuan tentang aturan perang dan iktikad baik saja tidak cukup, tapi diperlukan pengadilan dan penghukuman bagi pelanggar hukum dan kebiasaan perang. Sebagai bagian kecil dari solusi bagi konflik Palestina- Israel, sudah saatnya dimulai upaya masyarakat internasional untuk serius menyeret penjahat perang  Palestina-Israel ke pengadilan internasional dengan prinsip universal jurisdiction jika pengadilan domestik Palestina ataupun Israel tak memiliki kemauan memproses atau tidak mampu akibat tekanan politik penjahat perang. 

Melihat keberulangan nestapa Gaza, solusi utama atas konflik itu yang perlu terus didorong adalah implementasi solusi dua negara (two-state solution) agar dua bangsa dan negara tersebut bisa hidup bersama. Poin-poin utama dalam kerangka ini adalah penghentian saling serang, pengakuan keberadaan, dan hak hidup kedua pihak sehingga mereka bisa hidup berdampingan secara damai. Terkait upaya ini, termasuk penghentian pembangunan permukiman Yahudi di wilayah sengketa.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar