Senin, 19 November 2012

Muhammadiyah dan Multikulturalisme


Muhammadiyah dan Multikulturalisme
Zuly Qodir ;  Sosiolog UMY;
Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah
KOMPAS, 17 November 2012


Muhammadiyah genap 100 tahun November ini. Luar biasa dan menakjubkan. Sebuah gerakan keagamaan mampu bertahan sedemikian lama.
Di Indonesia tak ada yang meragukan kehadiran Muhammadiyah dalam beberapa aktivitasnya, kecuali kelompok yang memang tidak suka dengan Muhammadiyah. Di saat banyak orang menghendaki adanya kritik tajam terhadap munculnya kelompok keagamaan yang bersifat intoleran, bahkan mempraktikkan kekerasan, Muhammadiyah tentu diharapkan mampu hadir sebagai wasit yang adil atas persoalan yang tumbuh di Indonesia. Mungkinkah?
Keragaman di Indonesia adalah ibu kandungnya. Menolak keragaman sama dengan menolak kehendak Tuhan alias kafir sama takdir Tuhan. Oleh sebab itu, sikap angkuh, sombong, ingin benar dan menang sendiri, serta merasa paling hebat adalah musuh kaum beriman. Sebab, sikap seperti itu mengibaratkan perlawanan dengan Tuhan sendiri.
Namun tetap ada anggota masyarakat yang angkuh, sombong, merasa benar sendiri, tidak menghargai dan menolak kehadiran liyan. Padahal, sikap seperti itu bukan cerminan dari manusia yang berkehendak mendapatkan karunia Tuhan. Tuhan pun, saya kira, marah dengan segala keangkuhan, angkara murka, kebenaran yang diklaim hanya miliknya sehingga orang lain tak layak hadir.
Di situ persoalan serius bangsa ini, yakni ketika sebagian umat beragama (Islam) mengklaim bahwa kehadiran agama lain, kehadiran tradisi lain, kehadiran komunitas dan kelompok lain adalah ”penghalang” dan ”petaka” untuk penerapan sebuah misi politik sektarian.
Kita sudah jamak mendengar dan melihat terdapat kelompok umat yang berkehendak mengangkangi kelompok lain dengan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan dan sadistik. Kita sudah jamak mendengar dan menyaksikan munculnya dakwah- dakwah keagamaan yang benar-benar hanya ”hiburan” dan kurang bermakna dalam pengembangan spiritualitas, apalagi perenialisme agama-agama.
Di Indonesia benar-benar terlalu banyak program keagamaan (tayangan media) yang sangat artifisial sehingga menumbuhkan sifat keislaman yang malas, bukan semangat keislaman yang inklusif dan berkemajuan. Semangat keislaman yang malas muncul dari berbagai tayangan dakwah Islam yang penuh dengan ”canda dan tertawaan”, bukan substansial Islam. Sementara semangat Islam yang inklusif dan berkemajuan akan tumbuh dari munculnya dakwah agama (Islam) yang menyapa realitas majemuk bangsa ini sebagai realitas kehidupan.
Itulah yang Muhammadiyah tengah hadapi dalam hal dakwah Islam. Muhammadiyah berhadapan dengan dakwah yang artifisial, instrumentalistik, bahkan materialistik sehingga sedikit sulit jika mengharapkan tumbuhnya semangat berislam yang progresif dan inklusif. Muhammadiyah, karena itu, ditantang menghadirkan Islam yang inklusif dan progresif dalam praksis.
Spirit Multikultur
Spirit multikultural, inilah spirit yang pernah dikemukakan Jurgen Habermas, seorang sosiolog posmodernisme. Dalam era pos-sekuler, masyarakat cenderung memercayai agama. Namun, agama yang diharapkan adalah agama yang memiliki spirit multikultur. Spirit multikultur merupakan spirit yang dengan telanjang berani menghargai dan menghormati lahirnya berbagai macam tradisi pemikiran dan gerakan masyarakat.
Muhammadiyah agaknya memiliki kapasitas yang memadai jika didorong untuk mendukung munculnya spirit multikultur. Sebab, secara dasariah, Muhammadiyah merupakan organisasi keislaman yang memiliki mazhab moderat atau Islam moderat. Bahkan secara tegas sering dikemukakan, Muhammadiyah adalah pembawa Islam rahmatan lil alamin (Islam yang bersahaja dengan semua masyarakat), apa pun suku, etnis, bangsa, dan agamanya.
Jika Muhammadiyah mampu mengambil peran dalam mengawal spiritualitas multikultur era pos-sekuler, di Indonesia tidak akan gampang kita saksikan terjadinya pelbagai macam kekerasan bernuansa keagamaan, apalagi keislaman. Hal itu tentu bertentangan dengan semangat multikultur masyarakat pos-sekuler yang cenderung religius.
Muhammadiyah jelas harus berani bertarung dengan kelompok-kelompok kecil yang sering mengganggu munculnya spirit multikultur. Sebab, kelompok kecil yang menghalangi Muhammadiyah sering kali sangat nyaring suaranya sekalipun sumbangan yang diberikan kepada bangsa ini lebih sedikit ketimbang Muhammadiyah.
Di situlah problem yang harus dihadapi Muhammadiyah ketika harus berhadapan dengan sesama umat Islam yang sering mengklaim sama-sama memperjuangkan Islam. Tentu saja Islam dalam versi mereka, bukan Islam versi Muhammadiyah.
Kemungkinan Muhammadiyah mampu berhadapan dengan kelompok-kelompok kecil dalam Islam yang berseberangan dengan pemikiran dan aktivitas Muhammadiyah akan benar-benar jadi batu ujian Muhammadiyah menginjak usia yang ke-100. Jika Muhammadiyah lengah menghadapi kelompok kecil yang sering lebih ”garang”, dan tentu saja menakutkan, Muhammadiyah akan kembali jadi pecundang setelah menapakkan diri pada usia ke-100 tahun ini. Semoga Muhammadiyah tidak menjadi pecundang di hadapan kelompok kecil yang anti-multikultur di era masyarakat pos-sekuler ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar