Muhammadiyah
dan Multikulturalisme
Zuly Qodir ; Sosiolog UMY;
Anggota
Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah
|
KOMPAS,
17 November 2012
Muhammadiyah genap 100
tahun November ini. Luar biasa dan menakjubkan. Sebuah gerakan keagamaan
mampu bertahan sedemikian lama.
Di
Indonesia tak ada yang meragukan kehadiran Muhammadiyah dalam beberapa
aktivitasnya, kecuali kelompok yang memang tidak suka dengan Muhammadiyah. Di
saat banyak orang menghendaki adanya kritik tajam terhadap munculnya kelompok
keagamaan yang bersifat intoleran, bahkan mempraktikkan kekerasan, Muhammadiyah
tentu diharapkan mampu hadir sebagai wasit yang adil atas persoalan yang
tumbuh di Indonesia. Mungkinkah?
Keragaman
di Indonesia adalah ibu kandungnya. Menolak keragaman sama dengan menolak
kehendak Tuhan alias kafir sama takdir Tuhan. Oleh sebab itu, sikap angkuh,
sombong, ingin benar dan menang sendiri, serta merasa paling hebat adalah
musuh kaum beriman. Sebab, sikap seperti itu mengibaratkan perlawanan dengan
Tuhan sendiri.
Namun
tetap ada anggota masyarakat yang angkuh, sombong, merasa benar sendiri, tidak
menghargai dan menolak kehadiran liyan. Padahal, sikap seperti itu bukan
cerminan dari manusia yang berkehendak mendapatkan karunia Tuhan. Tuhan pun,
saya kira, marah dengan segala keangkuhan, angkara murka, kebenaran yang
diklaim hanya miliknya sehingga orang lain tak layak hadir.
Di
situ persoalan serius bangsa ini, yakni ketika sebagian umat beragama (Islam)
mengklaim bahwa kehadiran agama lain, kehadiran tradisi lain, kehadiran
komunitas dan kelompok lain adalah ”penghalang” dan ”petaka” untuk penerapan
sebuah misi politik sektarian.
Kita
sudah jamak mendengar dan melihat terdapat kelompok umat yang berkehendak
mengangkangi kelompok lain dengan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan
dan sadistik. Kita sudah jamak mendengar dan menyaksikan munculnya dakwah-
dakwah keagamaan yang benar-benar hanya ”hiburan” dan kurang bermakna dalam
pengembangan spiritualitas, apalagi perenialisme agama-agama.
Di
Indonesia benar-benar terlalu banyak program keagamaan (tayangan media) yang
sangat artifisial sehingga menumbuhkan sifat keislaman yang malas, bukan
semangat keislaman yang inklusif dan berkemajuan. Semangat keislaman yang
malas muncul dari berbagai tayangan dakwah Islam yang penuh dengan ”canda dan
tertawaan”, bukan substansial Islam. Sementara semangat Islam yang inklusif
dan berkemajuan akan tumbuh dari munculnya dakwah agama (Islam) yang menyapa
realitas majemuk bangsa ini sebagai realitas kehidupan.
Itulah
yang Muhammadiyah tengah hadapi dalam hal dakwah Islam. Muhammadiyah
berhadapan dengan dakwah yang artifisial, instrumentalistik, bahkan
materialistik sehingga sedikit sulit jika mengharapkan tumbuhnya semangat
berislam yang progresif dan inklusif. Muhammadiyah, karena itu, ditantang
menghadirkan Islam yang inklusif dan progresif dalam praksis.
Spirit
multikultural, inilah spirit yang pernah dikemukakan Jurgen Habermas, seorang
sosiolog posmodernisme. Dalam era pos-sekuler, masyarakat cenderung
memercayai agama. Namun, agama yang diharapkan adalah agama yang memiliki
spirit multikultur. Spirit multikultur merupakan spirit yang dengan telanjang
berani menghargai dan menghormati lahirnya berbagai macam tradisi pemikiran
dan gerakan masyarakat.
Muhammadiyah
agaknya memiliki kapasitas yang memadai jika didorong untuk mendukung
munculnya spirit multikultur. Sebab, secara dasariah, Muhammadiyah merupakan
organisasi keislaman yang memiliki mazhab moderat atau Islam moderat. Bahkan
secara tegas sering dikemukakan, Muhammadiyah adalah pembawa Islam rahmatan
lil alamin (Islam yang bersahaja dengan semua masyarakat), apa pun suku,
etnis, bangsa, dan agamanya.
Jika
Muhammadiyah mampu mengambil peran dalam mengawal spiritualitas multikultur
era pos-sekuler, di Indonesia tidak akan gampang kita saksikan terjadinya
pelbagai macam kekerasan bernuansa keagamaan, apalagi keislaman. Hal itu
tentu bertentangan dengan semangat multikultur masyarakat pos-sekuler yang
cenderung religius.
Muhammadiyah
jelas harus berani bertarung dengan kelompok-kelompok kecil yang sering
mengganggu munculnya spirit multikultur. Sebab, kelompok kecil yang
menghalangi Muhammadiyah sering kali sangat nyaring suaranya sekalipun
sumbangan yang diberikan kepada bangsa ini lebih sedikit ketimbang
Muhammadiyah.
Di
situlah problem yang harus dihadapi Muhammadiyah ketika harus berhadapan
dengan sesama umat Islam yang sering mengklaim sama-sama memperjuangkan
Islam. Tentu saja Islam dalam versi mereka, bukan Islam versi Muhammadiyah.
Kemungkinan
Muhammadiyah mampu berhadapan dengan kelompok-kelompok kecil dalam Islam yang
berseberangan dengan pemikiran dan aktivitas Muhammadiyah akan benar-benar
jadi batu ujian Muhammadiyah menginjak usia yang ke-100. Jika Muhammadiyah
lengah menghadapi kelompok kecil yang sering lebih ”garang”, dan tentu saja
menakutkan, Muhammadiyah akan kembali jadi pecundang setelah menapakkan diri
pada usia ke-100 tahun ini. Semoga Muhammadiyah tidak menjadi pecundang di
hadapan kelompok kecil yang anti-multikultur di era masyarakat pos-sekuler
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar