Kepemimpinan
Porselen, Batu, Air, dan Udara
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan;
|
KOMPAS,
17 November 2012
Negeri yang celaka adalah
negeri yang tidak mampu memilih pemimpin yang sejati. Ketidakmampuan itu
disebabkan faktor paling mendasar: toleransi tinggi atas berbagai kompromi
kekuasaan.
Orientasi
profit politik dan ekonomi dianggap lebih penting daripada orientasi populis.
Maka, terjadilah elitisasi dan borjuisasi kekuasaan di mana makelar-makelar
politik berkeliaran.
Sejak
demokrasi uang menghegemoni negeri ini, kekuasaan menjelma menjadi komoditas
politik. Bahaya ini tetap saja mengintai, menyeringai, dan siap menerkam
perhelatan Pemilu 2014. Para ”predator” politik atau kekuasaan telah mengasah
taring dan kuku. Mereka mulai menumpahkan modal ekonomi, politik, sosial, dan
modal budayanya.
Momentum
Krusial
Kelimpahan
materi, kekuatan pranata/infrastruktur partai, kemampuan menggalang massa,
dan kelihaian menciptakan topeng-topeng yang mencitrakan negarawan mulai
bergerak. Rakyat selalu jadi kata kunci dalam pidato atau iklan-iklan politik
mereka. Seolah mereka siap menjadi pelayan rakyat. Padahal, siapa tahu,
mereka justru ingin menjadi ”pelayat” rakyat yang ”mati” atau ”dimatikan”
secara konstitusional dan struktural.
Pemilu
2014 akhirnya menjadi momentum krusial dan genting, tetapi menentukan. Jika
skenario ”predator” itu yang terjadi, negeri ini pun akan tetap diringkus
kegelapan. Habis gelap terbitlah gelap, begitu tulis para pelukis mural di
tembok-tembok kota.
Tragedi
negeri ini diawali keculasan kelompok kelas menengah politik yang tak
berkapasitas atau tak bernyali untuk menjadi politisi kelas negarawan.
Akhirnya mereka memilih posisi, peran, dan fungsi paling aman dan
menguntungkan: makelar kekuasaan! Pilihan ini dianggap paling relevan dan
cocok dengan gelombang pasang pasar bebas politik di mana segala ideologi
ditendang ke gudang sejarah.
Para
makelar kekuasaan hanya tunduk kepada para juragan yang sanggup membeli
kekuasaan dengan harga tinggi. Untuk itu, makelar kekuasaan tega menjalankan
visi dan misi politiknya: menelikung rakyat agar tak punya posisi dan daya
tawar kuat. Mereka menggiring rakyat bak kawanan bebek menuju mesin elektoral
untuk memberikan takhta bagi para pembeli kekuasaan yang berani menerima
tawaran dengan harga tinggi.
Maka,
berbondong-bondonglah para pembeli kekuasaan memasuki gerbong-gerbong
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dengan lokomotif profit
oriented. Mereka memahami peran dan fungsinya lebih sebagai pekerja
profesional dalam perusahaan, bukan para pejuang dalam lembaga negara.
Lahirlah pemimpin-pemimpin porselen yang sibuk mengolah citra diri, rapuh,
cengeng, dan tanpa kapabilitas dan nyali. Muncullah pemimpin batu, yang keras
kepala dan tak tahu malu. Hadirlah pemimpin-pemimpin salon yang sibuk
bersolek, nampang, dan takut pada lumpur penderitaan rakyat.
Tragedi
itu dilengkapi dengan lemahnya integritas dan komitmen para pemimpin yang
sangat gampang tergoda (atau mencari godaan) untuk korupsi. Maka,
kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan yang cacat. Cacat integritas.
Cacat komitmen. Cacat kapabilitas.
Kepemimpinan
yang serba cacat ini melahirkan keputusan dan tindakan yang cacat pula. Salah
satu cacat besar adalah ketidakmampuan para pemimpin untuk menyejahterakan
rakyat. Mereka pun kadang berdalih absurd, untuk apa menyejahterakan rakyat
karena hakikat rakyat itu menderita. Mereka selalu punya alasan, ”biarkan
rakyat tetap miskin” agar negeri ini selalu punya proyek besar untuk
mengatasi kemiskinan dan membutuhkan para pemimpin (proyek).
Rakyat
tidak hanya mengalami ketidakadilan struktural, tetapi juga kemiskinan secara
kultural. Kelompok elite selalu bermain kode-kode budaya secara retoris,
seperti paradoks dan eufimisme, untuk menabiri hiprokrisi mereka terhadap
kemiskinan rakyat. Seolah mereka berjuang mengatasi kemiskinan rakyat, tetapi
sesungguhnya setiap detik mereka memiskinkan rakyat dengan tindakan dan sikap
politik yang tidak berpihak kepada rakyat. Hal itu, antara lain, melalui
korupsi materi dan korupsi nilai (pengingkaran atas konstitusi).
Hukum
Politisi Korup
Saatnya
rakyat menunjukkan kecerdasan, keberanian, dan hati nuraninya untuk menghukum
politisi-politisi korup, badar-bandar politik rakus dan makelar-makelar
berakal bulus, dengan tidak memilih mereka atau partai politik mereka dalam
Pemilu 2014.
Namun,
sikap mendasar itu harus diimbangi dengan munculnya parpol-parpol bersih dan
berkomitmen serta tokoh-tokoh alternatif yang belum tercemar
korupsi/keculasan politik. Dengan demikian, rakyat jadi punya pilihan.
Di
tengah pemimpin kelas porselen, batu, dan salon, rakyat merindukan pemimpin
sejati, yakni sosok-sosok yang memiliki kepemimpinan air sekaligus udara yang
menghidupkan dan menumbuhkan. Kita yakin, kepemimpinan udara dan air itu
dimiliki banyak tokoh: tua ataupun muda. Mereka selalu terobsesi membangun
Indonesia yang bermartabat, setidaknya dalam tiga hal: berdaulat secara politik;
berdikari secara ekonomi; dan berkepribadian dalam kebudayaan, seperti
gagasan Bung Karno yang menantang itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar