Restrukturisasi
PBB, Mungkinkah…
James Luhulima ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 November 2012
Dalam pidato pembukaan
Forum Demokrasi Bali V, 8 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
kembali menyerukan reformasi agar segera dilakukan terhadap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Reformasi itu diperlukan untuk memastikan adanya
harmoni antara anggota DK PBB dan sebagian besar anggota PBB lainnya.
Hal
serupa pernah dikemukakan Presiden Yudhoyono dalam forum yang sama dua tahun
lalu. Menurut Yudhoyono, tata kelola pemerintahan di tingkat global harus
dibuat mampu merefleksikan realitas saat ini. Cirinya adalah pusat kekuatan
yang tersebar dan tidak lagi terpusat di segelintir negara.
”Kita
harus memastikan terciptanya suatu harmoni antara aspirasi anggota DK PBB dan
negara anggota PBB lainnya. Hal ini penting dalam menciptakan suatu nuansa
keberagaman dan demokrasi serta penolakan terhadap unilateralisme,” kata
Yudhoyono.
Tidak
ada yang salah dengan apa yang dikemukakan oleh Presiden Yudhoyono, hanya
yang menjadi pertanyaan adalah mungkinkah hal itu dilakukan? Pertanyaan itu
diajukan mengingat pendapat bahwa PBB perlu direstrukturisasi,
direvitalisasi, dan didemokratisasi bukanlah hal yang baru. Keinginan untuk
itu sudah berulang-ulang disuarakan, tetapi hingga kini tetap tidak pernah
terwujud.
Kita
harus ingat bahwa pembentukan PBB itu dipelopori oleh lima negara yang keluar
sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet
(kini Rusia), China, Perancis, dan Inggris.
Pemberian
wewenang khusus berupa hak veto kepada kelima negara pendiri PBB itu semula
dilakukan agar mereka dapat mengamankan dan menerapkan keputusan PBB.
Bahkan,
jika keputusan PBB tidak dipatuhi, kelima negara pendiri PBB yang merupakan
pemenang Perang Dunia II itu mempunyai kekuatan pemukul untuk menghukum
negara yang tidak mematuhi keputusan PBB (dalam hal ini keputusan DK PBB).
Tanpa memiliki kekuatan pemukul, DK PBB tidak mempunyai gigi untuk membuat suatu
negara mematuhi keputusan yang telah diambil.
Namun,
dengan munculnya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, serta dalam
batas-batas tertentu juga China, hak veto itu justru menenggelamkan peranan
PBB.
Hal
itu mengingat keputusan DK PBB yang dipelopori oleh AS atau negara Barat lain
(Inggris atau Perancis) akan diveto oleh Uni Soviet atau China. Sebaliknya,
keputusan DK PBB yang dipelopori Uni Soviet akan diveto AS, Inggris, atau
Perancis. Dengan demikian, kekuatan DK PBB sebagai kekuatan pemukul tidak
berfungsi dengan baik.
Pernah
ada pemikiran untuk meninjau kembali pemberian wewenang khusus kepada lima
negara pendiri PBB itu mengingat konstelasi dunia sudah berubah. Jerman dan
Jepang, yang semula dianggap sebagai musuh dalam Perang Dunia II, kini bukan
saja merupakan sahabat, melainkan juga termasuk ke dalam daftar negara
penyumbang PBB yang terbesar.
Namun,
pemikiran itu tidak pernah serius dibahas atau dibicarakan di PBB. Hal itu
mengingat ada beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa peninjauan kembali
pemberian wewenang khusus kepada lima negara pendiri PBB tersebut justru akan
memancing munculnya kekuatan-kekuatan baru di PBB. Kemunculan
kekuatan-kekuatan baru itu tentu akan membawa kompleksitas masalah
tersendiri.
Kita
juga jangan melupakan bahwa dengan segala keterbatasannya, PBB berhasil
menjaga perdamaian dunia selama lebih dari 67 tahun. Sejak Perang Dunia II
(1939-1945) dan Perang Pasifik (1941-1945), tidak pernah lagi terjadi perang
sebesar itu.
Sebagai
jalan tengah, di samping lima anggota tetap DK PBB yang memiliki wewenang
khusus (hak veto), juga dipilih 10 anggota tidak tetap DK PBB yang tidak
memiliki hak veto. Pertimbangannya, dengan menambah anggota DK PBB dari 5
menjadi 15 negara, semua persoalan yang dibahas di DK PBB akan memberikan
hasil lebih baik. Sebab, keputusan DK PBB tidak hanya ditetapkan oleh 5
negara pendiri PBB, tetapi oleh 15 negara.
Total
anggaran operasional PBB pada tahun ini lebih dari 7 miliar dollar AS.
Amerika Serikat merupakan penyumbang terbesar (25 persen), diikuti Jepang
(11,38 persen), Rusia (9,9 persen), Jerman (8,31 persen), Perancis (6,25
persen), Inggris (4,86 persen), Italia (3,99 persen), Kanada (3,09 persen),
Spanyol (1,95 persen), Belanda (1,65 persen), Australia (1,57 persen), Brasil
(1,45 persen), Ukraina (1,25 persen), Swedia (1,21 persen), Belgia (1,17
persen), dan Arab Saudi (1,02 persen). Sisanya menyumbang di bawah 1 persen,
termasuk Indonesia (0,15 persen).
Khusus
AS, selain menanggung 25 persen anggaran operasional PBB, negara tersebut
juga menyediakan lahan dan markas besar PBB di New York.
Usulan
untuk merestrukturisasi PBB sehingga pusat kekuatannya tersebar dan tidak
lagi terpusat pada segelintir negara tentu membawa konsekuensi tersendiri,
termasuk menambah jumlah sumbangan untuk menanggung anggaran operasional PBB.
Sanggupkah Indonesia melakukannya?
Sebagai
negara yang hanya menanggung anggaran operasional PBB sebanyak 0,15 persen,
tentu sulit bagi Indonesia untuk membuat suaranya didengar. Pada masa lalu,
Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Nonblok (1992-1995) bersama
negara-negara anggota Gerakan Nonblok berupaya merestrukturisasi PBB, tetapi
upaya itu tidak didengar oleh PBB. Apalagi kini Indonesia hanya seorang
diri.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar