Senin, 19 November 2012

Restrukturisasi PBB, Mungkinkah…


Restrukturisasi PBB, Mungkinkah…
James Luhulima ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 17 November 2012


Dalam pidato pembukaan Forum Demokrasi Bali V, 8 November lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali menyerukan reformasi agar segera dilakukan terhadap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Reformasi itu diperlukan untuk memastikan adanya harmoni antara anggota DK PBB dan sebagian besar anggota PBB lainnya.
Hal serupa pernah dikemukakan Presiden Yudhoyono dalam forum yang sama dua tahun lalu. Menurut Yudhoyono, tata kelola pemerintahan di tingkat global harus dibuat mampu merefleksikan realitas saat ini. Cirinya adalah pusat kekuatan yang tersebar dan tidak lagi terpusat di segelintir negara.
”Kita harus memastikan terciptanya suatu harmoni antara aspirasi anggota DK PBB dan negara anggota PBB lainnya. Hal ini penting dalam menciptakan suatu nuansa keberagaman dan demokrasi serta penolakan terhadap unilateralisme,” kata Yudhoyono.
Tidak ada yang salah dengan apa yang dikemukakan oleh Presiden Yudhoyono, hanya yang menjadi pertanyaan adalah mungkinkah hal itu dilakukan? Pertanyaan itu diajukan mengingat pendapat bahwa PBB perlu direstrukturisasi, direvitalisasi, dan didemokratisasi bukanlah hal yang baru. Keinginan untuk itu sudah berulang-ulang disuarakan, tetapi hingga kini tetap tidak pernah terwujud.
Lima Negara
Kita harus ingat bahwa pembentukan PBB itu dipelopori oleh lima negara yang keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, yaitu Amerika Serikat, Uni Soviet (kini Rusia), China, Perancis, dan Inggris.
Pemberian wewenang khusus berupa hak veto kepada kelima negara pendiri PBB itu semula dilakukan agar mereka dapat mengamankan dan menerapkan keputusan PBB.
Bahkan, jika keputusan PBB tidak dipatuhi, kelima negara pendiri PBB yang merupakan pemenang Perang Dunia II itu mempunyai kekuatan pemukul untuk menghukum negara yang tidak mematuhi keputusan PBB (dalam hal ini keputusan DK PBB). Tanpa memiliki kekuatan pemukul, DK PBB tidak mempunyai gigi untuk membuat suatu negara mematuhi keputusan yang telah diambil.
Namun, dengan munculnya Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet, serta dalam batas-batas tertentu juga China, hak veto itu justru menenggelamkan peranan PBB.
Hal itu mengingat keputusan DK PBB yang dipelopori oleh AS atau negara Barat lain (Inggris atau Perancis) akan diveto oleh Uni Soviet atau China. Sebaliknya, keputusan DK PBB yang dipelopori Uni Soviet akan diveto AS, Inggris, atau Perancis. Dengan demikian, kekuatan DK PBB sebagai kekuatan pemukul tidak berfungsi dengan baik.
Pernah ada pemikiran untuk meninjau kembali pemberian wewenang khusus kepada lima negara pendiri PBB itu mengingat konstelasi dunia sudah berubah. Jerman dan Jepang, yang semula dianggap sebagai musuh dalam Perang Dunia II, kini bukan saja merupakan sahabat, melainkan juga termasuk ke dalam daftar negara penyumbang PBB yang terbesar.
Namun, pemikiran itu tidak pernah serius dibahas atau dibicarakan di PBB. Hal itu mengingat ada beberapa kalangan yang mengkhawatirkan bahwa peninjauan kembali pemberian wewenang khusus kepada lima negara pendiri PBB tersebut justru akan memancing munculnya kekuatan-kekuatan baru di PBB. Kemunculan kekuatan-kekuatan baru itu tentu akan membawa kompleksitas masalah tersendiri.
Kita juga jangan melupakan bahwa dengan segala keterbatasannya, PBB berhasil menjaga perdamaian dunia selama lebih dari 67 tahun. Sejak Perang Dunia II (1939-1945) dan Perang Pasifik (1941-1945), tidak pernah lagi terjadi perang sebesar itu.
Sebagai jalan tengah, di samping lima anggota tetap DK PBB yang memiliki wewenang khusus (hak veto), juga dipilih 10 anggota tidak tetap DK PBB yang tidak memiliki hak veto. Pertimbangannya, dengan menambah anggota DK PBB dari 5 menjadi 15 negara, semua persoalan yang dibahas di DK PBB akan memberikan hasil lebih baik. Sebab, keputusan DK PBB tidak hanya ditetapkan oleh 5 negara pendiri PBB, tetapi oleh 15 negara.
AS Penyumbang Terbesar
Total anggaran operasional PBB pada tahun ini lebih dari 7 miliar dollar AS. Amerika Serikat merupakan penyumbang terbesar (25 persen), diikuti Jepang (11,38 persen), Rusia (9,9 persen), Jerman (8,31 persen), Perancis (6,25 persen), Inggris (4,86 persen), Italia (3,99 persen), Kanada (3,09 persen), Spanyol (1,95 persen), Belanda (1,65 persen), Australia (1,57 persen), Brasil (1,45 persen), Ukraina (1,25 persen), Swedia (1,21 persen), Belgia (1,17 persen), dan Arab Saudi (1,02 persen). Sisanya menyumbang di bawah 1 persen, termasuk Indonesia (0,15 persen).
Khusus AS, selain menanggung 25 persen anggaran operasional PBB, negara tersebut juga menyediakan lahan dan markas besar PBB di New York.
Usulan untuk merestrukturisasi PBB sehingga pusat kekuatannya tersebar dan tidak lagi terpusat pada segelintir negara tentu membawa konsekuensi tersendiri, termasuk menambah jumlah sumbangan untuk menanggung anggaran operasional PBB. Sanggupkah Indonesia melakukannya?
Sebagai negara yang hanya menanggung anggaran operasional PBB sebanyak 0,15 persen, tentu sulit bagi Indonesia untuk membuat suaranya didengar. Pada masa lalu, Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Nonblok (1992-1995) bersama negara-negara anggota Gerakan Nonblok berupaya merestrukturisasi PBB, tetapi upaya itu tidak didengar oleh PBB. Apalagi kini Indonesia hanya seorang diri.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar