Mimpi
Perlindungan TKI
Anis Hidayah ; Direktur Eksekutif
|
KOMPAS,
02 November 2012
Kalau sampai hari ini masih
ada yang berpikir bangsa Indonesia telah berada pada trek yang benar sebagai
negara maju dan tak mungkin tersesat ke arah negara yang gagal, mungkin itu
hanya para pemimpi di siang hari.
Begitu
juga jika masih ada yang berbuih-buih mulutnya mengatakan pemerintah telah
melakukan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di
luar negeri, itu mungkin karena mereka memang tak hendak bangkit dari tidur
panjangnya. Tak usah dibangunkan, sudah terlalu boros bangsa ini membuang
energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.
Tak
aneh karenanya ketika TKI dilecehkan, mengalami berbagai macam kekerasan
hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak mampu dipertahankan, tak pernah
tebersit bahwa mereka itu saudara kita, sebangsa dan setanah air. Berasal dan
memijak bumi yang sama, bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.
Beberapa
hari terakhir, masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang
tersebar di Malaysia dengan judul ”Indonesian Maids Now on Sale”. Sungguh
sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia,
tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada era ketika perbudakan
terhadap manusia menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.
Diobral
dengan diskon 40 persen, siapa saja di Malaysia bisa mendapatkan pekerja
rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Namun, ironisnya, tidak semua warga
Indonesia yang terkejut dengan iklan ini. Dengan mekanisme penempatan dan
perlindungan TKI yang karut-marut, mestinya sudah dapat diprediksi
gejala-gejala bisnis semacam itu di Malaysia, khususnya selama moratorium.
Terlebih,
perspektif TKI sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa secara instan tak
kunjung berubah di kalangan elite pemerintah ini.
Munculnya
iklan yang mengobral TKI di Malaysia sebenarnya hanya puncak dari fenomena
gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang
memberikan bobot bisnis penempatan TKI lebih dominan daripada
perlindungannya. Besarnya peran swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU
Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat skema migrasi dengan biaya tinggi yang
mengakibatkan TKI terjerat utang secara sistematis.
Situasi
ini secara perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga
penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara, Pemerintah
Indonesia cenderung membiarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan
dan penegakan hukum.
Untuk
itu, sikap dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes
keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga
langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes
diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.
Menganggap
iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai
potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi
itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan
untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan mafia dan
sindikat trafficking yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan
keuntungan? Atau, jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat
perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar.
Kecurigaan
ini wajar karena hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat
tinggi. Sejak 29 Juni 2009, Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan
moratorium ke Malaysia, hingga moratorium dicabut pada Desember 2011, dan
penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.
Sesungguhnya
praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa semasa moratorium, sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia
diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium, bulan Juli hingga September
2012, pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di
Malaysia, tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance
Visa juga diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.
Sekadar
gambaran, biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia
adalah 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan
di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT
migran Indonesia dengan cara potong gaji selama 7 bulan. Hal ini berbanding
terbalik dengan gaji PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau
sekitar Rp 1.760.000.
Oleh
karena itu, dengan menganggap fiktif iklan ini, sama saja dengan menutup mata
terhadap kejahatan trafficking yang jelas- jelas berada di depan mata.
Tiga
tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi
secara serius oleh Pemerintah Malaysia. Betapa fakta di lapangan yang
menunjukkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada
PRT migran asal Indonesia sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini.
Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu
didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif.
Faktanya,
Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh
karena itu, wajar kiranya jika moratorium selama ini tidak banyak
meninggalkan jejak yang berarti bagi perbaikan perlindungan untuk TKI. Nota
kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul baru, yakni paspor
dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran, secara normatif
menjanjikan masa depan baru bagi buruh migran. Namun, hal ini belum dapat
menjamin perlindungan mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.
Akhirnya,
sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti, baik oleh sikap maupun
kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan rahasia lagi
bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia, baik oleh majikan
maupun sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam
institusi yang legal dan ilegal. Bahkan, tidak sedikit para TKI yang tewas
dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.
Untuk
itu, bila bangsa ini, dimotori oleh presiden sebagai kepala negara, tak mau
mengambil sikap tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan
martabat PRT migran Indonesia di Malaysia ini, sebagaimana yang dikatakan
oleh pembantunya, sungguh kita sedang diajak bermimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar