Menyikapi
Fatwa tentang Fatwa
Jalaluddin Rakhmat ; Ketua Dewan Syura
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
|
REPUBLIKA,
10 November 2012
Imam Ahmad bin Hanbal
adalah imam besar, pendiri mazhab besar. Bagaimana ia menyikapi fatwa?
Ia berkata, "Barang
sia pa yang melibatkan diri dalam fatwa, ia telah melibatkan diri dalam
urusan besar; kecuali jika ter paksa." Al-Sya'bi--salah seorang
ulama tabi'in--ditanya orang tentang satu masalah. Ia menjawab, "Aku
tidak tahu."
Ia ditegur, "Apakah Anda tidak malu berkata tidak tahu, padahal Anda adalah faqih seluruh Iraq?" Al-Sya'bi menjawab, "Malaikat saja tidak malu ketika mereka berkata, `Tidak ada ilmu pada kami kecuali yang telah Kauajarkan kepada kami" (Alquran 2:32).
Sebagian ahli ilmu
(agama) berkata, "Belajarlah mengatakan `Aku tidak tahu' karena jika
kamu berkata (aku tidak tahu) mereka akan mengajarimu. Jika kamu berkata (aku
tahu) mereka akan bertanya kepadamu sampai kamu tidak tahu." Uqbah bin
Muslim berkata, "Aku menemani Umar bin Khattab RA 34 bulan, kebanyakan
kali jika ia ditanya tentang masalah agama ia menjawab, `Aku tidak tahu.'
Ketika Imam Syafii ditanya satu masalah dan ia diam, orang bertanya, `Mengapa
tidak menjawab?' Ia berkata, `Aku tidak menjawab sampai aku mengetahui apakah
yang baik itu diam atau menjawab." Ibn Qayyim dalam I'lam al-Muwaqqi'in
6: 133-135 menjelaskan aturan-aturan memberikan fatwa berdasarkan Alquran dan
Sunah. Ia tegaskan, betapa para ulama salaf, sahabat, dan tabi'in, merasa
takut untuk memberikan fatwa, lebih takut dari menghadapi singa.
Fatwa salah yang
disampaikan oleh lembaga yang mengklaim berhak memberikan fatwa sama seperti
obat yang salah yang diberikan kepada pasien. Alih-alih menyembuhkan, ia bisa
membunuh. Di antara fatwa yang telah ikut serta atau menyertai terbunuhnya
seorang Muslim di Sampang adalah fatwa MUI Sampang. Pengadilan Tinggi Jawa
Timur yang menambahkan lagi hukuman dua tahun di atas hukuman dua tahun
penjara yang sebelumnya diputuskan Pengadilan Negeri Sampang, juga berkaitan
dengan fatwa MUI Jawa Timur.
Mungkin karena itulah,
para ulama di MUI Pusat tidak sepakat untuk menerbitkan fatwanya. Kebanyakan
memilih diam. Mereka tahu bahwa fatwa yang menganggap sekelompok umat Islam
sesat dapat menghancurkan kehormatan, merusak harta kekayaan, dan menumpahkan
darah. Fatwa Imam Malik, "Tanya dulu yang lebih berilmu."
Marilah kita belajar dari Imam Malik, salaf kita yang saleh.
Ia berkata, "Aku
tidak akan memberi fatwa sebelum tujuh puluh orang (ulama) bersaksi bahwa aku
ahli untuk memberikan fatwa." Kapan seseorang berhak disebut ahli? "Seseorang
tidak layak menyebut dirinya ahli sebelum ia bertanya kepada orang yang lebih
tahu dari dirinya. Aku tidak memberikan fatwa sebelum aku bertanya kepada
Rabi'ah dan Yahya bin Sa'id," kata Imam Malik (lihat I'Lam al-Muwaqqi'in
6:132).
Masih kata Imam Malik,
"Apabila para sahabat menghadapi masalah yang berat, mereka tidak
memberikan jawaban sebelum mereka mengambil jawaban sahabatnya yang lain,
padahal mereka adalah generasi yang dianugerahi Tuhan kebenaran, taufik, dan
kesucian. Bayangkan diri kita yang tertutup dosa dan hati kita yang
bergelimang kesalahan." Diriwayatkan bahwa bila Umar bin Khattab ditanya
tentang satu masalah ia kumpulkan semua ahli badar dan ia berkonsultasi
dengan mereka lebih dahulu sebelum memberikan fatwa.
Apakah Anda lebih
berilmu dari mereka? Sekarang izinkan saya yang jahil ini bertanya kepada MUI
Jatim yang memberikan fatwa tentang kesesatan Syiah dan kepada yang terhormat
Dr KH Ma'ruf Amin yang mengeluarkan fatwa yang mendukung fatwa tersebut.
Apakah Bapak-Bapak
telah mengkaji fatwa para ulama seluruh dunia Islam yang hadir dalam
Konferensi Islam Internasional di Amman, Yordania, pada 4--6 Juli 2005
(sebelas tahun setelah fatwa MUI tahun 1984). Sebagai catatan kecil, wakil
dari Indonesia yang hadir antara lain KH Hasyim Muzadi dan Rozy Munir; dari
Mesir, Prof Dr Ali Jumu'a, mufti besar Mesir; dari Suriah, Prof Dr Syaikh
Wahbah Zuhaily (penulis al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh); dari Arab Saudi, Dr
Abd al-Aziz bin Utsman al-Touaijiri.
Salah satu dan yang
nomor satu dari fatwa mereka, yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Amman,
menyatakan, "Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat
mazhab Ahlus Sunnah (Syafi'i, Hanafi, Malik, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja'fari
dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak
diperbolehkan mengafirkan salah seorang dari pengikut/
penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan."
Sebelum mengeluarkan
fatwa tentang kesesatan Syiah, apakah menurut Bapak- Bapak tidak perlu
mengkaji fatwa para ulama internasional itu, apalagi menyetujuinya, karena
mereka tidak lebih alim dari Bapak-Bapak? Umar bin Khattab RA mengumpulkan
dahulu para sahabat ahli Badar sebelum memberi fatwa. Konferensi Islam
Internasional mengumpulkan lebih dulu ratusan ula ma dari berbagai negeri
sebelum mengeluarkan Deklarasi Amman.
Sekretaris Jenderal
OKI di bawah payung Akademi Fiqih Internasional (IIFA) mengumpulkan ulama
Irak, Sunni, dan Syiah, sebelum mengeluarkan Deklarasi Makkah. Presiden SBY
mengumpulkan ulama Sunni dan Syiah internasional di Istana Bogor sebelum mengeluarkan
Deklarasi Bogor.
Di situ dinyatakan
bahwa para pemimpin Islam sedunia mendesak seluruh kaum Muslim, yang mengakui
keyakinan mereka dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul-Nya, untuk menjunjung prinsip-prinsip fundamental
tersebut yang berlaku sama bagi kaum Syiah maupun Sunni sebagai suatu
landasan kesamaan bahwa setiap perbedaan keya- kinan adalah semata-mata
perbedaan pendapat dan penafsiran serta bukan merupakan perbedaan keyakinan
yang mendasar atau menyangkut substansi Rukun Islam.
Cukupkah bagi
Bapak-Bapak mengumpulkan anggota-anggota MUI se-Jatim plus beberapa orang
ulama dari MUI Pusat, lalu mengeluarkan fatwa bahwa Syiah itu sesat? Apakah
para ulama di MUI Sampang yang berkumpul di Sampang dan para ulama MUI Jatim
yang berkumpul di Surabaya itu memang lebih berilmu ketimbang ulama
internasional yang berkumpul di Amman, Makkah, dan Bogor? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar