Menjawab Tulisan
Jalaluddin Rakhmat :
Akar Masalah
yang Diabaikan
Tengku Zulkarnaen ; Wakil Ketua Majelis
Fatwa Ormas Islam Mathla'ul Anwar, Dosen Fakultas Budaya Universitas Lancang
Kuning Riau
|
REPUBLIKA,
13 November 2012
Fatwa dalam masalah
agama adalah sebuah keniscayaan. Masalahnya, dalil-dalil Al- quran dan
hadis terbatas jumlahnya, sementara per masalahan umat tidak terbatas. Untuk
itu, diperlukan fatwa untuk menyelesaikan masalah umat yang begitu banyak.
Jika masalah terus dibiarkan tanpa bimbingan fatwa dari para ulama, dapat
dipastikan keadaan umat akan gelap gulita dan sengkarut.
Tuan Jalaluddin
Rakhmat (selanjutnya JR) menuliskan di harian ini betapa para ulama, seperti
al-Sya'bi, menjawab tidak tahu saat ditanya tentang satu masalah. Seolah-olah
al-Sya'bi tidak pernah berfatwa sama sekali. Padahal, apalah artinya diam
beliau dalam satu masalah itu, dibanding dengan ribuan fatwa beliau yang
bertaburan di kitab-kitab tafsir para ulama sejagad?
Begitu juga Imam
as-Syafi'i seolah banyak diam saat ditanya orang. Padahal, semua kaum
intelektual tahu betul berapa ribu fatwa Imam as-Syafi'i yang tertulis di
kitab "al-Umm", yang tebalnya sekitar 7.000 halaman itu. Walau JR
selanjutnya mengatakan bahwa Ib nu Qayyim terkesan takut berfatwa, ke - nyataannya
fatwa beliau bertebaran.
Mengukur kebenaran
Nabi bersabda, "Jika seorang pemutus perkara berijtihad, dan ijtihadnya
benar, dia mendapat dua pahala. Dan, jika keputusannya salah, dia dapat satu
pahala." (HR Bukhari-Muslim). Itu pula yang kita baca dalam riwayat
lain, sesaat sebelum nabi mengutuskan Muadz bin Jabal ke Yaman. Baginda
sangat bergembira dan memuji, ketika mendengar jawaban Muadz yang tidak akan
ragu untuk berfatwa menurut ijtihadnya, saat memutuskan perkara umat yang
akan dihadapinya kelak.
Kebenaran fatwa mesti
diukur dari dalil yang dikemukakan, bukan dari ekses yang timbul akibat fatwa
itu. Ambil contoh, saat Abu Bakar as-Shiddiq memutuskan fatwa untuk
memerangi manusia yang enggan membayar zakat, dan akhirnya meletus perang
Riddah. Ekses yang timbul adalah tidak kurang dari 25 ribu shahabat nabi
syahid da lam perang itu. Beranikah JR mengatakan beliau salah dalam
berfatwa, dan korban perang yang membela fatwa beliau se- muanya mati sesat?
Begitu juga, Sayyidina
Ali yang berfatwa untuk memerangi Sayyidina Muawiyah dalam perang Shiffin
sehingga lebih dari 70 ribu jiwa gugur. Kalau korban jiwa dianggap buah dari
fatwa yang salah, sebagaimana fatwa JR, sa lahlah Sayyidina Ali dengan
fatwanya itu.
Menilik fatwa MUI
Sampang, yang dinilai salah karena tercabutnya satu nyawa dan bukan dari
dalil yang dikemukan pada masalah yang substansi, merupakan sebuah tindakan
yang tidak ilmiah dan cenderung membelokkan masalah. Rasanya lebih maslahat
jika pembaca diberi tahu masalah apa yang mendorong fatwa sesatnya ajaran
Syiah di Sampang sampai keluar, ketimbang informasi satu korban nyawa dan
satu ancaman penjara yang diketengahkan.
Padahal, substansi masalah bukan terletak di situ.
Fatwa MUI Sampang
menyatakan bahwa Syiah yang diajarkan Saudara Tajul Muluk alias Ali Murtadho
di Sampang adalah sesat. Ajaran yang ber kembang dari Omben, Sampang, itu paling
tidak telah meresahkan masyarakat, yang kemudian meminta fatwa kepada para
ulama di sana. Dari penelitian di lapangan, ditemukan paling tidak ada 14
poin yang dinilai sesat dan meresahkan umat. Salah satunya adalah
ditemukannya fakta bahwa ajaran ini mencaci para sahabat, terutama Abu Bakar
dan Umar.
Alih-alih membahasnya, JR melantur jauh dengan hanya menyitir dan membandingkan prosedur pengumpulan oknum yang diajak ber sidang di Amman, Bogor, dan oleh Akademi Fiqih Inter nasional di Makkah, ketimbang memberikan hujah-hujah yang bernas atas substansi masalah. Mubazir! Sebenarnya, dalam fatwa larangan mencaci sahabat, MUI bukan menjadi yang pertama. Sudah banyak sekali fatwa ulama terdahulu tentang larangan mencaci sahabat ini.
Sebagai catatan, pada
jamuan makan malam di rumah duta besar Iran di Jalan Madiun No 1, Menteng,
Jakarta, 4 November 2012, saat menjawab pertanyaan tentang sikap sebagian
orang yang getol mencaci sahabat, Ayatollah Ali Taskhiri menjawab, "Sikap
itu adalah sebuah kekeliruan yang besar". Bukankah kekeliruan besar
adalah sebuah tindakan sesat? Beliau kemudian mengutip surah al-An'am ayat
108, tentang dilarangnya menghina Tuhan orang kafir sekalipun.
Sungguh menakjubkan!
Ternyata dalam menyikapi penghinaan terhadap sahabat Nabi, pandangan ulama
Syiah ini sejalan dan berpihak pada fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim. Dengan
demikian, menyalahkan fatwa MUI Sampang itu berarti sama saja dengan
menyalahkan Ayatollah Taskhiri. Atau menurut JR, Taskhiri sedang ber-taqiyah?
Di Indonesia dan
negara lain, didapati para pengikut Syiah itu pandai berkelit.
Kalau ada hasil kajian dari kitab-kitab Syiah yang didapati menyimpang, mereka akan katakan bahwa kitab itu tidak muktabar. Jika kemudian dila ku kan kajian lapangan dan didapati penyimpangan, mereka akan katakan bahwa itu adalah tindakan orang-orang jahil.
Sebagian pengikut
Syiah menjadikan alasan diizinkannya mereka berhaji ke Makkah untuk
menunjukkan bahwa me- reka tidak sesat. Padahal, itu kan masih dalam dairah
al-Iman, dan tidak sama dengan kafir. Jadi, tidak salah jika mereka yang
dhall alias sesat, diperbolehkan berhaji. Dengan catatan, ajaran sesat me-
reka tidak boleh dipraktikkan di Makkah.
Keputusan Tepat
Dalam fatwanya, MUI
Sampang dan MUI Jatim menyatakan bahwa ajar an Syiah di Sampang itu dhall,
alias sesat. Tidak ada sepenggal kata pun dalam fatwa tersebut ucapan
mengkafirkan Syiah yang di Sampang itu. Rasanya tidak perlulah mengajari JR
per bedaan antara dhall dan kafir, bukan? Lagi pula fatwa itu hanya berlaku
untuk Jawa Timur, bukan untuk provinsi lain.
Walhasil, fatwa MUI
Sampang dan MUI Jatim itu sama sekali tak bertentangan dengan Deklarasi Amman
yang melarang mengkafirkan sesama umat Islam. Salah tembak jika memakai
peluru Deklarasi Amman untuk membunuh fatwa MUI Sampang tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar