Rabu, 14 November 2012

Akar Masalah yang Diabaikan


Menjawab Tulisan Jalaluddin Rakhmat :
Akar Masalah yang Diabaikan
Tengku Zulkarnaen ;  Wakil Ketua Majelis Fatwa Ormas Islam Mathla'ul Anwar, Dosen Fakultas Budaya Universitas Lancang Kuning Riau
REPUBLIKA, 13 November 2012
  

Fatwa dalam masalah agama adalah sebuah keniscayaan. Masalahnya, dalil-dalil Al- quran dan hadis terbatas jumlahnya, sementara per masalahan umat tidak terbatas. Untuk itu, diperlukan fatwa untuk menyelesaikan masalah umat yang begitu banyak. Jika masalah terus dibiarkan tanpa bimbingan fatwa dari para ulama, dapat dipastikan keadaan umat akan gelap gulita dan sengkarut.

Tuan Jalaluddin Rakhmat (selanjutnya JR) menuliskan di harian ini betapa para ulama, seperti al-Sya'bi, menjawab tidak tahu saat ditanya tentang satu masalah. Seolah-olah al-Sya'bi tidak pernah berfatwa sama sekali. Padahal, apalah artinya diam beliau dalam satu masalah itu, dibanding dengan ribuan fatwa beliau yang bertaburan di kitab-kitab tafsir para ulama sejagad? 
Begitu juga Imam as-Syafi'i seolah banyak diam saat ditanya orang. Padahal, semua kaum intelektual tahu betul berapa ribu fatwa Imam as-Syafi'i yang tertulis di kitab "al-Umm", yang tebalnya sekitar 7.000 halaman itu. Walau JR selanjutnya mengatakan bahwa Ib nu Qayyim terkesan takut berfatwa, ke - nyataannya fatwa beliau bertebaran. 
Mengukur kebenaran Nabi bersabda, "Jika seorang pemutus perkara berijtihad, dan ijtihadnya benar, dia mendapat dua pahala. Dan, jika keputusannya salah, dia dapat satu pahala." (HR Bukhari-Muslim). Itu pula yang kita baca dalam riwayat lain, sesaat sebelum nabi mengutuskan Muadz bin Jabal ke Yaman. Baginda sangat bergembira dan memuji, ketika mendengar jawaban Muadz yang tidak akan ragu untuk berfatwa menurut ijtihadnya, saat memutuskan perkara umat yang akan dihadapinya kelak.
Kebenaran fatwa mesti diukur dari dalil yang dikemukakan, bukan dari ekses yang timbul akibat fatwa itu. Ambil contoh, saat Abu Bakar as-Shiddiq memutuskan fatwa untuk memerangi manusia yang enggan membayar zakat, dan akhirnya meletus perang Riddah. Ekses yang timbul adalah tidak kurang dari 25 ribu shahabat nabi syahid da lam perang itu. Beranikah JR mengatakan beliau salah dalam berfatwa, dan korban perang yang membela fatwa beliau se- muanya mati sesat? 
Begitu juga, Sayyidina Ali yang berfatwa untuk memerangi Sayyidina Muawiyah dalam perang Shiffin sehingga lebih dari 70 ribu jiwa gugur. Kalau korban jiwa dianggap buah dari fatwa yang salah, sebagaimana fatwa JR, sa lahlah Sayyidina Ali dengan fatwanya itu.
Menilik fatwa MUI Sampang, yang dinilai salah karena tercabutnya satu nyawa dan bukan dari dalil yang dikemukan pada masalah yang substansi, merupakan sebuah tindakan yang tidak ilmiah dan cenderung membelokkan masalah. Rasanya lebih maslahat jika pembaca diberi tahu masalah apa yang mendorong fatwa sesatnya ajaran Syiah di Sampang sampai keluar, ketimbang informasi satu korban nyawa dan satu ancaman penjara yang diketengahkan.
Padahal, substansi masalah bukan terletak di situ.
Fatwa MUI Sampang menyatakan bahwa Syiah yang diajarkan Saudara Tajul Muluk alias Ali Murtadho di Sampang adalah sesat. Ajaran yang ber kembang dari Omben, Sampang, itu paling tidak telah meresahkan masyarakat, yang kemudian meminta fatwa kepada para ulama di sana. Dari penelitian di lapangan, ditemukan paling tidak ada 14 poin yang dinilai sesat dan meresahkan umat. Salah satunya adalah ditemukannya fakta bahwa ajaran ini mencaci para sahabat, terutama Abu Bakar dan Umar.
Alih-alih membahasnya, JR melantur jauh dengan hanya menyitir dan membandingkan prosedur pengumpulan oknum yang diajak ber sidang di Amman, Bogor, dan oleh Akademi Fiqih Inter nasional di Makkah, ketimbang memberikan hujah-hujah yang bernas atas substansi masalah. Mubazir! Sebenarnya, dalam fatwa larangan mencaci sahabat, MUI bukan menjadi yang pertama. Sudah banyak sekali fatwa ulama terdahulu tentang larangan mencaci sahabat ini. 
Sebagai catatan, pada jamuan makan malam di rumah duta besar Iran di Jalan Madiun No 1, Menteng, Jakarta, 4 November 2012, saat menjawab pertanyaan tentang sikap sebagian orang yang getol mencaci sahabat, Ayatollah Ali Taskhiri menjawab, "Sikap itu adalah sebuah kekeliruan yang besar". Bukankah kekeliruan besar adalah sebuah tindakan sesat? Beliau kemudian mengutip surah al-An'am ayat 108, tentang dilarangnya menghina Tuhan orang kafir sekalipun.
Sungguh menakjubkan! Ternyata dalam menyikapi penghinaan terhadap sahabat Nabi, pandangan ulama Syiah ini sejalan dan berpihak pada fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim. Dengan demikian, menyalahkan fatwa MUI Sampang itu berarti sama saja dengan menyalahkan Ayatollah Taskhiri. Atau menurut JR, Taskhiri sedang ber-taqiyah?
Di Indonesia dan negara lain, didapati para pengikut Syiah itu pandai berkelit.
Kalau ada hasil kajian dari kitab-kitab Syiah yang didapati menyimpang, mereka akan katakan bahwa kitab itu tidak muktabar. Jika kemudian dila ku kan kajian lapangan dan didapati penyimpangan, mereka akan katakan bahwa itu adalah tindakan orang-orang jahil. 
Sebagian pengikut Syiah menjadikan alasan diizinkannya mereka berhaji ke Makkah untuk menunjukkan bahwa me- reka tidak sesat. Padahal, itu kan masih dalam dairah al-Iman, dan tidak sama dengan kafir. Jadi, tidak salah jika mereka yang dhall alias sesat, diperbolehkan berhaji. Dengan catatan, ajaran sesat me- reka tidak boleh dipraktikkan di Makkah. 
Keputusan Tepat
Dalam fatwanya, MUI Sampang dan MUI Jatim menyatakan bahwa ajar an Syiah di Sampang itu dhall, alias sesat. Tidak ada sepenggal kata pun dalam fatwa tersebut ucapan mengkafirkan Syiah yang di Sampang itu. Rasanya tidak perlulah mengajari JR per bedaan antara dhall dan kafir, bukan? Lagi pula fatwa itu hanya berlaku untuk Jawa Timur, bukan untuk provinsi lain.
Walhasil, fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim itu sama sekali tak bertentangan dengan Deklarasi Amman yang melarang mengkafirkan sesama umat Islam. Salah tembak jika memakai peluru Deklarasi Amman untuk membunuh fatwa MUI Sampang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar