Jumat, 16 November 2012

Menjunjung Tinggi Pancasila


Menjunjung Tinggi Pancasila
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 16 November 2012


“Jikapun sudah tidak ada lagi yang menginginkannya, biarlah tinggal saya seorang diri, di negeri ini, yang yakin akan ideologi Pancasila ini.“

UNGKAPAN Surya Paloh (SP) itu dimuat dalam buku Mari Bung Rebut Kembali; terbit pertama kali oleh Liga Mahasiswa NasDem Juli 2012. Dalam buku kumpulan 16 pidato SP dari 2010 hingga 2012 itu, spirit Pancasila tergambar di setiap lembar. Pidato SP untuk kuliah umum Juni tahun lalu di Universitas Tanjung Pura, Pontianak, menjelaskan dia demikian yakinnya dengan ideologi Pancasila dan tidak bosan-bosannya serta tidak henti-hentinya menyuarakan nilai-nilai luhur bangsa ini karena alasan sederhana: Pancasila memang pedoman kehidupan bangsa bernegara yang kita butuhkan hari ini dan hari esok. Ia ideologi negara dan falsafah bangsa yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan. Memang ternyata Pancasila cukup teruji dalam situasi yang telah dijalaninya.

Lebih jauh SP dalam pidatonya itu menyatakan, “Setelah 13 tahun reformasi, setelah kita bereuforia dalam era demokrasi yang terbuka ini, kita sadar bahwa kita tengah kelimpungan. Kita telah dengan semena-mena ikut menumbangkan dasar negara sekaligus falsafah bangsa ini. Kita anggap bahwa Pancasila adalah sama dengan Orde Baru; kita anggap Pancasila adalah ideologi bawaan rezim otoriter 32 tahun. Kini kita menyadari hal tersebut adalah kesalahan fatal.... Karena pengabaian itu, kini kita menjadi tidak punya pedoman. Politik kita menjadi kebablasan, ekonomi kita melenceng jauh dari amanat konstitusi, budaya kita pun menjadi budaya yang tak berjati diri.”

Pancasila Selalu Diuji

Pancasila adalah gagasan abstrak sebagai kristalisasi pikiran dan perasaan segenap warga bangsa ini. Sebagai alat pemersatu dan harmonisasi masyarakat, ideologi itu tidak hanya perlu dikenal, tetapi juga perlu dihayati dan dia malkan. Sayangnya, indoktrinasi berkepanjangan selama Orde Baru tidak membuatnya dipahami ataupun dihayati, malahan sebaliknya terjadi bumerang. Timbul sikap sinis terhadap ajaran itu karena terbukti ada di antara mereka yang dianggap pelopor dan penganjurnya justru mengkhianati pengamalannya. Citra dan posisi Pancasila sebagai falsafah negara telah tekerdilkan; mungkin secara tidak sengaja. Arwah para founding father barangkali menangis melihat para presiden negeri ini dilengserkan rakyat karena penyimpangan terhadap ajaran Pancasila telah menjauhkan mereka dari aspirasi rakyat.

Tentang pelengseran presiden sebaiknya kita ingat ungkapan Barat yang artinya ‘pemimpin terbentuk sesuai ulah yang dipimpin’ maka kesalahan pemimpin juga berarti kesalahan yang dipimpin. Karena itu dalam menindak para pemimpin, jangan mengabaikan norma-norma yang kita patuhi, seperti yang tersimpul dalam preskripsi sikap dan perilaku dalam menghadapi situasi tertentu. Antara lain, untuk menjaga agar kita tidak sewenang-wenang dan terlalu sembrono menghakimi pemimpin, ada ungkapan-ungkapan seperti menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri atau mikul duwur, mendem jero.

Banyak kasus atau contoh lain yang menunjukkan mengapa founding fathers memilih Pancasila sebagai falsafah negara dan mengapa kita perlu lebih mengerti maknanya dan sungguh-sungguh menghayatinya untuk menggalang persatuan dan harmonisasi sosial. Maka kita sungguh bersyukur bahwa akhirnya, setelah sekian lama, Bung Karno dan Bung Hatta kita akui sebagai pahlawan nasional. Ucapan selamat seharusnya juga tertuju kepada kita semua.

Perubahan demi Integrasi Sosial

Buku Surya Paloh itu membantu menyadarkan sedang terjadi gejala rusaknya integrasi yang berkelanjutan. Tanda-tandanya antara lain kita tidak mau mengakui kerukunan kita terganggu; bahwa ketimpangan makin besar dan kita gagal menyelenggarakan pemerataan; tetapi sepertinya tidak ada tuntutan mendesak untuk mengubah sistem. Memang sebenarnya diperlukan pemikir-pemikir yang mampu menginterpretasikan sejarah dan bisa menjamin program yang akan dijalankan sejalan dengan tradisi masyarakat dan sesuai dengan keyakinan dan gejala perkembangan dunia. Kita perlu perubahan.

Ada dua kemungkinan akhir: terwujudnya suatu utopia jika program itu sukses atau ketidakpercayaan jika dia gagal.

Bagi awam, atau mereka yang ada di luar lingkaran kekuasaan dan pengaruhnya, pengorganisasian atau penerapan rencana program yang abstrak tampaknya tidak praktis dan mungkin terlalu idealistis. Lebih-lebih bila perubahan dicurigai bisa mengganggu keselarasan dan ketertiban yang sudah kita kenal.

Tak pelak, hidup matinya suatu rencana bergantung pada kelihaian atau kemampuan dalam membaca situasi dan suasana hati masyarakat. Juga keberanian para pelopor untuk menerobos tantangan dan tentangan.

Bagaimana kemungkinannya? Mereka bisa berhasil, bisa juga terhalang. Selain tantangan dan tentangan dari lingkaran luar, gerakan perubahan itu sendiri merupakan adu pemikiran dalam rangka mencari tempat pijakan untuk penuntasan gagasan. Sementara itu, pengorganisasian program sosialisasi maupun penerapannya akan timbul tenggelam, sesuai dengan perkembangan situasi. Yang pasti, para pemikir dan pelopor diharapkan dan wajib menjadi sumber inspirasi, keteladanan dan rujukan untuk menjaga jangan sampai program yang dicita-citakan terhalang dan menjadi sia-sia. Untuk menjaminnya, kita pastikan kita tetap menjunjung tinggi ideologi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar